Di era globalisasi seperti sekarang, perkawinan campuran antarwarga negara merupakan hal yang lumrah terjadi dan dapat dengan mudah kita temui dalam pergaulan sehari-hari. Namun, stereotip-stereotip miring mengenai perkawinan campur masih saja kita dengar. Kebanyakan masyarakat kita percaya bahwa pernikahan dengan laki-laki asing dapat memberikan jaminan kehidupan yang lebih layak bagi si perempuan. Ada juga yang beranggapan, hal ini dapat memberikan keturunan yang lebih cantik atau ganteng.
Masyarakat dengan mudah mengasumsikan laki-laki asing sebagai seseorang yang memiliki dompet tebal, sehingga mereka menyarankan anak-anaknya untuk menikahi “bule” agar kehidupannya menjadi auto-makmur. Pandangan ini menunjukkan bahwa bangsa kita menganggap asing lebih unggul bila dilihat dari isi dompetnya.
Saya rasa, stereotip yang berkembang di masyarakat ini salah besar. Tak sedikit istri laki-laki asing yang harus bekerja banting tulang untuk memenuhi kehidupan rumah tangganya. Ia harus menabung cukup lama untuk dapat kembali ke Indonesia. Apabila ia memiliki anak, harga tiket yang mesti dibayarkan untuk satu keluarga cukup besar dan membuatnya berpikir dua kali lipat untuk kembali ke Indonesia.
Bila perempuan tersebut bersama sang suami memilih tinggal di Indonesia, suaminya bisa terkendala untuk mendapatkan pekerjaan di Indonesia karena pengurusan izin bekerja yang sulit. Jadi, saya pikir seorang perempuan harus berjuang ekstra bila memutuskan memberikan hatinya kepada laki-laki asing.
Di samping itu, dalam masyarakat juga masih lebih kerap ditemukan stigma negatif terhadap perempuan yang menikahi laki-laki asing dibandingkan laki-laki Indonesia yang menikahi perempuan asing. Perempuan yang menikahi laki-laki asing dianggap perempuan yang “bebas”, bahkan mungkin dilabeli perempuan “nakal”. Ini terjadi karena masyarakat beranggapan bahwa perempuan yang telah tinggal di luar negeri melupakan budaya-budaya Indonesia dan menjadi lebih kebarat-baratan sehingga muncul dugaan-dugaan seperti ini.
Baca juga: Indonesia Memang Negara Kaya Kultur, Kecuali dalam Urusan Kawin Campur
“Pakaian kamu sekarang lebih terbuka ya, sejak nikah sama bule.”
“Kok pakaianmu tertutup banget, sih? Kan kamu nikah sama bule.”
“Kok kamu enggak ngerokok? Kan kebanyakan orang yang nikah sama bule ngerokok.”
“Kamu tuh tatoan ya, sejak nikah sama bule.”
“Kok kamu enggak minum alkohol? Kan suami kamu bule.”
Karena ada anggapan setiap laki-laki asing itu berdompet tebal, sering kali muncul stereotip bahwa perempuan yang menikahi bule adalah perempuan yang materialistis. Mungkin anggapan ini hadir karena adanya sejumlah kasus perkawinan kontrak yang dilakukan laki-laki asing di Bali dengan tujuan membeli properti di Indonesia.
Tentunya hal ini memperburuk citra perempuan Indonesia dan juga laki-laki asing yang menikahinya. Ini tecermin dari sejumlah pertanyaan yang sering orang lontarkan kepada saya begitu tahu orang tua saya yang melakukan perkawinan campuran.
“Papa kamu nikahin mama kamu biar bisa beli properti di Indonesia, ya?”
“Mama kamu pasti orang desa, ya? Biasanya bule nyari cewek Indonesia yang polos-polos biar lebih mudah dibodohi.”
“Papa kamu usia berapa? Sudah tua, ya ? Pasti mama kamu dulu nikahin papa kamu biar bisa kaya.”
Munculnya pertanyaan-pertanyaan macam ini membuat saya bingung, mengapa orang-orang menjadi begitu kepo mengenai urusan rumah tangga orang tua saya. Terkadang saya berpikir, mungkin bila orang tua saya berasal dari negara yang sama, orang-orang tidak akan tertarik.
Salah satu sikap kepo orang sekitar yang saya ingat datang dari seorang guru saya waktu saya masih SD.
“Papa kamu istrinya ada berapa?” tanya dia.
Saya langsung speechless, tidak percaya bahwa pertanyaan tak bermutu itu keluar dari seorang tenaga pendidik, kepada anak-anak pula.
“Ya cuma Mama,” jawab saya.
Baca juga: Stop Pandang Kulit Putih Lebih Superior
“Emangnya kamu percaya Papa kamu enggak punya istri lain di negaranya?”
“Lha, Papa dari dulu tinggal di sini, enggak pernah balik ke negaranya. Papa saya orang baik. Saya percaya sama Papa saya.”
“Halah, kamu tau apa? Palingan di sana juga ada istri lain. Anaknya paling enggak cuma kamu.”
Peristiwa tersebut membuat saya kehilangan hormat pada beliau. Saya sangat menyayangkan perkataan seperti tersebut dapat keluar dari mulut seseorang yang seharusnya menjadi teladan bagi murid-muridnya.
Saya yakin peristiwa-peristiwa yang saya alami ini juga dirasakan oleh teman-teman yang memiliki latar belakang perkawinan campuran. Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan yang menjatuhkan martabat perempuan ini adalah sebuah bukti bahwa produk kolonialisme masih ada di era modern.
Pada masa kolonialisme, banyak perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh para laki-laki Eropa yang tinggal di Indonesia. Kebanyakan dari mereka telah memiliki istri di negaranya. Salah satu novel Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, menggambarkan hal ini dan bagaimana tidak berharganya perempuan pribumi kala itu.
Sangat disayangkan pandangan-padangan era kolonialisme seperti itu masih saja ada hingga saat ini. Saya sedikit berharap stereotip-stereotip miring mengenai perkawinan campuran berhenti di generasi orang tua saya, dan tidak berlanjut ke generasi saya.
Perempuan, sebagaimana laki-laki, memiliki hak untuk berekspresi dan hal tersebut tidak ada hubungannya dengan siapa ia menikah. Seorang perempuan bebas mengenakan pakaian yang ia anggap nyaman. Ia juga berhak atas tubuhnya, entah ia ingin menato tubuhnya atau tidak. Kalau pun memutuskan menato tubuh, tidak perlu juga dihakimi atau digeneralisasi melakukan perbuatan yang merendahkan martabat.
Tolok ukur kebaikan seorang perempuan tidak dapat dilihat dari bagaimana caranya untuk berpakaian, apakah ia bertato atau tidak, atau siapa pasangannya.
Comments