Pada suatu malam, saya pergi ke peluncuran buku seorang perempuan penulis muda.
“Telah muncul seorang penulis baru...,” seorang lelaki penulis senior berkata pada sekelompok laki-laki penulis senior lainnya di satu meja, “Siapa yang ingin jadi ‘mentor’-nya?” Dari nada bicaranya, saya tangkap bahwa yang ia maksud adalah siapa yang ingin memacari perempuan tersebut.
Para laki-laki penulis yang mendengar pertanyaan itu tertawa. Tak ada yang berkomentar betapa menggelikan pernyataan itu, seolah-olah perempuan tadi dapat diobral seperti itu. Mereka nampak tak sungkan dengan keberadaan saya di sana, tak peduli dan tak khawatir bahwa perkataan semacam itu dapat menggugurkan reputasi mereka.
Pada saat yang lain, saya mewawancarai seorang penulis brilian, sebagai bagian dari penelitian untuk novel. Pembicaraan kami begitu menyenangkan, ia nampak menghargai tulisan saya dan hal-hal yang saya katakan. Ketika ia mengantar saya pulang, ia bertanya kapan kami akan berhubungan seks. Terkejut, tersinggung, dan jengkel, saya berkata, “Kenapa kamu ingin tidur denganku? Aku menghormatimu, dan aku ingin kamu pun menghormatiku.”
Ketika saya sedang melakukan penelitian untuk novel lagi, saya menemui seorang fotografer. Ia menunjukkan kepada saya ruang gelap tempatnya bekerja, sebelum berdiri di belakang saya dan meremas pantat saya. Saya merasa marah, kecewa, dan kasihan pada diri sendiri: ia mungkin tak pernah menganggap saya sebagai penulis serius. Ia hanya setuju bertemu dengan saya agar dapat melakukan hal itu. Saya bertaruh hal ini takkan terjadi andai saya laki-laki.
Akhirnya saya mampu bilang, “Kalau kamu tidak berhenti, saya akan lapor pada kekasihmu.” Seharusnya saya mengatakan, Saya tidak datang ke sini untuk tidur denganmu, tetapi saat itu saya belum cukup berdaya untuk mengucapkan hal semacam itu. Ia berhenti dan berkata ia hanya menguji keberuntungannya.
Ia menunjukkan proses pencetakan seterusnya dan menjelaskan bahwa ia dan kekasihnya memiliki persetujuan—mereka bebas untuk tidur dengan orang lain ketika berada di luar kota, atau dengan para mahasiswi di kampus. Saya memaklumi bahwa tiap-tiap hubungan bisa punya peraturan masing-masing, tetapi klausul khusus perihal “mahasiswi di kampus” membuat saya bertanya-tanya. Apakah di ranah itu ia paling banyak mendapatkan “aksi sampingan”? Apakah ia menggunakan posisinya sebagai pengajar untuk mengambil keuntungan dari mahasiswi? Dan kekasihnya yang seorang penulis feminis memberi restu pada perilaku tersebut?
Meskipun mahasiswi pada umumnya dapat dibilang sudah dewasa, saya membayangkan segala kerumitan yang dapat terjadi antara mereka—mulai dari dinamika kuasa yang tak seimbang antara pengajar dan murid, hingga berbagai ketidakpahaman yang mungkin terjadi karena perbedaan generasi, gender dan perspektif. Kemudian, usia kedewasaan seksual seseorang belum tentu sesuai dengan usia kedewasaan fisik—apalagi, masyarakat kita nyaris tidak memberi pendidikan seputar seks.
Salah seorang penulis unggul, yang dikenal telah menjalin hubungan kasih dengan banyak penulis perempuan yang jauh lebih muda darinya, mengirimkan sebuah pesan singkat kepada saya, suatu pagi setelah kami bertemu pada sebuah acara sastra malam sebelumnya: Eliza manis, apa kabarmu hari ini?
Tak ada yang salah, tetapi saya ingin menegaskan secepat mungkin bahwa saya tertarik pada pemikirannya, bukan untuk menjadi kekasihnya.
Saya balas: Apakah Anda bersedia membaca naskah buram novel saya? Ia menyarankan kami bertemu di sebuah restoran. Saya menulis bahwa saya akan memberikan naskah itu kali berikutnya kami bertemu pada acara sastra.
Saya merenung sejenak sebelum menekan tombol kirim. Ia telah menulis banyak buku, membangun komunitas seni, dan memimpin banyak organisasi—sedangkan apa yang saya punya? Saya hanya seorang perempuan muda yang berpikir dirinya cukup pintar dan berbakat untuk berhasil dengan upaya sendiri.
Apakah arogan jika saya menolak kesempatan untuk menghabiskan hari-hari dan malam-malam belajar secara intim dari penulis terkemuka? Apakah terlalu tinggi hati jika saya berpikir bahwa saya dapat menemukan cara untuk mengembangkan bakat tanpa harus berpacaran dengan seseorang yang berpuluh tahun lebih tua daripada saya, yang saya tak merasa ada ketertarikan kepadanya?
Saat penulis perempuan menghasilkan karya buku yang bagus dan memperoleh ketenaran, banyak orang meremehkan kesuksesannya dan mencurigai kesuksesan itu didapat karena pernah menjadi kekasih penulis laki-laki senior.
Setan di pundak kiriku berbisik: Namun, ia tak memilih sembarang penulis—mantan-mantan kekasihnya tidak hanya cantik, tetapi juga luar biasa. Kudengar ia memang mencintai perempuan-perempuan itu, dan ia memperhitungkan mereka secara serius sebagai penulis. Para perempuan itu terus menulis buku yang cemerlang. Jadi, mengapa tak mengambil kesempatan ini? Berpacaran dengannya untuk beberapa tahun, seperti yang lainnya, menulis, menerbitkan novelmu, lalu meninggalkannya, seperti yang lainnya, untuk menemukan orang yang sesungguhnya kaucintai? Apa artinya beberapa tahun seks dibandingkan bimbingan sastra terbaik dan akses kepada koneksi-koneksinya?
Apakah salah untuk berpegang pada prinsip bahwa saya pantas diperlakukan terutama sebagai sejawat, bukan sekadar sosok cantik untuk dicumbu, disetubuhi, dan ditunjukkan jalan? Apakah saya sombong atau bodoh jika ingin menemukan jalan sendiri?
Tidakkah kamu takut jika nantinya kamu tidak dilibatkan dalam festival dan acara-acara sastra? Sebaiknya kau memikirkan karirmu sebelum egomu. Atau, jangan-jangan, kau tak terlalu menginginkan kesuksesan?
Telah banyak yang saya dengar tentang apa yang dilakukan oleh elit sastra pada perempuan muda yang menjalani hubungan demikian: seorang penyair senior menghamili murid-muridnya, atau penyair senior lain yang memerawani seorang penulis muda lalu menuliskan pengalamannya itu jadi sebuah lagu. Banyak penulis lain mengolok-olok perempuan itu. Saya mendengar cerita dari rekan-rekan penulis perempuan tentang penulis-penulis laki-laki yang menciumi atau menggerayangi mereka tanpa izin, atau bahkan lebih buruk daripada itu.
Saya pernah membaca pengakuan seorang penulis perempuan tentang menjadi simpanan seorang penulis laki-laki senior, supaya laki-laki itu mengajarinya menulis. Ia juga menjadi simpanan seorang laki-laki kaya agar laki-laki itu membayar biaya hidupnya selama ia menulis. Saya menghargai bagaimana perempuan itu memegang kendali atas situasinya dan menemukan pemberdayaan.
Apa kau tak bisa lebih sepertinya? Merendah untuk meroket? Pada akhirnya kau akan tunjukkan pada dunia siapa sebenarnya yang menang.
Saat penulis perempuan menghasilkan karya buku yang bagus dan memperoleh ketenaran, banyak orang meremehkan kesuksesannya dan mencurigai kesuksesan itu didapat karena pernah menjadi kekasih penulis laki-laki senior. Saya tidak ingin hal itu terjadi pada saya. Entah sukses atau gagal, itu semua akan jadi berkat upaya sendiri. Kerja keras saya. Bakat saya. Jangan sampai ada keraguan.
Saya tekan tombol kirim.
Saya bertekad tidak akan pernah berpacaran atau tidur dengan siapa pun yang berkaitan dengan sastra di Indonesia. Ini bukan karena sombong, tapi untuk bertahan hidup. Mungkin orang akan berkata, tak ada yang salah selama pihak-pihak yang terlibat sudah dewasa dan menjalani hubungan dengan sukarela. Betul, tetapi situasi bisa menjadi rumit.
Di Jakarta, kita tidak berbicara tentang tubuh atau hasrat-hasrat kita. Kita tidak berbicara tentang apa yang dimaksud dengan suka-sama-suka (consent), tentang kesetaraan atau dinamika kuasa dalam berpacaran atau seks. Perempuan muda mungkin merasa kesulitan menolak seorang laki-laki, terutama jika laki-laki itu manipulatif atau berpengaruh pada masa depan karier atau pendidikannya.
Penting bagi kita, perempuan-perempuan penulis muda, untuk tidak terus diam dalam bayang-bayang. Penulis-penulis perempuan dapat berkumpul dan saling mendukung satu sama lain.
Karena seks hanya dibenarkan untuk pasangan heteroseksual yang telah menikah—masyarakat kita seringkali kejam, terutama pada perempuan, yang memilih untuk berhubungan seks sebelum menikah. Membeli kondom distigmatisasi. Aborsi ilegal. Anak-anak perempuan dapat dikeluarkan dari sekolah atau universitas karena hamil atau diperkosa. Perempuan yang diusir dari tempat tinggalnya karena ia memiliki seorang anak tanpa suami.
Ketika eufemisme lazim tentang seks adalah “melayani” laki-laki, kita bisa membayangkan bagaimana posisi perempuan dalam seks juga inferior. Akibatnya, banyak perempuan tidak merasa berani untuk menuntut laki-laki menggunakan kondom atau meminta laki-laki memuaskannya. Kita pun bisa membayangkan bagaimana persepsi inferioritas ini diperkuat ketika si perempuan adalah penulis muda baru dan si laki-laki adalah penulis senior terkemuka, atau si perempuan adalah seorang murid, dan si laki-laki adalah pengajar atau dosennya.
Yang saya kutuk adalah ketidakpedulian terhadap situasi perempuan. Saya yakin penulis-penulis senior paham situasi lingkungan sosial kami—tetapi tampaknya banyak yang tak peduli untuk menghindari agar perempuan yang tidur bersama mereka tidak berisiko hamil atau tertangkap tangan. Mereka justru membanggakan penaklukan seksual mereka atau mudah saja meninggalkan perempuan-perempuan yang dihamilinya.
Kontroversi besar terjadi ketika seorang penyair menghamili seorang mahasiswi, dan mahasiswi tersebut melaporkannya karena pemerkosaan. Banyak yang meragukan mahasiswi tersebut, sebab hubungan seksual mereka telah berlangsung lama. Tetapi saya dapat membayangkan mahasiswi tersebut merasa harus tutup mulut dan memberi penyair itu apa saja yang ia inginkan karena ia merasa ia takkan menemukan laki-laki lain sebab tak lagi perawan (masyarakat kita mencekokkan pada perempuan bahwa harga diri kita bergantung pada keperawanan). Atau mungkin ia takut si penyair akan melaporkannya ke universitas sehingga si mahasiswi akan dikeluarkan, atau mungkin si mahasiswi merasa tak cukup kuasa untuk melawan, atau ia merasa telah dimanfaatkan secara tidak adil dalam cara lain.
Mungkin benar bahwa sering laki-laki penulis hanya sebatas “menguji keberuntungan”, dan banyak perempuan penulis dengan sukarela menjalin hubungan dengan laki-laki penulis. Harus pula diingat bahwa tidak semua laki-laki penulis senior di Jakarta senang menarget mahasiswi atau penulis perempuan yang lebih muda untuk ia tiduri. Dalam beberapa contoh, nampaknya para penulis laki-laki memperhitungkan secara serius para penulis perempuan, dan mereka ingin menjalin hubungan dengan kami karena mereka anggap kami mengagumkan.
Sebagai penulis perempuan, saya cenderung menganggap perhatian tersebut lebih sebagai sesuatu yang menghambat daripada menyanjung. Saya tidak hanya harus belajar menulis, tapi juga harus belajar melindungi diri dari tindakan seksual yang tak diinginkan, belajar bagaimana berkata ‘tidak’ tanpa menyinggung ego laki-laki penulis senior, dan bagaimana untuk tidak patah semangat karena penulis terkemuka yang saya kagumi ternyata melihat saya pertama-tama sebagai wajah cantik dan baru kedua atau ketiga sebagai seorang penulis.
Elit sastra Jakarta adalah kelompok yang kecil, anggotanya terlibat dalam hampir semua acara sastra. Jika Anda perempuan penulis muda yang pernah mengalami pelecehan atau diperlakukan secara seksis, Anda mungkin merasa tak ada tempat aman, tak ada dukungan, tak merasakan keuntungan jika angkat bicara. Anda mungkin merasa terkucilkan. Semangat Anda bisa jadi kian surut, dan merasa ciut untuk berpartisipasi dalam berbagai ajang sastra karena merasa risih bila bertemu atau berurusan dengan penulis-penulis yang melecehkan, atau Anda bisa jadi kehilangan rasa percaya diri terhadap kemampuan Anda sendiri.
Itulah mengapa penting bagi kita, perempuan-perempuan penulis muda, untuk tidak terus diam dalam bayang-bayang. Penulis-penulis perempuan dapat berkumpul dan saling mendukung satu sama lain. Kita memerlukan keberagaman dalam apa yang kita baca, apa yang kita terbitkan, dan siapa yang kita libatkan dalam organisasi, sayembara, atau acara sastra.
Kita dapat menciptakan lebih banyak pelatihan dan kesempatan untuk perempuan-perempuan penulis. Kita bisa protes ketika rekan-rekan kerja menunjukkan gambar-gambar seronok sebagai pelepas penat dalam rapat. Kita bisa bekerja untuk mengangkat posisi perempuan dalam pacaran, seks, di kantor, dan di masyarakat. Kita bisa memilih perempuan-perempuan yang berkemampuan untuk posisi kepemimpinan. Kita bisa menunjukkan pada dunia bahwa perempuan memiliki daya kreasi sendiri dan daya itu harus senantiasa dihormati.
Eliza Vitri Handayani adalah penulis, kekasih, introvert, petualang, tidak religius, sering depresi dan kurang percaya diri, tapi pantang menyerah. Ia juga seorang penyintas dan banyak lagi. Sapa dia melalui Instagram dan Twitter: @elizavitri.
Artikel ini diterjemahkan oleh Ayunda Nurvitasari bersama penulis. Naskah asli ditulis dalam bahasa Inggris untuk sebuah penerbitan lain.
Comments