Pekan lalu, Twitter ramai membicarakan laki-laki yang malu membeli pembalut untuk pasangannya. Ia khawatir dicap enggak maskulin dan gay.
Perbincangan itu sendiri dimulai dari utas laki-laki homoseksual yang membagikan pengalamannya menggunakan pembalut, usai berhubungan seksual. Ia mengatakan, fungsi pembalut adalah mengompres anus dan menahan keluarnya sisa ekskresi.
Namun fokus pembahasannya teralihkan. Pasalnya, segelintir warganet merasa utas tersebut telah membentuk persepsinya, saat melihat laki-laki membeli pembalut. Kemudian muncul perdebatan tentang laki-laki yang enggan dan malu ketika diminta tolong membelikan pembalut. “Masa cowok beli pembalut,” katanya.
Obrolan warganet ini mengingatkan saya dengan percakapan di ruang keluarga beberapa tahun silam. Waktu itu bapak mau ke Indomaret untuk ambil uang tunai, dan ibu bilang, pembalut di rumah sudah habis.
“Bu, sekalian nitip pembalut sama bapak aja,” usul saya. Namun, ibu menggelengkan kepala, mengucapkan kalimat persis seperti yang dikatakan sejumlah pengguna Twitter itu.
Hingga akhirnya enggak ada pilihan lain, dan terpaksa nitip bapak untuk membelikan. Itu pun dibekali tas belanja kecil untuk menutupinya. Kayak transaksi barang ilegal aja, batin saya.
Otomatis segudang tanda tanya muncul di kepala saya. Memangnya ada apa, sih antara menstruasi, pembalut, dan laki-laki? Toh, benda tersebut jadi salah satu kebutuhan perempuan, yang punya siklus haid setiap bulannya.
Lagi pula apa yang harus dipermasalahkan ketika laki-laki membeli pembalut? Kan enggak akan mengurangi maskulinitasnya sedikit pun.
Untuk menjawab rasa penasaran, saya menuju mesin pencari dan bertanya, apa yang bikin laki-laki malu ketika harus membeli pembalut, atau menganggapnya sebagai “female thing”.
Ternyata, stigma terhadap menstruasi adalah jawabannya.
Baca Juga: Siapa yang Berhak Bicara Soal Kesehatan Menstruasi?
“Menstruasi Itu Kotor” dan Period Shaming
Hingga saat ini, sebagian perempuan masih merasa malu ketika mengalami menstruasi setiap bulannya. Pasalnya, terdapat stigma di masyarakat bahwa siklus itu kotor, menjijikan, dan tidak diinginkan. Anggapan tersebut merupakan bentuk period shaming, sebagai konsekuensi dari konstruksi sosial.
Karena itu, menstruasi masih dianggap tabu. Tak sedikit orang menolak mengatakannya secara gamblang, melainkan menggunakan istilah seperti “lagi dapet”, atau menyebut pembalut sebagai “roti Jepang” dan menyembunyikannya saat menuju ke toilet.
Survei pada 2018 oleh Thinx—perusahaan asal New York yang membuat produk kebersihan perempuan—mencatat 51 persen laki-laki pekerja meyakini, siklus menstruasi tidak seharusnya dibicarakan perempuan saat berada di kantor.
Angka ini menunjukkan, sejumlah laki-laki tidak menganggap menstruasi sebagai siklus normal yang dialami perempuan. Pun persepsi itu terbentuk akibat minimnya peran instansi pendidikan, dalam membicarakan menstruasi kepada peserta didiknya, sebagaimana diungkapkan Plan International UK, mengutip dari BBC.
Situasi ini juga terjadi di Jepang, membuat perempuan di sana kewalahan dengan persepsi tabu yang terbentuk di masyarakat.
Dalam salah satu artikel Magdalene berjudul Tabu Menstruasi di Jepang: Saat Darah Haid Dianggap Aib, seorang narasumber mengatakan, menstruasi adalah aib untuk dibicarakan di kantor. Nahasnya, memberi tahu orang lain jika ingin mengambil cuti haid, terlebih kepada laki-laki, menandakan perempuan adalah orang yang lemah.
Lebih dari itu, ia juga membungkus pembalut dengan plastik hitam setelah membelinya di minimarket. Alasannya? Biar enggak ada yang tahu kalau barang itu yang dibelinya. Alias enggak ada bedanya yang dilakukan ibu saya, ketika minta tolong bapak beli pembalut.
Baca Juga: Laki-laki dan Menstruasi: Pengalaman Transpria
Beli Pembalut dan Menstruasi Bukan Hal Memalukan
Gagasan tentang mengalami menstruasi kerap dianggap menjijikan, karena selama masa itu tubuh mengeluarkan darah. Ibarat puncak gunung es, pendarahan itu hanyalah sisi yang terlihat selama siklus menstruasi.
Di balik itu, perempuan kehilangan banyak nutrisi karena terdapat zat besi di dalam sel darah merah yang dikeluarkan.
Bahkan juga harus memperhatikan asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh, karena berpengaruh terhadap kram perut—disebut juga dysmenorrhea—yang dirasakan. Alhasil, mereka harus menghindari daging merah, makanan olahan dan berminyak, mengandung tambahan gula, produk susu, dan minuman berkarbonasi.
Kalau kamu belum tahu, kram itu disebabkan oleh kontraksi otot rahim, dan menekan pembuluh darah di sekitarnya. Hingga memotong oksigen ke rahim yang menimbulkan rasa sakit.
Selain itu, menjelang menstruasi, perempuan juga merasakan kembung, sulit berkonsentrasi, mudah lelah, perut membengkak, payudara nyeri, dan mood swings.
Karena itu, membelikan pembalut adalah salah satu bentuk kepedulian yang bisa diberikan laki-laki terhadap pasangan, maupun anggota keluarganya. Toh enggak ada bedanya dengan membantu mencuci pakaian, atau membelikan keperluan kesehatan dan rumah tangga lainnya.
Anggap saja upaya itu meringankan beban perempuan yang menghadapi period cramps, dan tetap berusaha melakukan aktivitasnya.
Lagi pula, mau membelikan satu kali nggak berarti akan melakukannya setiap bulan, karena ini tetap menjadi kewajiban perempuan untuk memenuhi kebutuhannya. Cuma ada waktu tertentu, ketika mereka membutuhkan bantuan laki-laki.
Berkaca dari realitas ini, Lindiwe Nkuna selaku pendiri dari Lindiwe Sanitary Pads—produk pembalut asal Afrika Selatan—berupaya mengubah persepsi laki-laki terhadap menstruasi, dengan memulai gerakan #AreYouManEnough.
Baca Juga: Menelusuri Sejarah Produk Pembalut dari Berbagai Era
Inisiatif yang dilakukan sejak Juli 2020 itu juga dilakukan agar laki-laki enggak malu lagi, ketika harus membeli pembalut.
“Ada banyak laki-laki yang sudah melakukannya, tapi hal ini juga dilakukan untuk mengapresiasi mereka agar tidak menjadi korban stereotip dan tekanan sosial,” ujar Nkuna dilansir dari The Daily Vox.
Mungkin sebagian laki-laki masih berasumsi, membeli pembalut akan mengurangi maskulinitas mereka. Padahal, maskulinitas adalah konstruksi sosial untuk mendefinisikan laki-laki secara biologis.
Bahkan Psychology Today saja menyatakan, laki-laki dan perempuan mampu menampilkan sisi maskulin dan feminin dalam dirinya. Ditambah setiap budaya dan periode sejarah memiliki penjelasan berbeda.
Jadi mulai hari ini, kamu bisa menganggap membeli pembalut sebagai act of service, untuk perempuan di sekitarmu. Lagian apa sih definisi menjadi laki-laki itu?
Comments