Fun, fantastic, dan fearless. Tiga kata itu yang mendefinisikan seorang feminis untuk Kalis Mardiasih saat kali pertama membaca buku tentang perempuan melawan norma yang menindas mereka. Aktivis perempuan dan penulis itu mengatakan, merasa tergugah bertemu dengan karakter perempuan yang bisa berpikir ‘nakal’ dan melawan norma yang mengekang. Tokoh perempuan dalam novel itu, seperti yang terdapat dalam karya sastra milik Nawal El Saadawi, feminis asal Mesir, yang kemudian membuat Kalis mengenal feminisme.
“Saya memulai perjalanan mengenal feminisme karena gemar membaca buku atau novel. Saya juga melihat ketertindasan yang dialami perempuan itu tidak sama. Dari sana saya membaca apa saja dan tanpa sadar pengetahuan tekstual itu terangkai dan muncul kesadaran yang ‘segar’,” jelas Kalis dalam diskusi daring Merayakan Feminisme: Meluruskan Konsepsi yang Salah Tentang Feminisme yang diselenggarakan media Konde.co dan Yayasan Kalyanamitra, (16/8).
Kesadaran terkait perempuan dilarang ini atau itu, didiskriminasi hanya menjadi perempuan, dan perempuan dianggap sebagai objek, semakin kuat ketika muncul basis ideologi feminisme dalam dirinya. Hal itu juga semakin dikokohkan ketika ia ditugaskan memegang media dan menjadi bagian dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) oleh Alissa Wahid pada 2018. Kalis menyadari pemahamannya tentang pernikahan dan poligami yang tidak boleh ditentang dalam ruang musyawarah, nyatanya boleh dipertanyakan dan perlawanannya memiliki basis ilmu.
“Di situ saya melihat banyak akademisi Islam di Indonesia yang tidak hanya melakukan perubahan pemikiran dan menjadikan itu sebagai gerakan sosial berjejaring secara global. Dari sana (pula), saya mengenal banyak orang dalam gerakan,” kata Kalis.
Kalis dengan semangatnya, membawa pemikiran-pemikiran itu ke media sosial dengan cara menulis. Buat dia, menulis adalah jalan yang paling sesuai untuk membantunya terus berproses tentang kesadaran diri dan menemukan hidayah baru tentang feminisme. Dari tulisan maupun unggahannya di media sosial dia juga bertemu dan ‘disapa’ langsung oleh perempuan-perempuan yang merasa diwakili, baik dalam isu kekerasan hingga kesehatan reproduksi.
“Menariknya, saya melakukan kerja feminisme di akun pribadi niatnya sebagai jihad intelektual pada akhirnya menjadi sangat personal. Karena akun saya menjadi jangkar yang menjangkau orang yang selama ini tidak terjangkau,” ujarnya.
Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi
Sejarah Gerakan Perempuan di Media
Gerakan feminisme dewasa ini kerap diwarnai dengan perjuangan lewat media sosial. Namun, dalam konteks perjuangan perempuan di Indonesia, secara historis gerakan feminisme di ruang media dapat dicatat sejak masa kolonialisme. Hal itu ditandai dengan munculnya koran yang diterbitkan perempuan untuk perempuan.
Marina Nasution, Redaktur Pelaksana Konde.co mengatakan, wujud media perempuan pertama ada pada koran Putri India pada tahun 1908. Selain itu, di daerah Sumatera Barat ada koran Soenting Melajoe yang dipelopori oleh Rohana Kudus, jurnalis perempuan pertama di Indonesia.
“Koran perempuan di Sumatera juga tidak hanya di daerah kota, seperti Medan, tapi juga daerah kecil, seperti Tapanuli dan Sibolga. Isi koran tersebut juga sangat progresif dan mengajak perempuan untuk mengakses pendidikan,” ujarnya.
Maria menambahkan, ada juga koran Perempuan Bergerak dengan anggota redaksi mayoritas perempuan yang terbit pada 1919. Koran tersebut mengajak perempuan untuk melawan ketertinggalan akibat nilai-nilai patriarki dan sarat nada perjuangan gerakan perempuan. Karenanya, koran tersebut dinilai sangat radikal karena melabrak norma masyarakat umum.
Baca juga: Suara Perempuan dalam Panggung Politik Harus Hadir
Gerakan perempuan di media tersebut perlahan-lahan berubah masa pasca-kemerdekaan hingga Orde Baru. Doktrin dari pemerintah dan iklim politik yang menjadi sangat represif dan kental nilai patriarki itu memengaruhi wartawan dalam memaknai masalah perempuan dan feminisme. Berita perjuangan dan gerakan perempuan akan berkisar pada kegiatan sosial untuk pembangunan atau peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang diagungkan saat hari Kartini dan hari ibu saja.
“Walaupun ada Mitra Sejajar yang digaungkan oleh Dharma Wanita dan gerakan PKK kalau ditelisik lebih jauh konteksnya berkaitan dengan ibuisme dan posisi perempuan di ruang privat. Sehingga, isu mayoritas tentang perempuan sebagai penjaga rumah tangga untuk melayani laki-laki dan menyambung keturunan,” kata Marina.
Ia menambahkan, di era reformasi atau menjelang jatuhnya Soeharto media belum mampu menangkap substansi gerakan perempuan, misalnya melihat gerakan politik susu pada 1998. Aktivis yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli untuk menyuarakan gerakan tersebut secara sekilas tampak sebagai asi ibu-ibu yang tidak memiliki kepentingan dengan isu politik. Namun, gerakan tersebut disusun dengan hati-hati dan strategis oleh feminis untuk menjatuhkan rezim otoriter Soeharto.
“Gerakan susu ini menyuarakan kesulitan moneter masa itu. Ada perjuangan yang substantif. Tapi media salah tangkap tentang gerakan susu dan tidak mempertimbangan peran perempuan dalam transisi dari Orde Baru ke Reformasi,” ujarnya.
Myra Diarsi, aktivis perempuan dan pendiri Yayasan Kalyanamitra, institusi yang memperjuangkan keadilan gender mengatakan, gerakan susu memang menjadi sebuah ‘kamuflase’ untuk sebuah gebrakan yang lebih besar. Namun perlu digarisbawahi, gerakan tersebut sengaja dibuat halus untuk tidak menarik perhatian dan merupakan strategi untuk menggaet masyarakat publik.
“Misalnya setelah berdemo di DPR pukul 9 malam ada ibu-ibu yang keluar dari rumah bersama anaknya memberi sumbangan makanan untuk demonstran. Lalu ada juga supri bajaj yang menyumbang susu. Reaksi itu terjadi karena ada gerakan dari Suara Ibu Peduli yang dekat dengan mereka. Taktik kecil seperti ini yang harus dipelajari feminis muda,” jelasnya.
Sementara itu, Marina melanjutkan, memasuki era masa kini media di Indonesia juga masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan untuk mendukung isu perempuan. Bahkan berita-berita yang ajek mengobjektifikasi tubuh perempuan untuk menggaet pembaca atau berita clickbait masih bergentayangan hingga kini.
Selain itu, isu penting seperti Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) masih sedikit porsi pemberitaannya dalam media arus utama. Dengan demikian, peran publik menjadi krusial dalam mendorong media menjalankan fungsinya untuk mengawasi pemerintah dan menyuarakan isu perempuan yang mendesak, kata Marina.
“Progress memang ada dan itu harus diakui karena ada dorongan aktivis di media sosial yang memantau media bekerja sesuai fungsinya dan berada di jalurnya, misalnya dengan kasus wartawan Ridho Permana. Media sosial meminta media berita berjalan sesuai fungsinya,” tandasnya.
Baca juga: Potret Kusam Jurnalis Perempuan di Lampung
Miskonsepsi terhadap Gerakan Perempuan
Myra menambahkan, feminisme dan gerakan perempuan yang sering disalahartikan oleh publik juga tidak lepas dari peran rezim yang berkuasa. Kelompok yang memiliki kepentingan akan terganggu dengan pemikiran berdasarkan keadilan, seperti feminisme. Kekuasaan tersebut juga berpengaruh pada cara media menyorot gerakan perempuan dan perempuan secara sensasional dan menjadikanya objek fantasi seksual.
“Media berjalan sesuai kepentingan mereka, bahkan media arus utama menjadi pembentuk opini orang. Feminisme disalahartikan menjadi negatif. Maka dari itu, perlu dilihat siapa di balik rezim itu. Di belakang media, ada seseorang yang menurut saya belum berpihak pada keadilan,” ujarnya.
Media, imbuh Myra, juga belum paham tentang strategi gerakan perempuan, sehingga perannya tidak disorot. Misalnya, para feminis Indonesia yang mengusulkan agar Bundaran HI sebagai tempat paling strategis di mata publik untuk gerakan reformasi, tetapi perannya sebagai aktivis tidak dipertimanbangkan di media. Walaupun situasi pelik untuk gerakan perempuan, tidak berarti pergolakan di ruang media juga nihil. Maria Hartiningsih, jurnalis senior Kompas yang memperjuangkan agar isu perempuan mendapatkan porsi dan sorotan yang besar di media.
“Sebelum reformasi juga media yang mewakili gerakan feminisme dibredel, seperti Mitra Media dari Kalyanamitra. Namun, jika melihat adanya penyerangan (seperti yang dialami Magdalene.co dan Konde.co) jangan melihatnya sebagai hukuman. Lihat situasi itu sebagai penentangan terhadap rezim yang penting. Jika diretas, jangan khawatir dan buat terus beritanya,” jelasnya.
Comments