Tidak heran sebetulnya, mengingat saya beberapa kali menuliskan kritik keras soal pemakaian jilbab pada anak, hukum syariah di Aceh maupun Saudi Arabia dan kewajiban mengenakan jilbab, serta isu lain yang mungkin menyinggung masalah buka-tutup aurat, meskipun fokus tulisan saya sebetulnya bukan pada jilbab itu sendiri.
Informasi yang dapat saya serap dari fenomena ini adalah kecenderungan berkembangnya miskonsepsi terhadap suatu gagasan besar dalam proses konstekstualisasi gagasan tersebut–dalam hal ini feminisme.
Apabila kita membaca tulisan Feminisme, baik dari feminis Barat (Simone de Beauvoir, MacKinnon, Fraser, dan seterusnya) atau Timur Tengah (Mernissi, El-Saadawi, dan seterusnya), tampak bahwa mereka mengambil konteks politik yang berbeda namun menyuarakan hal yang sama sebagai prinsip yang diperjuangkan. Adapun prinsip tersebut, dalam pandangan saya, adalah (1) Otoritas atas tubuh, (2) Hak politik yang setara dengan laki-laki, (3) Kesempatan mengaktualisasikan diri yang setara dengan laki-laki, dan (4) Perempuan sebagai well-being, setara dengan laki-laki, bukan sebagai propertinya (budak atau barang milik laki-laki).
Isu jilbab yang saya bahas di awal kebetulan menyinggung prinsip pertama, yaitu otoritas atas tubuh dan pertentangannya dengan hukum agama, dalam hal ini Islam. Otoritas atas tubuh mensyaratkan adanya kebebasan penuh bagi perempuan untuk melakukan kehendaknya pada tubuhnya, termasuk memilih untuk mengenakan atau tidak mengenakan jilbab. Sederhana sekali, bukan? Isu ini menjadi tidak sesederhana itu karena menutup aurat diketahui sebagai kewajiban agama bagi setiap muslimah (perempuan beragama Islam) dan hukum ini bersifat mutlak dalam ajaran Islam.
Saya tidak ingin menjabarkan perdebatan interprerasi jilbab sebagai kewajiban muslimah atau hasil infiltrasi budaya timur tengah ke dalam ajaran agama, karena hal ini bukan menjadi fokus tulisan ini. Maka, kita sepakati saja, bahwa menutup aurat, dengan mengenakan jilbab, adalah kewajiban bagi setiap muslimah.
Sampai di sini, sebagian dari kita akan menyimpulkan Islam tidak mengenal konsep otoritas atas tubuh dan oleh karenanya, agama tersebut bertentangan dengan feminisme. Saya akan berterus terang bahwa keduanya memang punya kecenderungan untuk bertentangan. Islam dan feminisme adalah dua ideologi yang berbeda dengan ontologi dan epistemologinya masing-masing.
Feminisme sebagai ideologi dibangun di atas fondasi liberalisme yang menjunjung tinggi prinsip individualitas. Sementara itu, Islam sebagai agama sekaligus ideologi, menjunjung prinsip komunitas, dengan nilai-nilai saling acuh antar anggota komunitas untuk bersama-sama mencapai kebaikan. Tetapi, apakah keduanya harus bertentangan?
Prinsip individualitas sangat menekankan aspek penghormatan terhadap kebebasan atau ruang gerak bagi individu. Sementara prinsip komunitas menekankan aspek kebersamaan yang juga mengarah kepada duplikasi nilai-nilai yang sama kepada setiap orang dan memberikan tekanan sosial agar individu dapat hidup sesuai dengan nilai tersebut. Sejauh mana tekanan tersebut diberikan dapat menjadi titik terang agar kedua ideologi tidak bertentangan.
Kembali ke isu jilbab. Saya selalu memfokuskan kritik saya pada sejauh mana komunitas perlu menekan individu untuk menjadi sama dengan anggota komunitas lainnya. Ketika saya katakan bahwa perempuan berhak mendapatkan kemerdekaannya, hal itu tidak berarti jilbab merupakan bentuk penjajahan.
Opresi, yang merupakan karakteristik penjajahan, terjadi ketika individu dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bukan merupakan kehendaknya. Jika individu mengenakan jilbab atas kehendaknya sendiri, maka tidak ada opresi di sana. Tetapi, jika persuasi mengenakan jilbab menekan individu sampai ke titik di mana individu merasa terancam, maka ada opresi di sana. Lebih jauh lagi, ketika hal tersebut dimasukkan ke dalam hukum sehingga terdapat sanksi bagi yang tidak mengenakannya.
Terlepas dari bagaimana ajaran Islam yang sesungguhnya terkait dengan masalah buka-tutup aurat, karena ada banyak interpretasi dan tidak jarang saling menegasikan, prinsip otoritas atas tubuh mengimbau komunitas untuk menghormati hak setiap perempuan (dalam konteks ini, yaitu muslimah) untuk melakukan apapun pada tubuhnya sesuai dengan kehendaknya termasuk memilih untuk mengenakan jilbab atau tidak.
Sebagai penutup, saya tegaskan lagi beberapa poin penting dalam tulisan ini. Pertama, yang menjadi opresi bukanlah jilbab itu sendiri melainkan pemaksaan untuk mengenakannya. Kedua, Feminisme dan Islam dapat berjalan beriringan asalkan tekanan komunitas berhenti pada tahap mengingatkan. Terakhir, saya tidak mengecam jilbab fever atau kampanye-kampanye menutup aurat, tetapi saya mengecam tekanan bagi muslimah untuk menutup aurat yang melampaui batas–sampai membuat muslimah merasa tertekan dan ketakutan untuk tidak mengenakan jilbab atau lebih jauh lagi sampai diberikan sanksi hukum.
Cania Citta Irlanie adalah mahasiswi ilmu politik Universitas Indonesia. Ia aktif di Twitter dengan nama akun @Cittairlanie
Comments