Pekerja perempuan sangat berperan dalam perawatan kebun sawit, sebuah komoditas ekspor andalan Indonesia. Sayangnya, perlindungan pemerintah terhadap buruh sawit, khususnya buruh perempuan, masih minim hingga detik ini.
Koalisi Buruh Sawit mencatat dari 18 juta buruh perkebunan sawit, lebih dari setengahnya adalah buruh harian lepas dan sebagian besar merupakan perempuan. Berbagai lembaga non-pemerintah dan serikat buruh telah lama mendengungkan isu ketidakadilan dan belum terpenuhinya hak-hak buruh perempuan, namun hingga kini belum terselesaikan.
Indonesia saat ini adalah produsen sawit terbesar dunia. Industri perkebunan di Indonesia telah berkembang pesat sejak 1990-an. Pada 2018, Kementerian Pertanian mencatat bahwa dalam satu dekade, luas perkebunan sawit berlipat dua menjadi sekitar 14 juta hektar. Permintaan global akan minyak sawit pun terus meningkat dan berdampak pada peningkatan jumlah pekerja di perkebunan.
Pemerintah meyakini industri ini menjadi sektor yang menjanjikan dalam pembangunan karena mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Walaupun pekerja laki-laki mendominasi industri ini, namun andil pekerja perempuan juga sangat penting. Pekerja perempuan sangat berperan dalam perawatan kebun, di antaranya menebas gulma, menyemprot pestisida, memupuk dan memanen, mengangkut tandan buah segar, dan menyusun pelepah sawit yang jatuh dari pohon.
Masalah yang dihadapi buruh perempuan
Bekerja di perkebunan sawit bukan hal mudah karena membutuhkan tenaga fisik yang besar jika dibandingkan dengan bekerja di perkebunan lain. Selain itu, risiko terpapar bahan kimia berbahaya juga cenderung lebih tinggi.
Untuk mendapatkan kualitas minyak sawit yang optimal, tandan buah segar yang siap panen harus diolah dalam waktu 24 jam. Buruh sawit perempuan ikut andil dalam proses memanen ini. Mereka harus mengangkat tandan buah sawit segar yang berat per buahnya mencapai 20 hingga 35 kilogram.
Risiko kesehatan dan keselamatan kerja buruh sawit juga tinggi mengingat adanya kontak langsung dengan bahan kimia aktif dalam pupuk dan pestisida, serta keberadaan ular kobra di kebun sebagai predator hama tikus.
Kondisi kerja buruh laki-laki dan buruh perempuan di perkebunan sawit nyaris serupa. Mereka harus menghadapi kondisi topografi yang sulit serta tidak dilengkapi dengan peralatan kerja yang layak.
Baca juga: Pekerja Perempuan Tekstil dan Garmen Makin Rentan di Tengah Pandemi
Meski kondisi dan kesempatan kerja sama, tapi nasib mereka jauh berbeda. Menurut Trade Union Rights Centre, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada studi dan advokasi perburuhan, pekerja perempuan kerap mendapatkan perlakuan tidak adil seperti diskriminasi dalam hal upah dan mengalami kekerasan seksual ketika bekerja.
Upah dan target pekerjaan yang mereka terima tidaklah sesuai. Bagi pekerja dengan status buruh harian lepas, upah hanya diberikan berdasarkan hari kerja. Jika mereka tidak masuk kerja, maka upah tidak diberikan.
Perempuan lebih banyak menjadi buruh harian lepas di perkebunan sawit dengan beberapa alasan. Salah satunya adalah tingginya tuntutan hasil panen dari perusahaan yang menyebabkan mereka di hari-hari tertentu harus membantu suami mereka dalam proses memanen sawit.
Perusahaan lebih suka mempekerjakan mereka sebagai buruh harian lepas karena buruh perempuan dianggap lebih murah dan perusahaan tidak perlu bertanggung jawab atas jaminan sosial mereka. Padahal di sisi lain, perempuan memiliki tanggung jawab ganda: Mencari nafkah dan mengurus keluarga. Hal ini menjadi dilema yang turut berkontribusi pada peran mereka di rumah tangga maupun sebagai buruh sawit.
Hak-hak normatif perempuan seperti cuti haid dan melahirkan juga belum dapat diakomodasi sepenuhnya oleh perusahaan, terutama dengan status sebagai buruh harian lepas. Para perempuan ini juga menghadapi beban lebih karena sistem bekerja yang tidak fleksibel, yang terkadang memaksa mereka harus memilih antara memenuhi kebutuhan keluarga atau mengurus rumah tangga.
Selain itu, tidak tersedianya fasilitas penitipan anak di tempat mereka bekerja serta tidak adanya fasilitas antar-jemput dari dan ke tempat kerja yang memadai, menjadi tantangan besar bagi perempuan ini. Mereka harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencapai perkebunan sawit. Kondisi ini sangat diskriminatif dan bisa berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.
Baca juga: KDRT dan Buruh Perempuan: Rantai Kekerasan yang Sulit Diputus
Dorongan masyarakat sipil
Di dunia, inisiatif yang mengusung prinsip keberlanjutan (sustainability) di sektor sawit, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), telah memberikan perhatian terhadap aspek gender.
RSPO adalah sebuah asosiasi nirlaba beranggotakan berbagai pemangku kepentingan di sektor industri sawit yang bertujuan untuk mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan (sustainable). Status “sustainable” diberikan melalui sertifikasi pabrik kelapa sawit (palm oil mill) yang telah mematuhi prinsip dan kriteria RSPO untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, termasuk aspek gender.
Terkait aspek ini, perusahaan antara lain wajib memberikan upah yang setara; membentuk komite gender; dan menciptakan keamanan dan kelayakan tempat kerja agar tidak terjadi kekerasan dan diskriminasi berbasis gender.
Perusahaan juga harus membuat pelatihan yang mempertimbangkan kebutuhan spesifik gender; dan memberikan kesempatan yang sama bagi pekerja untuk mengikuti pelatihan dan berpartisipasi dalam memberikan suara dan mengambil keputusan.
Perusahaan lebih suka mempekerjakan mereka sebagai buruh harian lepas karena buruh perempuan dianggap lebih murah dan perusahaan tidak perlu bertanggung jawab atas jaminan sosial mereka.
Walau sebuah perusahaan bisa memiliki lebih dari satu pabrik, sertifikasi hanya berlaku pada satu pabrik; seiring waktu perusahaan harus menyertifikasi semua pabrik mereka.
Belum semua pabrik kelapa sawit di Indonesia memiliki sertifikat RSPO. Pada 2019, RSPO mencatat baru ada 195 pabrik kelapa sawit bersertifikat di Indonesia. Sedangkan pada 2015 saja, ada total 742 pabrik kelapa sawit di Indonesia.
Kekosongan regulasi
Namun, inisiatif seperti RSPO tidak akan efektif jika Indonesia sendiri tidak memiliki regulasi yang memadai untuk melindungi buruh perempuan.
Saat ini, RSPO sedang merencanakan untuk membuat panduan “gender inclusivity” (kebijakan yang tidak mendiskriminasi berbasis gender) bagi produsen sawit. Rencana RSPO untuk mencapai gender inclusivity di ranah sawit tentu harus mengacu pada terhadap regulasi yang terlebih dahulu ada.
Indonesia telah memiliki inisiatif untuk membuat regulasi terkait pekerja perempuan di perkebunan sawit melalui Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 13/2003 tentang Tenaga Kerja. Sayangnya, kedua UU ini belum maksimal dalam melindungi buruh sawit perempuan sehingga suatu pabrik yang bersertifikasi RSPO belum tentu telah memenuhi hak-hak pekerja perempuan, karena adanya kekosongan regulasi dan belum adanya sistem pengawasan yang baik di Indonesia.
Baca juga: Menjadi Perempuan Buruh Pabrik di Indonesia
Saat ini, perusahaan tidak dapat mengatasi permasalahan yang dialami buruh karena belum adanya peraturan khusus menyangkut buruh perkebunan sawit.
UU Ketenagakerjaan yang ada saat ini, yaitu UU No. 13 tahun 2003, lebih cocok diterapkan untuk buruh di sektor manufaktur. Padahal, karakter dan kondisi kerja buruh perkebunan khususnya sawit sangat berbeda. Contohnya dalam penetapan upah.
Berdasarkan undang-undang, upah minimum mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditetapkan lewat standar kebutuhan pekerja lajang untuk hidup layak dalam satu bulan dengan 3.000 kilokalori per hari. Penetapan ini tidak sebanding dengan jumlah kalori yang diperlukan oleh buruh untuk bekerja di perkebunan sawit.
Apa yang harus dilakukan?
Kekosongan regulasi bagi buruh sawit menandakan perhatian pemerintah di sektor ini masih sedikit, terutama yang terkait pada buruh perempuan. Lebih lanjut, pemangku kepentingan di perusahaan belum sepenuhnya sadar akan pentingnya komitmen terhadap kesetaraan dan keadilan gender.
Kebijakan dan operasional perusahaan perkebunan sawit belum mempertimbangkan hak-hak pekerja perempuan ini, misalnya dengan menyediakan alat pelindung diri yang sesuai dengan anatomi dan fisiologis tubuh perempuan, memberikan ruang menyusui di tempat kerja, dan fasilitas kesehatan pendukung lainnya.
Apa yang harus berubah?
Pertama, regulasi dalam sawit harus mengakomodasi masalah-masalah lintas sektor yang bisa menghubungkan semua faktor penting. Regulasi tidak hanya mempertimbangkan kondisi lingkungan, tapi juga hak-hak pekerja perempuan.
Kedua, perlu ada aturan yang mengakui keberadaan dan peran buruh perempuan sehingga tercipta keadilan dalam hal upah dan juga perlindungan keamanan. Dengan membayar upah buruh perempuan secara adil, maka artinya perusahaan dan juga pemerintah sebagai pembuat kebijakan menghormati hak-hak mereka.
Ketiga, perlu ada aturan yang memastikan bahwa buruh sawit perempuan terlibat dan ikut berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka, baik di ranah domestik (mengurus rumah tangga) maupun ranah non-domestik (yang berkaitan langsung dengan sumber penghidupan mereka sebagai buruh sawit).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments