Warganet tengah dihebohkan dengan kabar RCTI-INews yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konsititusi (MK) terhadap salah satu pasal di Undang-Undang (UU) No. 32/2002 tentang Penyiaran.
Kedua perusahaan di bawah payung MNC Group ini menganggap ada perlakuan tidak adil terhadap penyelenggara penyiaran konvensional seperti mereka, sementara layanan siaran berbasis internet macam Youtube, Netflix, beragam penyedia jasa streaming dan segala media sosial yang menyediakan fitur live mendapat privilese imun dari aturan di UU tersebut dan aturan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang membuat Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaraan yang digugat RCTI-INews menyebutkan bahwa “penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Di samping itu, RCTI-INews juga menyinggung soal konten siaran digital yang bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, moralitas dan nilai agama sehingga perluasan definisi penyiaran yang mencakup layanan siar di internet diperlukan.
Para penggugat menginginkan penyelenggara layanan penyiaran online juga menjadi subjek hukum di bawah regulasi-regulasi penyiaran yang berlaku di Indonesia. Lebih lanjut dilansir Tirto, dalam sidang uji materi pada Rabu (26/8) lalu, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli juga menyampaikan bahwa platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin.
Banyak pihak yang mengkritik tindakan RCTI-INews ini. Sebagian menyinggung perusahaan MNC Group kelewat khawatir kalah saing dan kehilangan banyak penonton yang mulai beralih menyaksikan konten di internet dibanding televisi. Ada juga opini politikus dan ekonom Rizal Ramli di Twitter yang menyatakan, “RCTI milik HT yang kuasai banyak channel TV menggugat UU No. 32 2002 tentang Penyiaran ke MK, minta media digital ‘ditertibkan’ supaya tidak menyaingi TV. Oligopolist kok minta proteksi? Ini oligarki media penjilat kekuasaan demi bisnis & proteksi hukum. Hari ini minta-minta tolong MK”
Jika gugatan RCTI-INews sampai dikabulkan MK, tidak hanya individu atau organisasi yang menyediakan layanan streaming dan menyiarkan tayangan live di media sosial saja yang merugi. Warganet yang menonton pun akan kecipratan imbas buruk dari hal ini. Berikut ini sejumlah hal yang dapat terjadi bila mereka MK meloloskan permohonan mereka.
- Selamat menikmati tayangan “bergizi” kehidupan selebritas
Jika menilik konten-konten yang disediakan kanal-kanal di bawah MNC Group, dan banyak televisi nasional lainnya, kehidupan selebritas menjadi salah satu “makanan wajib” yang dihidangkan dalam program-program mereka. Kanal-kanal luar dan media sosial pun melakukan yang sama tentunya, tetapi mari kita lihat porsinya dan cara penyajiannya.
Program infotainment sudah lumrah dan tidak perlu disinggung lebih jauh lagi. Tetapi siaran langsung pernikahan atau persalinan selebritas, itu hal lain. RCTI pernah menayangkan secara langsung prosesi pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina pada 2014 lalu dalam durasi superpanjang. Khalayak sempat memprotes dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun pernah melayangkan teguran terkait hal ini. Argumennya, televisi nasional yang memanfaatkan frekuensi publik tidak sepatutnya digunakan untuk mengekspos pernikahan selebritas secara berlebihan.
Baca juga: Kanal YouTube Remotivi Tajam Mengkritik Acara Televisi
Belum cukup dengan kritikan waktu itu, RCTI pun kembali menayangkan potongan kehidupan selebritas lain yaitu Ashanty saat dia melahirkan pada tahun yang sama. Dua tahun sebelumnya, pernikahan dia dengan Anang Hermansyah pun ditayangkan di RCTI selama berjam-jam. Masih ada deretan selebritas lain yang proses pernikahannya disiarkan live, tidak hanya di RCTI, tetapi juga channel lainnya.
Sungguh tayangan-tayangan “bergizi” yang punya daya saing setara dengan ragam konten digital yang bisa dipilih secara bebas oleh warganet, bukan?
- No More Netflix and Chill
Istilah “Netflix and Chill” mau tak mau mesti digeser ke RCTI atau TV Nasional and chill jika penyedia jasa streaming ini dicap tak berizin dan dibatasi aksesnya di Indonesia. Jika sebelumnya kita bisa berbincang soal cerita-cerita dari film seperti Sex Education, Working Mom, Itaewon Class, Black Mirror, dan sebagainya, kini obrolan di tongkrongan atau waktu break akan diisi dengan cerita-cerita dari Tukang Ojek Pengkolan, Putri untuk Pangeran, atau Dunia Terbalik. Oh, jangan lupa untuk merumpi soal Suara Hati Istri dari channel sebelah yang sama-sama mengisi jam prime time.
Kalau dulu chill-nya benar-benar jadi relaks saat menonton Netflix, chill waktu menonton sinetron-sinetron lokal barangkali seringnya jadi gol dari uji kesabaran begitu melihat adegan-adegan lebay, cerita klise, atau shot-shot zoom in zoom out berulang kali. Mau lempar remote waktu nonton itu? Chill. Gemas lihat protagonis sinetron rela sekali diduakan dan disiksa tanpa perlawanan dengan background musik “Ku menangis membayangkan…” berkali-kali yang menyayat hati (dan telinga)? Chill. Lihat iklan yang seakan tidak ada habisnya di sela-sela tayangan? Chill.
Buat apa menonton serial macam Sex Education? Tidak bermoral itu. Masak khalayak Indonesia menonton serial yang judulnya saja sudah esek-esek? Tidak mendidik, tidak cocok dengan budaya ketimuran dan semangat Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945.
- Warganet yang siaran live tak berizin siap dituntut
Soal ini, komika Bintang Emon menyampaikannya dengan cerdik dan jenaka. Dalam video yang diunggah di Instagramnya, ia berpura-pura sedang mengulas tentang pangsit selagi live. Tiba-tiba ada orang yang memanggilnya dan meminta dia ikut ke “kantor” karena ketahuan melakukan tindakan “ilegal” tersebut.
“Kok bisa-bisanya? Saya cuma mencet tombol live, Pak, bukan tombol rudal. Bahayanya apa ini, Pak?...Ya Allah, Pak, saya ngobrol masalah pangsit doang, Pak. Enggak ada ngerugiin-ngerugiinnya, makar, ngerugiin negara, enggak ada…”
Untuk bisa bebas mengekspresikan gagasan di channel atau media sosial pribadi nantinya adalah sebuah impian belaka bila gugatan RCTI-INews dikabulkan. Barangkali pihak berwajib pun akan ketambahan tugas (tak penting) untuk mengurus laporan-laporan orang yang melakukan siaran live tanpa izin. Kasus-kasus yang lebih serius dan berdampak besar saja banyak yang mandek, ini malah memicu munculnya kategori tindak kriminal baru yang sebenarnya tidak merugikan apa-apa (kecuali MNC Group yang merasa terzolimi karena adanya konten-konten individual dan streaming yang lebih ciamik dari keluarannya).
- Bye-bye variasi topik diskusi dan tema tayangan
Ini yang menurut saya paling merugikan seandainya siaran live di dunia digital dibatasi. Di televisi-televisi nasional, berapa banyak sih topik yang diangkat dan seputar isu apa saja? Dengan bermunculannya diskusi online, yang bertambah banyak sejak pandemi COVID-19, kita bisa menemukan aneka obrolan yang bisa jadi jarang sekali kita temukan di pertemuan-pertemuan dalam keseharian atau di televisi.
Manalah ada televisi nasional yang membahas soal seksualitas, kehidupan para transgender, atau isu SARA sebagaimana dapat kita temukan di Instagram Live atau YouTube streaming sejumlah orang atau organisasi?
Baca juga: Menjual Perempuan dalam Berita Olahraga
Kelebihan internet kan justru menyediakan ruang bagi gagasan-gagasan alternatif yang mental dari jalur arus utama. Kalau hal ini masih dibatasi juga, tidak sekalian saja kita kembali ke beberapa puluh tahun lalu, di mana siaran didikte oleh pemerintah. Bedanya, sekarang didikte oleh para konglomerat media yang lebih mementingkan profit dibanding mencakup keberagaman ide yang ada di khalayak.
Selain itu, dengan adanya Netflix dan berbagai macam layanan streaming sejenis, kita bisa mengakses beragam isu dari mancanegara, yang pada akhirnya membuka cakrawala kita soal kehidupan orang-orang di luar sana. Ini malah jadi justifikasi buat melindungi khalayak Indonesia dari paparan budaya Barat? Buat saya ini malah jadi pelanggengan keseragaman alih-alih upaya menghargai perbedaan yang terkandung dalam budaya populer kita.
- Interaksi langsung dengan narasumber/public figure lebih terbatas
Kehadiran teknologi digital mendorong orang untuk dapat berinteraksi langsung dengan pembuat konten. Hal ini tentu dirayakan oleh siapa saja yang ingin mengobrol langsung dengan macam-macam public figure karena melalui televisi, sifat komunikasi cenderung searah meski sekarang juga ada program-program di mana penonton bisa mengirimkan pesan dan dibacakan saat acara berlangsung.
Dengan adanya fitur live di media sosial, khalayak lebih dimungkinkan untuk berinteraksi dan seolah menjadi lebih dekat dengan tokoh-tokoh yang diundang di siaran langsung. Diskusi pun menjadi kian menarik karena pertanyaan tidak hanya datang dari skrip yang telah disiapkan untuk pembawa acara.
Walaupun lewat pesan tertulis via media sosial (comment, reply) kita pun bisa menyapa atau menanggapi unggahan public figure, rasanya akan berbeda bila kita berinteraksi langsung ketika mereka siaran secara digital. Secara tidak langsung, saat kita melontarkan pertanyaan atau tanggapan begitu mereka siaran, kita berkontribusi terhadap konten yang ditawarkan orang-orang yang membuat siaran live.
- Belajar bahwa persaingan mesti dihadapi dengan serangan dan pembatasan
Sering kali kita diajarkan untuk menghadapi kompetisi dengan melakukan peningkatan kualitas dan beradaptasi ketika ada tantangan atau kompetitor baru. Tetapi dari adanya gugatan RCTI-INews ini, saya menangkap pesan bila kita menghadapi tantangan atau kompetitor yang mengancam pasar, kita usahakan untuk melemahkan kompetitor dengan pembatasan-pembatasan. Wow, cara yang sehat sekali tampaknya, meskipun tujuan penggugat (seolah-olah) mulia: Demi kesetaraan perlakuan dan moralitas yang terjaga.
Oke-lah kalau memang penyedia jasa streaming dan penggunaan fitur live dibatasi. Tapi apakah itu dibarengi dengan kualitas konten yang disajikan channel-channel nasional kebanyakan? Apakah isu-isu alternatif juga bakal dimunculkan di televisi kita? Seberapa banyak? Tayangan yang problematik dari saluran dalam negeri saja masih banyak (baik yang dikritik khalayak maupun yang sudah ditegur KPI), ini lagi mau mencoba membatasi akses ke berbagai tayangan di internet.
Comments