Kisah kasih di sekolah dengan momen menyentuh hati, tapi juga cringe worthy adalah inti dari genre novel teenlit atau teen literatur. Ketika pemeran utama, biasanya perempuan, akhirnya bisa bersatu dengan sang love interest laki-laki, pembaca akan dibuat meleleh seketika. Segala rintangan penuh kegelisahan remaja yang dilalui karakternya terbayarkan saat mereka mengucapkan, I love you, Baby.
Dengan sampulnya yang biasanya berwarna pastel, novel teenlit memang roman picisan yang sangat heteronormatif. Namun, selalu bisa bikin ABG terus ketagihan membacanya karena kisah tentang cinta, persahabatan, dan keluarga dibungkus dengan bahasa ringan dan tidak bertele-tele.
Salah satu teenlit populer dari beberapa tahun belakangan adalah Dear Nathan—yang diambil dari Wattpad lalu dibukukan, bahkan diadaptasi menjadi dua film dengan judul sama.
Di Indonesia, kejayaan novel untuk remaja sendiri mungkin mencapai puncaknya pada 2000-an, ketika banyak karya populer teenlit diadaptasi dan dialihwahanakan menjadi film, seperti Dealova, Refrain, dan Summer Breeze.
Mengutip The Chicklit or Teenlit: A Symbol of Teenager Movement in Indonesia’s Literature oleh Hiqma Nur Agustina yang diterbitkan Jurnal Bahasa Lingua Scientia, secara historis keberadaan novel remaja itu bisa dilacak sejak tahun 1970-an dimulai Roman Picisan karya Eddy Iskandar. Namun, mengalami ‘transformasi’ dalam bentuk bahasa dan gaya cerita setelah novel Bridget Jones’ Diary oleh Helen Fielding menjadi populer. Formula teenlit mengikuti gaya Fielding dan berkembang pesat di tahun 2000.
Di luar Indonesia, novel remaja juga bukan sesuatu yang asing. Namun, ia dibagi jadi dua kategori umum, yakni Teen Novel dan Young Adult (Y/A). Perbedaannya, novel Y/A dimaksudkan untuk pembaca di atas usia 14 tahun, sehingga adegan percintaannya lebih “advance” ketimbang genre Teen Novel.
Meski demikian, popularitas novel teenlit tidak lepas dari kritik, seperti dianggap tidak mempunyai esensi yang setara karya sastra umumnya. Selain itu, memberikan persepsi tentang cerita romansa dan relasi yang tidak realistis bagi remaja. Novel After yang ditulis oleh Anna Todd, misalnya, dikritik dianggap membawa pesan buruk pada pembacanya karena mengizinkan kekerasan emosional dan selingkuh.
Sebelumnya ada juga novel Twilight yang menerima kritik serupa ketika meromantisasi kebiasaan Edward yang suka menguntit dan mengintip Bella saat tidur.
Namun, seperti semua hal di dunia ini yang punya setidaknya dua sisi—atau lebih, teenlit sebetulnya juga bukan genre yang buruk-buruk amat. In defense of teen novel, berkut ini adalah empat alasan kenapa membaca cerita teenlit tidak perlu di-shaming:
Baca juga: 5 Alasan Mengapa Kamu Perlu Baca Fanfiction Genre Angst
1. Novel Remaja Jadi Gerbang Membaca
Semua orang butuh titik mula dalam memulai sesuatu, begitu pula dengan membaca. Ada yang kegemarannya dibangun sejak dini dengan buku cerita untuk anak-anak atau berawal dari cerita teenlit atau novel roman picisan remaja. Walau ceritanya tidak bisa dibandingkan dengan karya sastra, novel teenlit dengan alur yang cenderung ringan menjadi hiburan tersendiri untuk mengisi waktu senggang.
Artikel Resepsi Pembaca di Kalangan Remaja SMP terhadap Novel Teenlit (2013) oleh Tafrichatul Umami dari Universitas Diponegoro juga menuliskan, remaja perempuan menyukai novel teenlit karena formulanya menceritakan masalah yang mirip dengan kehidupan mereka. Selain itu, penggunaan bahasa sehari-hari membuat cerita lebih mudah diserap dan membuat mereka bersemangat membaca novel lainnya untuk mencari kisah menarik.
Lagipula tidak semua orang memulai kegemaran membaca dengan karya sastra bertema ‘berat’, seperti revolusi, kritik pemerintah, atau dunia distopia. Ada masa menikmati kisah remaja yang tidak perlu malu untuk diakui karena tanpa cerita teenlit belum tentu bisa mulai menikmati karya literatur lainnya.
Baca juga: Setop ‘Book Shaming’, Berikut 5 Manfaat Baca Novel Fiktif
2. Membangun Imajinasi
Layaknya karya fiksi lainnya, novel remaja membuka jendela baru tentang dunia yang dibungkus dari kacamata sang penulis. Tidak bisa dimungkiri ada yang ditulis dengan point of view problematis. Meromantisasi kekerasan dalam relasi, misalnya, dengan tokoh laki-laki bad boy dan tsundere yang mengalami konstipasi emosional. Atau karakter perempuan yang memberikan pesan bahwa boleh saja merebut kekasih seseorang karena sang protagonis not like the other girls, seperti novel remaja AS, Anna and The French Kiss.
Namun, terlepas dari itu, mengutip The Boar, sebagai karya fiksi sebagian novel remaja menjalankan tugasnya membangun imajinasi dan membuat pembacanya gemar membaca. Trilogi distopia The Hunger Games, misalnya, bisa menangkap hal itu.
Kisahnya menjadi semacam katarsis untuk pengalaman coming of age bagi remaja yang punya hidup biasa saja. Cerita remaja tak perlu melulu dibangun dalam genre romansa, ada juga horor, seperti Pengurus MOS Harus Mati oleh Lexie Xu.
Baca juga: Gemar Baca Cerita Toksik, Apakah Saya Feminis Gagal?
3. Refleksi Referensi Bacaan Berkembang
Berdasarkan negara Barat dan pemerintah sendiri, Indonesia memiliki masalah dengan minat baca. UNESCO menyebutkan Indonesia berada di urutan kedua dari bawah perkara literasi dengan minat baca 0,001 persen atau dari 1.000 orang hanya satu yang gemar membaca. Dalam artikel yang sama, Tafrichatul juga berargumen remaja SMP hanya membaca karya sastra jika ada tugas sekolah.
Meski demikian, Hiqma dalam artikel yang sama juga berargumen, kegemaran remaja pada novel remaja bisa menjadi alat yang mengubah budaya baca di Indonesia sebab mencetak banyak penulis remaja. Meski demikian, karya teenlit tetap kekurangan aspek kritis yang disampaikan ceritanya dan penulis tersebut butuh keahlian lebih untuk mengantarkan karya yang ‘serius’.
Novel remaja memang banyak kekurangannya. Akan tetapi, kegemaran pada novel tersebut bisa menjadi rekaman milestone terkait peningkatan referensi bacaan. Seseorang akan tumbuh dari genre tersebut dan menunjukkan kalau ada perubahan selera buku dan menjadi refleksi perkembangan diri.
4. Novel Teenlit Sumber Nostalgia
Dalam artikelnya Tafrichatul berargumen salah satu tujuan membaca novel teenlit untuk memudahkan berteman dan bergaul. Namun, aspek tersebut tidak berhenti saat remaja saja. Bagi pembaca yang tumbuh dewasa, novel teenlit bisa menjadi semacam bahan nostalgia mengenang masa remaja sebab kisahnya memberikan kesan.
Selain menunjukkan perubahan dalam diri, kembali mengulang rasa campur aduk senang dan sedih saat membacanya. Walaupun sering dibanjiri kritik, bagi penggemarnya novel teenlit selalu memiliki tempat khusus di hati.
Comments