Baru-baru ini, kita mendengar kabar penendangan sesajen di Gunung Semeru, Jawa Timur, pelarangan perayaan Natal oleh warga di Lampung, hingga penolakan pembangunan tempat ibadah umat minoritas seperti pura di Bekasi dan gereja di Surabaya yang butuh sepuluh tahun lebih untuk mendapat titik terang.
Sepanjang 2020, Setara Institute juga mencatat setidaknya 180 peristiwa dan 424 pelanggaran kebebasan berkeyakinan di seluruh Indonesia.
Padahal, negara selama ini kerap menggaungkan ampuhnya pendekatan “multikulturalisme” – yakni penghormatan dan akomodasi atas kebutuhan dan ekspresi beragama umat minoritas.
Mengapa pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan terus-terusan terjadi?
Dalam riset saya, saya berargumen, selain lemahnya instrumen perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, pendekatan multikulturalisme secara sosial juga belum mampu mendukung kerukunan beragama.
Kelompok minoritas selama ini sebatas mendapat akomodasi untuk mengekspresikan identitas keagamaannya; ini belum cukup.
Baca juga: Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama
Indonesia perlu beralih pada pendekatan sosial baru yang mampu mendorong relasi beragama yang lebih terhubung, terikat, dan saling memahami perbedaan.
Kegagalan Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah langkah politik akomodasi yang dilakukan negara dan/atau kelompok mayoritas bagi ekspresi budaya minoritas – entah ras, etnisitas, kewarganegaraan, atau agama.
Misalnya, mereka mendapat dukungan atas keyakinan dan kebiasaan kelompok tersebut yang berbeda dari kelompok mayoritas. Negara juga menyesuaikan perangkat hukum dan aturan yang ada sehingga warga minoritas dapat tetap mengekspresikan identitas budaya mereka.
Sekilas, multikulturalisme memang terdengar sebagai pendekatan yang ideal digunakan untuk mengelola keberagaman.
Namun, ada hal yang masih terlewat dalam pendekatan ini.
Menurut para ahli, multikulturalisme hanya fokus memenuhi hak kultural dari kelompok-kelompok yang ada tanpa membangun keterhubungan dan keterikatan (interconnectedness) di antara mereka.
Ini menciptakan “sangkar budaya” (cultural aviaries) – suatu kelompok agama hanya akan berkumpul dengan sesamanya sekaligus menghindari konflik dengan kelompok berbeda. Pada akhirnya, ini memunculkan fragmentasi sosial dan keterpisahan antara kelompok minoritas dan mayoritas (minority separateness).
Ini sangat terlihat dalam konflik pendirian tempat ibadah yang banyak dialami umat minoritas di Indonesia.
Secara prinsip, tak ada larangan bagi umat minoritas untuk membangun tempat ibadah. Namun,, ada syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur di Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/8 Tahun 2006, yakni adanya dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang.
Ini adalah contoh aturan dengan semangat multikulturalisme – umat minoritas diberi jalan untuk membangun tempat ibadah.
Baca juga: Persatuan Antaragama Kunci Lawan Pandemi Bersama
Sayangnya, syarat dukungan warga sekitar berarti pembangunan tempat ibadah suatu umat seringkali hanya berjalan lancar jika dilakukan di lingkungan yang dipenuhi sesama umat agama tersebut.
Di sini, setiap kelompok seakan mendapat hak-haknya, selama berada dalam “wilayah kultural” masing-masing dan tidak terjadi “saling senggol”.
Ini tidak sejalan dengan hak kebebasan beragama (dan hak kultural lainnya) yang bersifat penuh dan seluas-luasnya. Umat beragama harusnya bisa bebas beribadah di mana pun, meski mereka adalah umat minoritas di tengah lingkungan umat mayoritas.
Tanpa keterhubungan dan keterikatan antara para kelompok, resistensi dan penolakan antar kelompok akan terus ada dan tidak akan pernah tergerus – seperti kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang.”
Resistensi ini kemudian menjadi semakin berbahaya dan dapat berkembang menjadi kekerasan jika di antara para kelompok tersebut ada “covert animosity” atau rasa memusuhi yang disembunyikan.
Hasil studi yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Wahid Foundation sekitar lima tahun lalu, misalnya, menemukan 59,9 persen dari 1.520 responden di 34 provinsi mengaku memiliki kebencian terhadap kelompok masyarakat yang berbeda, khususnya pada non-Muslim, etnis Tionghoa, komunis, dan sebagainya.
Interkulturalisme: Arah Baru Relasi Beragama
Atas dasar tersebut, kita perlu menggunakan pendekatan baru yang tak hanya mengakomodasi kelompok minoritas, tapi juga membangun keterhubungan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.
Hal ini terjawab oleh pendekatan “interkulturalisme”.
Pendekatan interkulturalisme tidak hanya mengakomodasi perbedaan tapi juga menjembataninya. Sehingga, antara mereka yang berbeda dapat saling terkoneksi dan saling menyatu menjadi masyarakat yang kohesif.
Baca juga: Riset: Generasi Z Tunjukkan Toleransi Beragama yang Tinggi
Pada praktiknya, prinsip tersebut dapat berwujud kebijakan yang mendorong inter-dialog, keterhubungan, dan keterikatan antara berbagai kelompok yang berbeda. Harapannya, ini dapat menghilangkan segala kondisi yang bisa memunculkan segregasi sosial.
Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, melalui kurikulum sekolah yang memfasilitasi terbangunnya inter-dialog dan pemahaman bersama antar kelompok agama yang berbeda, atau melalui penetapan kuota tertentu yang menjamin kemajemukan suatu populasi – baik di sekolah, perkantoran, atau pemukiman.
Singapura melakukan ini melalui Ethnic Integration Policy yang menetapkan kuota minimal untuk etnis minoritas dalam setiap area pemukiman. Kebijakan ini sudah berjalan sejak 1989.
Selain itu, alih-alih menetapkan syarat yang bisa mempersulit rencana pendirian tempat ibadah, pemerintah justru harus mendorong terbangunnya fasilitas peribadatan dari berbagai kelompok agama di setiap lingkungan masyarakat – apa pun agama mayoritas di wilayah tersebut.
Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, dengan menghilangkan syarat dukungan dari masyarakat sekitar seperti yang terdapat di aturan yang berlaku saat ini.
Pada intinya, melalui pendekatan interkulturalisme, masyarakat didorong untuk tidak sekadar sadar atau “mengizinkan” adanya keberagaman.
Jika negara serius ingin menjadikan tahun 2022 sebagai “Tahun Toleransi”, serta menjadikan Indonesia sebagai kiblat kerukunan beragama di dunia, masyarakat harus didorong untuk hidup di dalam keberagaman tersebut dan menjadikan keberagaman yang ada sebagai bagian dari diri kita masing-masing.
Hanya dengan begitu kita dapat menjadikan bhinneka tunggal ika tidak hanya sebagai motto kosong atau mantra toleransi yang hanya di level permukaan, tapi benar-benar sebagai napas hidup.
Bahwa kita memang berbeda, tapi perbedaan itu terajut, terkoneksi, dan menyatu di antara kita.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments