Chloé Zhao menjadi perempuan non-kulit putih pertama yang memenangkan penghargaan Oscar 2021 untuk sutradara terbaik atas filmnya, Nomadland. Kabar menggembirakan berikutnya, Youn Yuh-jung menjadi aktris Korea pertama yang memboyong piala Oscar untuk perannya di film Minari.
Setelah puluhan tahun dikesampingkan dan dicap dengan berbagai stereotip oleh Hollywood, orang Asia Timur akhirnya diakui di industri film dunia barat.
Pengakuan ini adalah hal yang patut dirayakan – tapi jalan masih panjang.
Selama beberapa dekade, industri film barat yang didominasi orang kulit putih seakan membatasi aktor Asia pada peran stereotip tertentu dan bahkan memainkan aktor kulit putih untuk memainkan karakter Asia. Namun, keberhasilan berbagai orang Asia baru-baru ini di industri film mulai membuka pintu bagi peran-peran Asia yang lebih besar lagi.
Sebuah gelombang baru Korea membantu meruntuhkan berbagai batasan yang ada dan merombak ulang representasi orang Asia di media barat secara signifikan.
Baca juga: Fanatisme atas K-Pop dan Opresi terhadap Perempuan
Kekuatan Representasi
Saya tumbuh besar dengan menonton film Hollywood di Korea Selatan dan sangat menyukai Katharine Hepburn. Perannya dalam film tahun 1944 Dragon Seed meninggalkan kesan yang mendalam.
Dalam film tersebut, Hepburn memainkan peran sebagai seorang perempuan Cina dengan riasan wajah yang aneh.
Ketika saya pertama kali melihat film itu, saya baru berusia delapan tahun dan belum pernah ke Cina. Tapi, saya tahu seperti apa rupa orang Cina dan mereka tidak seperti yang direpresentasikan di dalam film.
Saya bertanya-tanya apakah memilih Hepburn sebagai peran ini murni karena tidak ada orang Asia di Amerika, atau karena perempuan Asia tidak secantik Hepburn. Budaya Hollywood seakan memprogram otak saya untuk meyakini bahwa perempuan Asia tidak bisa menjadi karakter utama karena kami tidak menarik.
Meski hampir 50 tahun telah berlalu sejak kebijakan multikulturalisme di Kanada, orang-orang Asia masih menghadapi diskriminasi dan stereotip sebagai “model minoritas yang ideal”.
Seiring meningkatnya rasisme anti-Asia selama pandemi dan serangan kekerasan baru-baru ini di Amerika Serikat (AS) dan Kanada, orang-orang Asia semakin takut akan keberadaan mereka di masyarakat Amerika Utara.
Baca juga: Mengenal Lisa BLACKPINK, Ratu K-Pop dari Asia Tenggara
Sebagai instruktur bahasa Korea di Carleton University, Kanada, kelas saya terdiri atas siswa dari berbagai latar belakang budaya dan etnis. Di salah satu kelas, saya memutuskan untuk menampilkan video musik band K-pop BTS untuk mengenalkan siswa pada budaya Korea kontemporer.
Setelah memainkan lagu DNA oleh BTS, saya terkejut melihat bagaimana lagu ini mampu meruntuhkan tembok budaya dan bahasa. Murid yang belum pernah berbicara kepada satu sama lain mulai mengobrol seperti sudah lama saling kenal.
Hal ini terkait dengan penelitian yang menunjukkan bahwa musik dapat menyatukan orang.
Para pelajar Asia Timur terus melihat kesuksesan artis K-pop sebagai pencapaian mereka sendiri. Salah satu murid saya, seorang imigran generasi kedua dari Vietnam berkata, “Saya merasa berutang budi kepada BTS. Saya terluka karena saya kurang terwakili dalam masyarakat di mana saya berada, tetapi saya merasa mereka telah menyembuhkan rasa sakit hati saya.”
Dalam sejarah panjang budaya pop Barat, budaya non-Barat terlalu sering digambarkan sebagai subkultur norak atau ras minoritas yang diremehkan. Munculnya K-pop membantu mengatur ulang stereotip ini. Dalam komunitas Asia di Amerika Utara, hal ini menjadi obat bagi mereka yang terus-menerus dibuat merasa seperti orang asing di negara mereka sendiri.
Baca juga: Hollywood Suka ‘Remake’ Film Asia, Apakah Ini Problematik?
Gelombang Korea
Dari BTS, kompetisi video game, hingga K-drama populer 2016, Goblin, gelombang Korea mengambil hati penonton di dunia barat secara besar-besaran.
Netflix berencana mengucurkan dana US$500 juta (hampir Rp7,2 triliun) tahun ini untuk film dan serial TV buatan Korea Selatan. Film dan drama Korea seperti Parasite, Train to Busan, dan serial klasik 2006, The Host telah menerima respons positif dari masyarakat global maupun di Amerika Utara.
Drama Korea secara konsisten memberikan pertunjukkan ciamik melalui teknik bercerita yang luar biasa. Salah satu contohnya adalah drama Korea Kingdom, serial asli Korea pertama Netflix.
Kingdom lebih dari sekadar pertunjukan zombi klise. Dengan penggambaran alam yang spektakuler dan karakter yang kompleks, Kingdom bertahan sebagai serial yang populer di tengah kompetisi tontonan siap tayang (on-demand streaming) yang sangat gencar. Ini menantang anggapan konten-konten dengan pemeran utama Asia punya kualitas lebih rendah.
Masuknya gelombang konten Korea dapat berkontribusi besar dalam mengurangi rasisme dan mengubah persepsi terkait orang Asia Timur dengan menormalisasi kehadiran orang Asia di layar, majalah, radio dan di masyarakat yang lebih luas.
Sebagai orang Korea, saya merasa puas saat menonton serial dan film yang dipenuhi wajah seperti saya, menggambarkan karakter yang kompleks dan menceritakan kisah yang tidak dibatasi oleh stereotip Barat.
Tentu, masih ada berbagai rintangan besar menghambat orang Asia masuk ke tayangan dan perfilman arus utama. Namun, konten Korea adalah cara ampuh untuk memberikan representasi Asia yang sehat dan melawan stereotip rasis.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments