Perdebatan mengenai berkumpulnya warga—utamanya remaja dari kawasan aglomerasi Jakarta—di kawasan Stasiun MRT Dukuh Atas seakan tidak ada habisnya.
Masyarakat kini tengah riuh akibat rencana Pemerintah DKI Jakarta untuk merelokasi titik kumpul fenomena Citayam Fashion Week (CFW)—merujuk pada ekspresi fesyen remaja dari pinggiran Jakarta seperti Citayam, Bogor. Sementara, polisi memblokade area penyeberangan yang dijadikan catwalk untuk unjuk gaya para remaja yang berkumpul di sana, karena dianggap bikin macet.
Sebelumnya, jagad media sosial juga sempat heboh dengan upaya mematenkan CFW sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) oleh beberapa orang, termasuk selebritas Baim Wong. Baim kemudian membatalkan pendaftaran brand (merek) tersebut karena protes keras masyarakat. Sebab, hak paten akan membuat brand CFW tidak bisa digunakan selain atas izin pemegang hak.
Persoalan ini sempat membuat jargon “created by the poor, stolen by the rich” (diciptakan oleh yang miskin, dicuri oleh yang kaya) ramai di jagad maya. Warganet berang karena menganggap perebutan hak paten sebagai bentuk penyusupan orang yang memiliki privilese lebih ke dalam CFW.
Masyarakat memang memandang CFW bukan sekadar sebagai aksi gaya-gayaan, namun juga merupakan wadah ekspresi, utamanya bagi masyarakat pinggiran. Khalayak pun menganggap ini sebagai gebrakan yang menunjukkan wajah ketimpangan, terutama di industri fesyen.
Bukan tidak mungkin upaya perorangan dan brand untuk mengeksploitasi peluang ekonomi dari CFW dan wadah ekspresi lainnya muncul lagi di masa yang akan datang.
Pertanyaannya, apa yang terjadi jika orang kaya masuk dalam wadah ekspresi masyarakat pinggiran ini?
Baca juga: Citayam Fashion Week: Fakta-fakta Munculnya Fesyen Jalanan Remaja Pinggiran
Diciptakan yang Miskin, Dicuri yang Kaya
Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian ketika ruang ekspresi publik dimasuki oleh orang kaya yang lebih bermodal: ketimpangan dan relasi kuasa, bisnis fesyen yang bisa diakses masyarakat, serta kritik terhadap pembangunan dan tata kota di daerah.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Adinda Tenriangke Muchtar, menjelaskan pentingnya melihat konteks spesifik dari fenomena “created by the poor, stolen by the rich” ini.
Menurut Adinda, CFW sebenarnya bisa saja didorong menjadi skema sharing economy (ekonomi berbagi).
Ia mengatakan bahwa model ini—yang memfasilitasi pertukaran akses modal, barang, jasa, atau informasi antara dua pihak atau lebih layaknya platform Gojek atau AirBnB—memang gencar berkembang pada era globalisasi, mengingat tidak semua orang memiliki sumber daya dan kapasitas yang sama.
Jika sharing economy ini berjalan dengan kesepakatan kedua belah pihak dan melibatkan komunitas kreatif yang ada di dalamnya, bentuk hubungan yang terbangun adalah kemitraan yang egaliter. Apalagi, fenonema CFW ini membawa peluang ekonomi dalam bentuk konten.
Namun, bagaimana hubungan kerja sama ini terbentuk—apakah dengan kesepakatan, paksaan, atau manipulasi—perlu dicermati terlebih dahulu. Jika hal ini hanya berjalan secara sepihak, misalnya lewat proses pendaftaran HAKI yang tidak mengikutsertakan komunitas di dalamnya, hal ini akan menciptakan relasi kuasa yang timpang dan menjadikan wadah ekspresi organik tidak inklusif dan partisipatif.
“CFW tidak lagi menjadi ruang publik dan akan dibatasi oleh birokrasi legal formal dan menjadi asing. Hal ini akan membuat gerakan ini tidak alamiah lagi,” ujar Adinda.
Ryan Febrianto, peneliti senior dari PUSKAPA Universitas Indonesia (UI) melihat bahwa seruan “created by the poor, stolen by the rich” adalah indikasi keberpihakan publik bahwa tidak semua hal bisa dibeli dengan uang, dan bahwa CFW tidak serta merta harus dipandang sebagai potensi pasar industri fesyen.
Menurutnya, CFW awalnya bergulir dari sentimen terhadap selera fesyen sekelompok remaja pinggiran. Kemudian, ini menjadi bentuk kesadaran masyarakat terhadap ruang publik yang inklusif.
“Jika hak paten disetujui dan kepemilikannya dipegang oleh kelompok elit saja, saya justru takut esensi community building (pembangunan komunitas) dan ruang kritik sosial ini justru hilang dan digantikan dengan kepentingan industri busana dengan wujud pasar-pasar busana murah yang diciptakan oleh elit bermodal tinggi,” ujar Ryan.
Masuknya brand, apalagi hak paten, akan membuat ruang ekspresi seakan bisa dibeli dan memunculkan timpangnya relasi kuasa antara mereka yang kaya atau berkuasa, dengan yang miskin. Hasilnya, tak ada lagi ruang yang bebas dikelola dan dinikmati kelompok remaja pinggiran. Suara dan ekspresi mereka mungkin akan dikelola dan dibatasi oleh selebritas, brand, atau oleh pemerintah.
Ryan melihat tujuan CFW sebagai bentuk kritik remaja pinggiran terhadap industri fesyen yang tidak aksesibel dan selama ini hanya bisa dinikmati masyarakat kelas sosial menengah-atas saja. Para remaja ini kemudian secara organik membentuk komunitas dan subkultur tersendiri dan mencari ruang yang bebas untuk berekspresi. Mereka juga mencari teman dan jejaring sosial baru.
“Semangat kelompok remaja yang bergabung mungkin tidak akan sama lagi, karena pasar busana murah mungkin bukan yang mereka incar. Mereka membutuhkan ruang berekspresi yang nyaman, aman, dan aksesibel tanpa perlu intervensi dari sektor bisnis maupun pemerintah,” ujarnya.
Ia berpendapat bahwa brand, pemerintah, selebritas, serta masyarakat umum perlu ingat bahwa CFW adalah ruang berekspresi.
“Jika diintervensi, perlu dilakukan dengan prinsip penghargaan terhadap kebebasan berekspresi, hak-hak anak dan remaja untuk bermain dan berpendapat, serta pengembangan bisnis yang etis tanpa merugikan siapa pun, khususnya mereka yang menciptakan dan membangun tren busana ini sejak awal,” tegas Ryan.
Baca juga: Citayam Fashion Week, Baim Wong, dan Orang Kaya Norak
Pentingnya Menciptakan Ruang Publik yang Inklusif
Adinda dan Ryan melihat bahwa fenomena CFW ini perlu dilihat sebagai urgensi pembangunan tata kota yang inklusif. Pembangunan ini harus mendengar kebutuhan kelompok yang selama ini jarang didengar di ruang pengambilan keputusan tata kota—seperti kelompok remaja pinggiran atau kelompok marjinal lainnya.
Menurut Adinda, sudah selayaknya hal ini menjadi tamparan bagi pemerintah untuk membangun ruang publik—dalam arti harfiah maupun bentuk aktivisme—yang ramah bagi semua kalangan sosial, termasuk gender, penyandang disabilitas, anak-anak, dan kelompok lanjut usia.
Terbukanya Jakarta sebagai titik kumpul masyarakat dari berbagai daerah merupakan keindahan tersendiri yang patut dihargai, kata Adinda.
Namun, berkumpulnya remaja dari wilayah aglomerasi seharusnya juga menjadi kesadaran bagi pemerintah daerah untuk membangun ruang terbuka dan transportasi ramah publik. Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan pengembangan ruang terbuka yang tidak sekadar meniru Jakarta, misalnya dengan sekadar memperlebar trotoar, tapi mengakomodasi kebutuhan masyarakatnya.
Adinda mengkritisi campur tangan pemerintah yang—ketika aktivitas ini mendapat perhatian publik—cenderung membuat perkembangan wadah ini menjadi negatif.
Misalnya, hal ini terlihat dari Dinas Sosial Jakarta Pusat yang ingin menindak laki-laki yang “berbusana layaknya perempuan” atau wacana memindahkan CFW ke Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Adinda melihat bahwa keberadaan ruang terbuka dan wadah ekspresi ini seharusnya menjadi kesempatan pemerintah mengembangkan komunitas yang berjejaring, kreatif, dan kolaboratif, dengan tetap mengingat keteraturan publik dan juga menimbang situasi pandemi.
Baca juga: 3 Sisi Lain ‘Citayam Fashion Week’ di Stasiun Sudirman
Ryan menambahkan bahwa pemimpin administratif kota perlu melihat hal ini sebagai pengingat dan pendorong untuk lebih giat mengembangkan metode partisipasi berbagai kelompok masyarakat yang selama ini suaranya masih jarang didengar dalam proses pengambilan keputusan tentang tata kota. Penting untuk mereka berefleksi, “siapa yang diuntungkan dari fasilitas publik yang dibangun, dan siapa yang masih tersisih?”
Anak dan remaja, menurut Ryan, adalah kelompok yang heterogen dengan kebutuhan yang beragam. Sayangnya, ruang partisipasi masih eksklusif bagi kaum muda dari kelas menengah-atas, berprestasi, berpendidikan tinggi, pengusaha, atau karakteristik ideal lain dari kacamata orang dewasa.
“Melibatkan berbagai kelompok masyarakat, khususnya mereka yang masih tersisih dalam forum partisipasi, dapat membantu pemerintah dalam memastikan ruang publik dapat diakses dan dinikmati semua pihak, serta pengelolaan yang berbasis komunitas, sehingga dapat dijaga secara bersama oleh siapa pun yang menikmatinya,” tegas Ryan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments