Yang terhormat Ibu Megawati,
Belakangan ini wajah ibu kerap muncul di linimasa Twitter saya. Bukan hanya dari berbagai akun media arus utama yang saya ikuti, tapi juga warganet yang mengomentari video pidato ibu di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDI) Perjuangan, (21/6).
Keramaian di media sosial itu bikin saya ingat, pertama kali familier dengan sosok ibu ketika saya berusia empat atau lima tahun. Waktu itu, foto ibu masih terpampang di tembok kelas saya, sebagai presiden Indonesia yang kelima.
Saya mengagumi sosok ibu, ketika guru saya mengatakan bahwa ibu adalah presiden perempuan pertama di Indonesia. Meskipun saat itu belum mengerti diskriminasi gender, saya tahu kehadiran ibu di lembaga eksekutif membuktikan kalau perempuan juga bisa menjadi pemimpin.
Ternyata ibu menyisipkan pesan yang sama ketika berpidato di rakernas itu. “Biarpun dipanggil ibu, saya adalah presiden panglima tertinggi. Artinya apa? Kaum perempuan juga bisa menjadi seperti saya,” kata ibu merujuk pada diri sendiri, sebagai representatif perempuan berdaya.
Baca Juga: Blunder Megawati Minyak Goreng
Kemudian, ibu juga memberikan contoh bagaimana seharusnya perempuan dipandang sesuai jabatannya. Ibu bercerita, sewaktu menjabat sebagai wakil presiden (wapres), pernah dipanggil “ibu wapres.” Lalu, ibu meminta, “Stop panggil saya wapres. Lihat jabatannya, bukan gendernya.”
Saya cukup senang lho, ibu menyinggung diskriminasi gender dalam pidato itu. Bahkan, mengajak perempuan untuk berdaya di depan para kader yang didominasi laki-laki.
Namun, simpati saya lama-lama berkurang tiap kali ibu membanggakan prestasi. Misalnya soal gelar pendidikan. Ibu bilang memiliki dua gelar profesor, dibandingkan Presiden Soekarno yang sama sekali enggak punya. Ditambah sembilan gelar honoris causa yang ibu kantongi—akan bertambah lima lagi karena sempat terhambat pandemi.
Saya mengerti, deretan gelar itu bukan untuk menyombongkan diri, melainkan bukti dari kecerdasan yang ibu punya. Mungkin juga contoh bahwa perempuan bisa berprestasi.
Sayang, enggak semua perempuan punya banyak privilese seperti ibu. Sebagai seorang anak presiden pertama di Indonesia, tentu kemewahan itu membuka pintu lebar untuk mengakses pendidikan, dan sejumlah faktor pendukung sampai ibu berdiri di titik saat ini.
Tapi, bagaimana dengan banyak perempuan di luar sana? Jangankan menyelesaikan pendidikan strata satu. Pada 2016, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) aja menunjukkan, rata-rata perempuan hanya bersekolah sampai kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Lalu, pada 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka perempuan melek huruf lebih rendah dibandingkan laki-laki. Yakni sebesar 94,33 persen, sedangkan laki-laki mencapai 97,48 persen.
Artinya, perempuan masih terbatas lho bu, untuk menaikkan derajat hidup. Sejumlah motivasi dan bukti aja enggak cukup untuk menyejahterakan mereka di tengah kemiskinan. Apalagi memberdayakan diri seperti yang ibu harapkan.
Rasa simpati saya semakin berkurang ketika ibu malah menjatuhkan perempuan. Entah atas dasar apa, ibu bilang perempuan enggak ngerti sejarah Indonesia. Padahal, konteksnya baru selesai membahas mengapa Indonesia tidak berdiri sebagai negara serikat, seperti AS.
“Kalian saja nggak ngerti sejarah Indonesia, bagaimana? Terutama kaum perempuan,” ujar ibu sambil menunjuk audiens.
Enggak lama kemudian, ibu kembali menyanjung diri sendiri. Katanya, ibu bisa menjadi sosok hebat seperti saat ini karena belajar sejarah dunia dan Indonesia. “Gampang sekali, tinggal ngikutin aja bacaannya,” tutur ibu.
Begini lho bu, memang benar zaman sekarang belajar bisa dilakukan lewat media apa pun, terutama internet. Tapi kan, enggak semua perempuan punya akses itu. Sampai Februari lalu saja, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan infrastruktur layanan provider belum merata. Lagi pula, belum tentu semua perempuan punya gawai untuk berselancar di internet kan?
Jadi pidato sebelumnya yang mengajak perempuan untuk berdaya, malah enggak ada artinya, bu.
Baca Juga: Apa yang Kita Tidak Bicarakan Ketika Berbicara Tentang Privilese
Keberagaman yang (Masih) Jawasentris
Sama seperti warganet lainnya, saya juga terfokus pada pernyataan ibu tentang tukang bakso. Di depan podium, ibu mengaku pernah berpesan ke anak-anak, untuk tidak memilih pasangan seperti tukang bakso. Yang ibu sampaikan itu—dan disambut gelak tawa seisi ruangan, menunjukkan adanya diskriminasi kelas lho.
Secara enggak langsung, ungkapan ibu menunjukkan lebih superior dari segi kelas sosial, dan memandang tukang bakso sebelah mata. Padahal, mereka kan ikut berkontribusi dalam menggerakan roda perekonomian Indonesia, bu. Keberadaan mereka bisa ditemukan di mana pun. Bahkan, laris banget kalau lagi lebaran karena banyak dicari, sebagai selingan makanan berkuah santan.
Lagi pula, bukannya celaan ibu bertolak belakang dengan pernyataan, bahwa PDI Perjuangan adalah partai wong cilik dan sandal jepit? Di pidato yang sama, ibu malah menyatakan bangga ada di antara mereka. Lho kok ini meledek tukang bakso?
Kalau menurut pengamat politik Ray Rangkuti, pernyataan “partai wong cilik” dan “partai sandal jepit” enggak lebih dari sekadar slogan, ataupun ideologi hidup.
“Gurauan itu juga mencerminkan alam pikirnya, yang melihat dia dan keluarganya berada dalam posisi sosial yang berbeda dengan rakyat kecil,” tutur Ray kepada Kompas.com.
Mungkin kenyataannya, keberpihakan terhadap masyarakat kecil memang hanya sampai di ujung bibir, tiap kali membutuhkan suara rakyat. Mirisnya, Lasiman selaku ketua Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso (PAPMISO), menginternalisasi guyonan ibu.
Ketika diwawancara Suara.com, ia mengatakan wajar kalau tersinggung dengan pernyataan ibu. Apalagi peran ibu sebagai tokoh politik yang memperhatikan bibit, bebet, dan bobot menantunya.
“Ibu Mega ini kan orang besar, anak-anaknya juga orang besar. Kalau ibaratnya beliau kasta Brahmana, kami tukang bakso ini kasta Sudra,” katanya.
Baca Juga: Suara Perempuan dalam Panggung Politik Harus Hadir
Baik itu guyonan atau bukan, enggak pantas bagi Bu Mega—dan siapa pun, menuturkan kalimat itu. Dari pernyataan Lasiman saja kita bisa menilai, bagaimana ia menganggap masyarakat kecil layak ditindas oleh penguasa, dan mereka yang memiliki status sosial lebih tinggi.
Begitu pula dengan Bhinneka Tunggal Ika yang berulang kali ibu sampaikan dalam pidato rakernas. Setelah membawa-bawa keberagaman, ibu justru melemparkan pernyataan rasisme ke orang Papua dalam konteks rekayasa genetika. Mulai dari merasa “sendirian” ketika berkunjung ke Papua, sampai menganggap mereka kurang Indonesia.
Dengan berbicara demikian, ibu semakin melanggengkan stigma dan stereotip tentang Papua sebagai tempat pengasingan. Begitu juga dengan persepsi, bahwa masyarakat yang menetap di sana bukanlah “orang Indonesia sebenarnya”.
Kalau begitu, apa arti Bhinneka Tunggal Ika bagi ibu?
Comments