Tampaknya masih lekat di ingatan kita, bagaimana Rara Wulandari beraksi di ajang MotoGP pada Maret lalu. Agar hujan deras mereda dan balapan dapat dimulai, ia berjalan di lintasan Sirkuit Internasional Mandalika, Lombok, sambil melakukan ritual dengan singing bowl-nya.
Aksinya memperoleh sorotan dunia. Seperti akun MotoGP yang menjulukinya “The Master”, dan melemparkan gurauan, “Go home Shaman, we’re not paying you for this.” Pun pembalap Fabio Quartararo yang menirukan aksi Rara, dengan mangkuk dan sendok plastik.
Namun, segelintir warganet justru menilai upaya Rara memalukan, sampai ditampilkan di ajang internasional.
Mereka menganggap praktik pawang hujan dekat dengan klenik, sedangkan Indonesia adalah negara yang mayoritasnya beragama Islam. Alhasil dianggap menyeleweng karena percaya “dukun”. Lebih memalukan lagi ketika aksi Rara dibandingkan dengan penemuan ilmiah, seperti Amerika Serikat yang menerbangkan manusia ke bulan misalnya.
Sementara warganet lain mengatakan, seharusnya kita bangga dengan kesuksesan MotoGP di Mandalika berkat bantuan Rara. Bahkan kita perlu menyadari, pawang hujan adalah bagian dari budaya dan tradisi di Indonesia.
Terlepas dari pro dan kontra, kenyataannya profesi pawang hujan memang masih dimanfaatkan masyarakat, terutama penyelenggara acara. Hal ini diakui Widy, seorang pekerja event yang rutin menggunakan jasa pawang hujan.
“Buat kami, pawang hujan nyumbang kesuksesan acara banget,” tuturnya saat dihubungi Magdalene, (6/4). “Terutama event outdoor ya.”
Namun, ini berlawanan dengan Nadya. Pekerja swasta yang juga menggeluti event organizer itu mengatakan, peran pawang hujan tidak begitu signifikan.
“Penting nggak penting, sih. Menurutku pawang hujan bukan salah satu indikator kesuksesan acara,” ujarnya. “Untuk event outdoor memang masih pake jasa pawang hujan, tapi lebih ke tradisi yang ada sejak lama aja.”
Pun keduanya meyakini, pawang hujan adalah tradisi yang sudah diterapkan leluhur, terlepas dari pendapat masyarakat tentang praktiknya yang erat dengan klenik, maupun takhayul.
“Sah-sah aja untuk dilakukan. Toh pawang hujan hanya perantara, karena segala sesuatu pasti mintanya ke Tuhan,” kata Widy.
Ketika banyak orang percaya, profesi tersebut merupakan bagian dari tradisi, bagaimana awalnya pawang hujan berkembang di masyarakat?
Baca Juga: Apa itu Pesugihan Halal Online, Bagaimana Cara Kerjanya?
Pawang Hujan dan Kepercayaannya
Hampir dua minggu lalu, saya berbincang dengan dua pawang hujan yang memiliki ritual berbeda. Pertama adalah Eko Budi Sumantri, yang menekuni profesinya sejak 2007 silam. Ia menggunakan kepercayaan Islam, yakni salat tahajud dan zikir, dari Alquran dan Hadis.
“Biasanya saya tahajud selama seminggu sebelum acaranya, dan zikir pas hari H, minimal tiga jam,” jelasnya. Doa-doa tersebut dilafalkan sebagai bentuk komunikasi dengan Sang Pencipta, meminta agar hujan tidak diturunkan di area tempat acara berlangsung.
Menurutnya, kepercayaan Islam yang dijalaninya untuk memindahkan hujan itu berasal dari leluhurnya, seperti Mbah Santer asal Pasuruan, dan zikir dari Syekh Kholil Bangkalan asal Madura.
Awalnya, ayah dua anak itu hanya menekuni pengobatan bekam di rumahnya. Sebelum memutuskan mengikuti jejak empat generasi keluarganya, untuk melestarikan praktik pawang hujan.
“Untuk melestarikan saja, karena demand masyarakat masih tinggi,” jawabnya, ketika ditanya alasannya meneruskan keahlian keluarga. “Bahkan anak-anak saya juga dua-duanya bisa. Tapi kalau nggak mau meneruskan, ya nggak masalah.”
Kebetulan, ayahnya juga tidak meneruskan pekerjaan sebagai pawang hujan, karena bekerja di bank. Kendati demikian, ilmunya tetap diwariskan. Pun keputusan untuk melestarikan ilmu itu dibangun atas kesepakatan bersama adik-adiknya, yang berprofesi sebagai dokter dan dosen. Dengan anggapan, pekerjaan Eko saat itu sejalan dengan praktik pawang hujan.
Sistem garis keturunan itu tidak hanya dilakukan Eko. Ki Joko Sapu Jagat turut melakukan hal serupa. Sejak umur sembilan tahun, ia diajarkan ibunya terkait tradisi itu, yang awalnya berasal dari sang kakek. Lalu, ia mulai mempraktikkan ilmunya di sejumlah acara keluarga.
“Sekarang saya juga ngajarin anak saya. Dia baru 5 tahun, tapi udah bisa jadi pawang hujan,” ucapnya. Laki-laki yang akrab disapa Ki Joko itu mengatakan, putranya yang menggantikan perannya apabila dalam satu hari, ada dua klien di daerah terpisah yang membutuhkan jasanya.
“Kayak waktu itu saya lagi di Surabaya, anak saya handle klien di salah satu kampus swasta di Cikarang,” ceritanya.
Ki Joko bercerita, sejak umur setahun, anaknya sudah mampu memindahkan awan hujan ke lokasi lain, dengan radius kurang lebih 500 meter hingga satu kilometer.
“Lambat laun, dia bisa mengikuti ayahnya untuk masang-masang (alat yang diperlukan),” ujarnya. “Malah kalau kami lagi jalan, nggak pernah kehujanan di perjalanan.”
Selain berdasarkan garis keturunan, keberadaan pawang hujan yang turun temurun juga diakui Dosen Antropologi Universitas Diponegoro, Ahmad Khairudin. Dalam wawancara bersama Magdalene, dosen yang akrab disapa Adin itu menjelaskan, praktik pawang hujan memang berkaitan dengan aliran kepercayaan ataupun agama tertentu.
“Keyakinan mendatangkan dan menolak hujan itu sudah ada sejak lama. Bahkan di Islam ada salat istisqa, untuk minta hujan,” terangnya. Selain itu, dalam Islam juga terdapat riwayat Hadis al-Bukhari untuk meredakan hujan.
Pun perkara mencegah hujan tidak hanya menjadi tradisi di Indonesia. Jepang misalnya, memiliki Teru Teru Bozu—boneka penangkal hujan, terbuat dari tisu atau kain yang digantung di depan pintu atau jendela, dengan harapan cuaca akan cerah.
Atau Bhekul Biye, kepercayaan di Assam, India, yang mengawinkan katak sebagai upacara hujan.
Mereka meyakini, perkawinan tersebut mampu “membujuk” awan untuk mencurahkan hujan, dan identik dengan tindakan yang dilakukan katak selama musim hujan. Bahkan diinterpretasikan melambangkan tanah yang subur, dengan curah hujan baik, mencerminkan garis keturunan hewan itu.
Adin menuturkan, hal itu terjadi ketika rasionalitas belum menjadi satu-satunya instrumen dalam diri manusia, untuk mencapai kebenaran. “Jadinya manusia berusaha memaknai dan memahami bagaimana alam bekerja, lalu bernegosiasi,” katanya.
Sementara dari kacamata antropologi, ia mengatakan perkara pawang hujan tidak dapat disalahkan ataupun dibenarkan. Pasalnya, sama seperti agama, keyakinan dalam profesi tersebut juga didasarkan pada adikodrati, atau di luar kodrat alam dan nonhuman.
Maka itu, ketika menyalahkan pawang hujan, secara tidak langsung kita juga menyalahkan agama lain, karena ajarannya didasarkan pada keyakinan tertentu. Apabila salah benarnya dikategorikan secara rasional, praktik pawang hujan dapat dikatakan tidak rasional.
Namun, jika berpikirnya secara religius, justru sebuah kebenaran karena di dalam sains, semua hal yang bekerja di sekitar kita dapat dirasionalisasi. Pun menurut Adin, hal-hal gaib merupakan salah satu pokok dari agama, termasuk pawang hujan yang sebenarnya bagian kecil dari suatu kepercayaan.
“Kalau menertawakan ritual itu, tapi kita masih menganut agama tertentu, artinya kita juga menertawakan diri sendiri,” tegasnya.
Baca Juga: Spiritualitas Bukan Kecerdasan Tapi Ketekunan
Mengenal Ritual Pawang Hujan
Baik Eko maupun Ki Joko, masing-masing memiliki ritual berdasarkan kepercayaannya. Sebagai persiapan, Eko hanya mengandalkan tahajud, dan zikir di hari pelaksanaan, tanpa klenik. Pasalnya, penjelasan klenik sulit dijelaskan.
“Yang penting jangan ngajak ngobrol saya, atau kasih tahu tentang ramalan cuaca,” katanya menjelaskan pantangan. “Itu cuma biar fokus kok. Sisanya percaya aja sama Allah,” imbuhnya.
Sambil zikir, ia meniup-niup ke arah awan, dengan tujuan menggeser awan hujan ke tempat lain. Zikir yang ditujukan kepada para nabi dan leluhur itu, dilakukan di dekat sumber air sekitar lima menit. Kemudian pindah ke masjid yang dekat dengan lokasi acara.
Kepada kliennya—biasanya mereka yang menggelar pernikahan, mendampingi jasa konstruksi bangunan, hingga acara kementerian, Eko enggan memberikan jaminan bahwa 100 persen cuacanya cerah.
“Cuaca itu milik Allah, tugas saya cuma berdoa aja biar hujannya dipindahkan,” akunya. Alhasil, ia hanya menggeser awan yang biasanya ke area pegunungan, karena memerlukan curah hujan.
Berbeda dengan Eko, Ki Joko mengolaborasikan tradisi Jawa, Bali, dan Islam, dalam praktiknya memindahkan hujan. Untuk Jawa, ia menggunakan cabai merah besar yang ditusuk bersama bawang merah dan sada lanang—lidi pertama yang jatuh dari pohon kelapa atau aren, agar lebih kuat dari hempasan angin.
“Itu supaya leluhur tahu, keturunannya bikin hajatan,” jelasnya. “Fungsi cabenya untuk memecah awan hitam supaya berputar, karena di atasnya kan matahari. Nanti lama-lama menjauh dan terang.”
Sementara tradisi Bali, laki-laki 57 tahun itu menggunakan beberapa pusaka untuk penjagaan.
“Ada tiga pusaka yang dipasang. Satu hanoman, dibantu sepasang nagagini nagagono,” tuturnya. Pusaka-pusaka itu untuk mencegah adanya pihak yang merusak acara, baik “lemparan” dari sesama pawang, maupun makhluk gaib.
Kemudian, ada beberapa pusaka lainnya, yakni pusaka sapu jagat dan sapu angin, untuk membersihkan alam-alam sekitar demi menjaga keamanan lokasi.
Sedangkan untuk menghindari datangnya awan hitam yang beriringan, Ki Joko menggunakan pusaka punakawan. Terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Alat-alat tersebut digunakannya untuk membentengi area, supaya tidak hujan.
“Nah kalau ajaran Islamnya, saya tambahin salat hajat selain kewajiban (salat) lima waktu,” ujarnya.
Ibadah yang dilaksanakan ketika memiliki hajatan atau keinginan itu dilakukan, berdasarkan waktu acara diselenggarakan. “Kalau acaranya malam, salatnya setelah asar. Tapi kalau pagi, ya malamnya setelah salat isya,” sambung Ki Joko.
Jika di hari pelaksanaan Eko masih bekerja, tugas Ki Joko hanya mendampingi acara. Tetapi dapat sambil melakukan aktivitas lainnya.
Tak jarang, ia memenuhi permintaan makhluk gaib berupa kopi atau rokok, sebagai bentuk perizinan penyelenggaraan acara. Biasanya, di satu hari sebelum acara, ia berkomunikasi dengan mereka guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dan berdampak pada acara.
“Kadang mintanya yang nggak masuk di akal, kayak sedekah bumi. Itu kan berat,” ucapnya. Menurut Ki Joko, permintaan tersebut ditanyakan karena dulunya kerap diberikan oleh masyarakat desa.
Baca Juga: Gea dan Ranting Pohon Kemenyan
Bagaimana Kelangsungan Bisnisnya?
Dalam sehari, Ki Joko pernah menangani empat klien sekaligus. Klien-kliennya berasal dari berbagai kalangan, mulai dari acara kelurahan, perusahaan swasta, hingga sejumlah lembaga kementerian.
Pawang hujan domisili Bekasi itu mengaku, pihak yang membutuhkan jasanya semakin banyak, ketika ia mempromosikan kemampuannya di Google pada 2016.
“Awalnya cuma kampung ke kampung, setelah itu baru sampai ke luar kota. Bahkan sempat diliput media luar negeri juga,” ceritanya. Tarif yang dikenakannya berkisar Rp500 ribu, hingga Rp1 juta.
“Yang paling murah itu untuk tenda rumahan, gedung dan outdoor saya kenakan Rp750 ribu. Nah, yang sejuta itu acara milik pejabat, karena perlu akomodasi besar,” tuturnya.
Agar tidak kewalahan, acapkali ia membagi pekerjaan dengan pawang hujan lainnya. Begitu juga sebaliknya, sehingga penghasilannya dibagi dua.
Sementara Eko mengenakan tarif sesuai patokan jam. “Kalau acaranya kurang dari tujuh jam, biayanya sejuta. Lebih dari itu, dikenakan dua juta,” jawabnya.
Selama 15 tahun melestarikan pawang hujan, laki-laki yang juga menjalankan praktik rukiah itu sampai go international, ke sejumlah negara. Seperti Turki, Inggris, Italia, Thailand, dan 17 kali ke India.
“Semuanya acara pernikahan orang India,” tuturnya.
Perjalanannya bermula pada 2009, ketika sekretaris sebuah perusahaan di Indonesia—milik orang India, mengundangnya ke New Delhi. Awalnya, profilnya ditemukan melalui pencarian Google, hingga akhirnya dipanggil ke perusahaan untuk wawancara, sebelum diberangkatkan ke ibu kota India tersebut.
Di acara lima hari lima malam itu, Eko bertemu wedding organizer internasional yang mengundangnya ke acara-acara selanjutnya. Menurutnya, orang India telah mengenal pawang hujan, sebagai profesi yang hanya dapat ditemukan di Indonesia.
“Kalau kliennya dari luar negeri begitu, bayar jasanya pake dolar. Nah, saya mulai tahajud dari sebulan sebelumnya,” ucap Eko.
Kini ia dikenal sebagai salah satu pawang hujan yang tersohor, dan kerap mematahkan stigma bahwa bidang pekerjaannya hanya memanfaatkan klenik.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments