Kendati mengundang protes dari berbagai pihak, Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan tahun lalu membawa satu perubahan positif. Hal tersebut ialah jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang baru diluncurkan Februari lalu.
Pemerintah mengatakan, jaminan ini diciptakan sebagai upaya melindungi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan adanya jaminan ini, diharapkan agar pekerja tetap berdaya selama mencari pekerjaan kembali dengan pemberian sejumlah uang tunai hingga enam bulan.
Namun sayangnya, manfaat ini hanya bisa dinikmati oleh pekerja yang berada di sektor formal, yaitu orang-orang dipekerjakan menggunakan perjanjian resmi – umumnya pekerja kantoran. Pekerja informal – orang-orang yang bekerja tanpa kontrak kerja resmi, seperti buruh harian – tidak masuk dalam skema perlindungan Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini.
Manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Kebijakan JKP bukanlah hal baru dalam dinamika ketenagakerjaan. Sudah cukup banyak negara yang menerapkan jaminan sosial yang lazim dikenal dengan istilah unemployment benefit ini.
Secara konseptual, JKP merupakan tambahan dari jenis-jenis jaminan ketenagakerjaan yang telah ada sebelumnya, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian. JKP diselenggarakan pula oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization atau ILO) sudah menyarankan sejak 2003 agarIndonesia membuat kebijakan unemployment insurance benefit. Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) akhirnya hadir dan saat ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun 2021.
Manfaat JKP akan diberikan kepada peserta yang mengalami PHK, baik untuk hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (perjanjian kerja tetap), maupun perjanjian kerja waktu tertentu (perjanjian kerja kontrak), dengan catatan PHK dilakukan sebelum masa kontrak seharusnya berakhir.
Berbeda dengan jenis jaminan sosial ketenagakerjaan yang lain, JKP tidak hanya memberikan manfaat uang tunai, namun juga akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.
Menurut PP itu, manfaat uang tunai akan diberikan setiap bulan selama paling banyak enam bulan, yaitu sebesar 45 persen dari upah untuk tiga bulan pertama dan sebesar 25 persen dari upah untuk tiga bulan berikutnya.
Sebagai simulasi, jika upah pekerja sebelum di-PHK adalah Rp3 juta, maka pekerja berhak mendapatkan Rp1,35 juta per bulan selama tiga bulan pertama sejak PHK, lalu Rp750 ribu per bulan selama tiga bulan selanjutnya. Apabila dalam jangka waktu kurang dari enam bulan pekerja sudah mendapatkan pekerjaan lagi, maka pembayaran tersebut akan dihentikan.
Baca juga: 5 Pekerjaan Paling Rentan Selama Krisis Corona
Peraturan tersebut juga menetapkan batas atas upah untuk penghitungan manfaat, yakni Rp5 juta. Artinya, jika upah pekerja sebelum PHK adalah Rp7 juta, maka dalam penghitungan manfaat, upah pekerja hanya akan dianggap sebesar Rp5 juta.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa unemployment benefit semacam ini memberikan stimulus yang baik bagi perekonomian dan ketenagakerjaan di suatu negara.
JKP diharapkan dapat menjadi bantalan sosial agar pekerja mampu mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya pada saat kehilangan pekerjaan karena PHK, sembari memberikan motivasi kepada pekerja untuk mencari pekerjaan kembali.
Mengecualikan Pekerja informal
PP No. 37 Tahun 2021 mengatur bahwa salah satu syarat untuk menjadi peserta JKP adalah “mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha.”
Secara jelas, hal ini menunjukkan bahwa JKP hanya diperuntukkan bagi pekerja dengan hubungan kerja formal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2020, ada 131,03 juta orang penduduk yang bekerja; dari jumlah itu 56,99 juta orang (43,5 persen) bekerja di sektor formal.
Baca juga: 3 Dampak Buruk Aturan Kontrak Kerja sampai Lima Tahun Bagi Karyawan
Dengan kata lain, pekerja yang memiliki hubungan kerja dengan orang-perseorangan, sebagaimana layaknya terjadi pada sektor informal, tidak dapat menerima manfaat sebagai peserta JKP. Padahal, mayoritas pekerja di Indonesia justru bekerja di sektor informal, yaitu sebanyak 74,04 juta orang (56,5 persen).
Luputnya pekerja informal dalam perlindungan JKP menambah panjang daftar pengabaian pekerja informal dalam diskursus perlindungan ketenagakerjaan di Indonesia – yang dimulai dari definisi sempit bahwa hubungan kerja adalah “hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja.”
Dampak pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga sekarang berpotensi menambah jumlah pekerja di sektor informal secara drastis karena banyaknya perusahaan yang tumbang belakangan ini.
Upayakan Melindungi Pekerja Informal
Skema jaminan ketenagakerjaan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan sebenarnya memungkinkan pekerja informal untuk bergabung sebagai peserta melalui kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). Peserta BPU membayar iuran secara mandiri, dengan besaran disesuaikan dengan upah/penghasilan per bulan.
Manfaat yang bisa didapatkan oleh peserta BPU adalah Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua. Terdapat banyak jenis profesi yang bisa mendaftar sebagai peserta BPU, mulai dari pekerja rumah tangga, pengemudi ojek online, hingga pengacara dan selebritas.
Masalahnya, kebanyakan pekerja sektor informal memang belum terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Penyebabnya beragam, mulai dari keengganan bergabung karena harus membayar secara mandiri, ketidaktahuan terhadap program ini, serta ketentuan bahwa program BPU memang bersifat pilihan bagi pekerja di sektor informal, bukan wajib layaknya program BPJS Ketenagakerjaan bagi Pekerja Penerima Upah di sektor formal.
Secara umum, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, peserta BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2020 berjumlah 51,75 juta orang, yaitu baru 40 persen dari total penduduk yang bekerja per Agustus 2020 yakni 128,47 juta orang. Dari jumlah ini, sebagian besar yang terdaftar adalah pekerja di sektor formal.
Menurut saya, jika pekerja sektor formal maupun informal bisa mendapatkan manfaat JKP, tentu animo masyarakat untuk menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal akan meningkat.
Sebelumnya, program Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai upaya mitigasi dampak pandemi pada sektor ketenagakerjaan juga hanya diberikan bagi pekerja di sektor formal. Pilihan kebijakan ini menafikan kenyataan bahwa dalam pandemi, pekerja sektor informal justru paling rentan dan mengalami dampak paling besar sehingga sangat perlu mendapatkan bantuan dan perhatian dari pemerintah.
Mengubah ketentuan JKP agar lebih inklusif dan mencakup pekerja informal bisa menjadi awalan yang baik untuk melindungi seluruh pekerja tanpa terkecuali. Ini bisa dilakukan dengan misalnya, memberikan JKP pada pekerja informal yang sudah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan program BPU dalam jangka waktu tertentu.
Pemerintah tidak bisa terus-menerus mengabaikan perlindungan pekerja informal. Kenyataannya, mereka adalah kelompok mayoritas dalam demografi pekerja di Indonesia. Mereka juga membutuhkan kepastian dan jaminan perlindungan sama halnya dengan pekerja sektor formal.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments