Saya menikah di usia yang cukup muda, 23 tahun. Tujuh bulan setelah hari pernikahan saya, dua garis merah muncul dengan jelas di alat pendeteksi kehamilan yang saya gunakan. Saat itu saya dan suami girang karena kami sama-sama menyukai anak kecil. Membayangkan hari-hari ke depan bermain dengan bayi mungil rasanya indah sekali.
Namun, suasana hati saya mendadak berubah drastis beberapa hari kemudian. Saya begitu denial bahwa saat itu saya tengah berbadan dua. Sesekali saya ribut dengan suami karena kehamilan pertama ini sebetulnya tanpa rencana. Posisi saya saat itu sedang cuti kuliah karena pengobatan syaraf terjepit di punggung saya.
Saya diserang rasa khawatir berlebih atas status studi saya selanjutnya mengingat ayah saya mewanti-wanti agar saya tidak terlalu lama di bangku kuliah. Selain itu, membayangkan rasa nyeri yang hebat akibat bertambahnya tekanan pada punggung seiring membesarnya kandungan menjadi momok tersendiri bagi saya.
Sementara itu, ibu saya, seperti calon nenek pada umumnya, sangat antusias mendengar saya hamil tanpa ada perawatan khusus. Hal ini karena saya sering mengalami pendarahan abnormal saat menstruasi dan mendapatkan vonis “tidak subur”.
Di satu sisi, saya berhasil memenuhi ekspektasi banyak orang untuk bisa hamil. Keluarga besar senang, tetangga pun juga berhenti bertanya kapan saya hamil. Bukankah di masyarakat kita kehamilan dari pasangan yang secara sah menikah seolah menjadi sebuah keharusan?
Baca juga: Matrescence: Apa yang Saya Pelajari Saat Bertransisi Jadi Ibu
Di sisi lain, keadaan fisik dan mental saya membuat kehamilan ini sungguh tidak mudah. Akibat komplikasi ini, semua akses media sosial saya tutup untuk tetap membuat saya waras selama hamil. Informasi tentang bagaimana ibu hamil harus berdaya dan ceria menjadi informasi yang menyeramkan karena tidak relevan dengan kondisi aktual saya.
Merawat Bayi Jauh Lebih Berat dari Kehamilan
Selama kehamilan, saya mengambil sesi konsultasi psikologi untuk mengonfirmasi apakah emosi negatif saya selama hamil karena depresi yang muncul kembali, atau dipicu ketidakstabilan hormon.
Agar lebih positif, saya menghadiri kelas prenatal yoga untuk terkoneksi dengan sesama ibu hamil. Namun kondisi syaraf terjepit yang saya alami ternyata semakin parah sehingga latihan yoga saya hentikan. Puncaknya, saya kesulitan berjalan di minggu-minggu terakhir melahirkan. Proses melahirkan kemudian dilakukan lewat operasi Caesar dan bius total karena indikasi medis di punggung.
Setelah melahirkan, ada kenyataan baru yang saya hadapi: Ternyata masa-masa merawat bayi justru lebih menantang dibandingkan saat mengandungnya. Saya tidak hanya mengalami baby blues, tetapi juga postpartum depression. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 20 persen ibu-ibu di Indonesia mengalami depresi pasca-melahirkan ini.
Baca juga: 'Postpartum Depression': Perjalanan Lain Perempuan Usai Melahirkan
Pernah suatu kali, saya tidak bisa tidur sama sekali selama 40 jam. Suami saya, dengan perasaannya yang juga berantakan, kemudian mendorong saya untuk bertemu psikiater. Dua obat diresepkan oleh psikiater tersebut. Apakah hari-hari saya lantas menjadi baik? Sedikit. Saya hanya terbantu pada porsi tidur saya yang bertambah. Sayangnya, saya harus menitipkan bayi saya ketika saya bahkan tidak sanggup membuka mata karena pengaruh obat tidur.
Pada titik itu, saya tersadar bahwa menjadi ibu itu begitu melelahkan. Untungnya, pasangan saya memiliki pengetahuan dan kesadaran soal isu-isu di luar pengasuhan seperti postpartum depression ini, ketika ibu-ibu di luar sana berjuang untuk memberi pemahaman pada orang terdekatnya.
Pertimbangan untuk Hamil Kembali
Saat tulisan ini saya buat, putra semata wayang kami sudah menginjak 14 bulan dan dia begitu aktif. Saya begitu bersyukur memilikinya. Saya katakan pada suami, saya ingin memiliki anak kedua. Suami saya langsung menolak ide itu. Ia tidak ingin saya memiliki anak lagi di waktu dekat sebelum kesehatan mental dan fisik saya stabil. Ia paham sekali, ketika pasangannya tidak baik-baik saja, pernikahannya pun demikian.
Suami juga tidak tega melihat saya jatuh bangun dan tidak lagi percaya diri sejak anak pertama kami lahir. Belum lagi menyaksikan saya yang kesakitan menahan nyeri di punggung bawah. Dia benar. Walaupun saya ingin kembali menimang bayi, nyali saya langsung ciut mengingat betapa beratnya proses kehamilan dan melahirkan.
Baca juga: Menengok Dampak Jangka Panjang Kehamilan Tak Direncanakan Selama Pandemi
Sebelum proses operasi, suami memberi persetujuan untuk pemasangan alat kontrasepsi IUD sesaat setelah melahirkan. Berkaca pada kehamilan saya yang sulit dan tidak bahagia tersebut, akhirnya suami berinisiatif untuk memberi jeda pada kehamilan berikutnya.
Terus terang saja, alasan saya ingin memiliki anak lebih dari gambaran masa tua dengan beberapa anak plus cucu yang datang menjenguk saya dan suami. Ada rasa takut akan kesepian seperti kerabat saya yang tidak memiliki anak hingga usianya senja.
Di agama yang saya anut, ada disebutkan bahwa doa anak yang berbakti akan sangat membantu kita apabila telah meninggal. Saya mengimani hal tersebut dan besar menaruh harapan bahwa keturunan saya akan mendoakan saya ketika saya mati nanti.
Atau jangan-jangan mereka akan seperti saya? Bisa jadi anak saya justru enggan memiliki momongan, dan saya harus siap dengan kemungkinan itu.
Saya takut akan banyak hal di masa mendatang, tetapi saya harus mau paham bahwa segala sesuatu tidak melulu terjadi sesuai dengan keinginan saya. Apalagi terkait keputusan menghadirkan anak manusia ke dunia, layaknya keputusan menunda yang saya ambil.
Comments