Dalam video tersebut, korban prank menunjukkan reaksi keras ketika si pengusil berkata bahwa dia menyukainya. Rasa jijiknya terhadap homoseksual diperlihatkan dengan begitu jelas. Selain verbal, si korban bahkan melakukan kekerasan secara fisik. Yang mengejutkan (dan mengerikan), dari total tiga ribuan komentar yang telah ditinggalkan untuk video itu, bisa dilihat bahwa kebanyakan penonton ternyata merayakannya sebagai humor.
Padahal, dalam tayangan tersebut ada bagian dari identitas komunitas lain—dalam hal ini homoseksual—yang telah dicederai bahkan dilecehkan. Bagaimana tidak? Demi menjadi lucu, seorang laki-laki heteroseksual membajak identitas homoseksual. Dia berpura-pura menyukai laki-laki lain dan mengungkapkan perasaan itu kepadanya. Sungguh tindakan yang pemberani. Karena bagi homoseksual betulan, melela atau coming out sama sekali bukan perkara gampang. Perlu banyak keberanian untuk melakukannya.
Di dunia nyata yang bukan panggung lucu-lucuan, seorang lelaki yang mengakui secara terbuka bahwa dirinya menyukai laki-laki lain, berisiko kehilangan banyak hal dan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan, atau bahkan membahayakan. Dia mungkin akan mendapatkan penolakan dari keluarga, dijauhi teman, dipecat dari tempat kerja, diolok-olok, diceramahi, disebut tidak normal, dilabeli sampah masyarakat, bahkan dianggap sebagai salah satu tanda kiamat. Jangankan mereka yang mengaku secara terbuka, yang diam-diam saja bisa jadi sasaran persekusi atau penggerebekan.
Maka saya tidak habis pikir, kok bisa-bisanya ada orang yang menjadikan hal sesensitif itu sebagai bahan lawakan.
Kasus lain yang sering saya temukan adalah pembajakan identitas waria pada acara tujuh belasan. Di tempat saya tinggal, pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan, selalu diadakan pawai (di sini disebut arak-arakan) yang menampilkan beragam kreativitas dari warga di tiap RW. Mereka biasanya membuat miniatur bangunan masjid atau rumah, menghias mobil dengan hasil pertanian, mengenakan pakaian loreng sambil membawa dan meledak-ledakkan lodong (alat untuk meniru suara tembakan, terbuat dari bambu), dan mengenakan berbagai kostum lainnya.
Di antara sekian banyak ragam kreasi yang ditampilkan warga dalam acara tersebut, yang tidak pernah absen setiap tahun adalah orang-orang yang berpura-pura menjadi waria. Laki-laki yang memakai pakaian perempuan kemudian sepanjang jalan melakukan gerakan-gerakan tidak senonoh yang lalu disambut dengan sorak-sorai penonton. Sebagian penonton bahkan dengan bersemangat meminta kesempatan untuk berfoto bareng dengan para waria gadungan itu.
Setelah acara pawai usai, laki-laki tadi bisa dengan mudah melepas wig, mencabut sumpal di dada, menghapus riasan wajah, mengganti rok dengan celana lalu kembali berubah menjadi laki-laki tanpa perlu merasa risau akan pandangan masyarakat. Tindakan mereka mengenakan pakaian perempuan dianggap sebagai humor belaka dan dirayakan sebagai sebuah hiburan. Tidak akan ada kecaman atau tindakan pelecehan.
Hal tersebut berbeda jauh dengan apa yang dialami oleh para waria sebenarnya. Demi mengenakan lipstik, seorang anak lelaki bisa dipukuli oleh bapaknya sendiri. Demi mengenakan sepan, seorang lelaki bisa diusir dari rumah keluarganya. Demi menjadi perempuan, para waria jadi sasaran penghakiman dan tindakan-tindakan diskriminatif. Padahal, mereka tidak mengenakan lipstik dan rok hanya demi lucu-lucuan. Bagi mereka, itu adalah identitas, jati diri yang tidak bisa seenaknya dipakai-lepas.
Maka, entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang itu sehingga tega membajak identitas waria sekadar untuk mencari bahan tertawaan.
Mungkin benar, ada batas yang amat tipis antara humor dan cemoohan. Tetapi tentu itu tidak boleh dijadikan alasan. Salah satu alat yang bisa membantu kita membedakan keduanya adalah empati. Jika saya menonton video tadi tujuh tahun yang lalu, mungkin saya juga akan tertawa dan meninggalkan jempol tanda suka. Hingga tiga tahun yang lalu, saya masih dengan senang hati memotret para waria gadungan di acara pawai Agustusan tanpa sama sekali merasa terganggu. Tetapi, berinteraksi langsung dengan gay dan waria akhirnya membuat mata saya terbuka. Tidak, mereka sama sekali tidak layak dijadikan lelucon. Kehidupan mereka bukan bahan guyon.
Saya merasa sedih ketika seorang teman gay mengunggah status di Facebook, mengeluhkan betapa identititas komunitasnya begitu sering dijadikan bahan olokan. Padahal, sama seperti semua anggota lain dalam masyarakat, mereka pun mestinya dihargai dan dihormati dengan kadar yang sama. Keluhan teman tersebut kemudian diamini oleh teman waria yang juga merasakan hal serupa.
Kegagalan untuk membedakan antara candaan dan pelecehan masih sering sekali kita temukan. Sayangnya, banyak orang yang tidak memedulikan hal itu. Karena memang tidak mudah untuk memosisikan diri kita dalam identitas orang lain. Perlu kita sadari bahwa humor bisa menunjukkan (dan membentuk) persepsi masyarakat terhadap suatu persoalan. Ketika tindakan-tindakan insensitif dan melecehkan dianggap sebagai humor yang wajar, maka nilai-nilai kesetaraan dalam masyarakat akan terus sulit untuk diwujudkan.
Ada banyak cara untuk menjadi lucu tanpa perlu seenaknya membajak identitas orang lain. Jadilah kreatif!
Yoga Palwaguna adalah lelaki yang banyak menemukan pelajaran hidup dari drama dan variety show Korea. Selain membaca buku, juga senang menulis cerpen dan puisi.
Comments