Pertandingan voli antara tim putri Indonesia dan Filipina di Asian Games yang baru berlalu di Jakarta telah menimbulkan percakapan tentang tes gender dalam ajang kompetisi olahraga.
Yang menjadi pusat kontroversi adalah perawakan atlet voli putri Indonesia, Aprilia Manganang, yang dianggap menyerupai laki-laki. Pada ajang SEA Games 2015 di Singapura, atlet perempuan andalan tim voli putri Indonesia ini sempat dipertanyakan jenis kelaminnya, bahkan pihak tim voli Filipina saat itu juga mengajukan permintaan kepada penyelenggara agar dilakukan tes gender terhadap Aprilia, namun ditolak.
Aprilia bukan atlet perempuan pertama di cabang olahraga atletik yang diragukan jenis kelaminnya dalam perhelatan olahraga internasional.
Tak lama setelah merebut medali perak Asian Games 2006 di Doha, Santhi Soundarajan diharuskan menjalani tes gender. Atlet track and field India itu dinyatakan “tak memiliki karakteristik seksual sebagai perempuan” dan medalinya pun dicabut oleh Komite Olimpiade Asia. Beberapa media mengatakan bahwa Soundarajan mengalami androgen insensitivity syndrome, yakni seseorang yang secara genetis laki-laki (memiliki kromosom X dan Y) namun resistan terhadap hormon-hormon laki-laki. Akibatnya, orang tersebut memiliki beberapa atau semua karakter fisik perempuan, tapi dengan sifat genetis laki-laki.
Setelah tes tersebut, Soundarajan mendapatkan kabar dari Komite Olimpiade India bahwa ia tidak lagi dibolehkan berkompetisi sebagai atlet.
Kasus yang hampir sama dialami Caster Semenya, pelari dari Afrika Selatan. Setelah menjuarai nomor 800 meter pada Kejuaraan Dunia 2009 di Berlin, ia diwajibkan menjalani serangkaian tes untuk membuktikan jenis kelaminnya. Hasil tes tersebut tak pernah dipublikasikan secara resmi oleh Asosiasi Internasional Federasi Atletik (IAAF), namun setahun kemudian, Semenya dapat kembali berkompetisi di cabang atletik.
Pengalaman yang sama juga pernah menimpa sprinter India, Dutee Chand, peraih medali perak nomor 100 meter dan 200 meter pada Asian Games 2018. Beberapa hari setelah final nomor 200 meter pada Kejuaraan Atletik Asia Junior 2014 di Taipei, IAAF meminta Federasi Atletik India untuk melakukan tes gender terhadap Chand. Sang atlet dijatuhi sanksi oleh IAAF karena terbukti memiliki level hormon testosteron “di atas normal”. Salah satu isi dari regulasi IAAF yang disebut Hyperandrogenism Regulation tersebut menyatakan atlet perempuan memiliki level testosteron di bawah 10 nanomol/liter (nmol/L).
Menurut medicalnewstoday.com, level normal testosteron pada laki-laki berkisar antara 9,71-38,71 nmol/L, sementara itu, level normal testosteron pada perempuan berkisar antara 0,5-2,43 nmol/L.
Chand mengajukan banding kepada Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS), yang kemudian membatalkan sanksi yang dijatuhkan IAAF. CAS juga menyatakan bahwa peraturan IAAF tentang kelayakan atlet perempuan yang memiliki kadar hormon androgen tinggi (hyperandrogenism) untuk berkompetisi dalam acara olahraga tidak berlaku kecuali IAAF dapat menyertakan bukti-bukti yang mendukung.
Meski demikian, IAAF memperketat aturannya dengan mengeluarkan peraturan baru, Eligibility Regulations For The Female Classification (Athletes With Differences of Sex Development), pada April tahun ini. Salah satu pasal dalam aturan itu mengatur pembatasan level testosteron bagi atlet perempuan sebagai syarat partisipasi pada kompetisi lari 400 meter (termasuk lari gawang), 800 meter, 1500 meter, 1 mil (1,6 kilometer) dan nomor lomba gabungan.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa atlet perempuan harus memiliki level testosteron dalam darah kurang dari 5 nanomol per liter (nmol/L). Jika seorang pelari perempuan mempunyai level yang sama atau lebih dari 5 nmol/L, ia harus menurunkannya menjadi di bawah angka itu selama enam bulan berturut-turut dan mempertahankannya secara berkesinambungan apabila masih ingin tetap bertarung di kompetisi-kompetisi tersebut.
IAAF di satu sisi mengatakan, “Tak satu pun stigmatisasi atau diskriminasi yang tidak pantas atas dasar jenis kelamin atau identitas gender yang boleh ditoleransi” namun di sisi lain mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif.
Dokter spesialis andrologi, Heru Harsojo Oentoeng, mengatakan bahwa sejak lama, ada atlet-atlet perempuan yang dicurigai memiliki level testosteron tinggi dan menggunakan doping. Menurutnya, hal itulah yang melatarbelakangi munculnya aturan pembatasan level testosteron.
“Peraturan ini dibuat untuk memisahkan atlet yang curang dan tidak curang. Orang yang curang dan tidak curang enggak fair, dong, kalau diadu. Nah, makanya aturan itu dibuat untuk membuktikan apakah level testosteron tinggi itu karena ia memakai obat-obatan yang termasuk dalam doping atau karena memang ada kelainan genetik. Jadi peraturan itu akan memverifikasi mana atlet yang curang dan tidak,” tutur Heru yang berpraktik di Siloam Hospitals Jakarta itu.
Heru mengatakan, salah satu kelainan genetik yang menyebabkan level testosteron di atas normal dapat dialami oleh perempuan yang memiliki kromosom laki-laki (XY). Orang-orang yang mengalami kelainan genetik ini memiliki karakteristik seksual perempuan (misalnya memiliki payudara dan rahim) namun secara genetik, mereka memiliki kromosom “XY” (laki laki). Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa orang yang memiliki kromosom XY tidak otomatis memiliki level testosteron tinggi.
Heru menambahkan, faktor penyakit juga dapat menyebabkan level testosteron tinggi pada perempuan, misalnya kanker anak ginjal dan tiroid.
Untuk cabang olahraga yang mengandalkan kecepatan, Heru menjelaskan bahwa testosteron dapat menjadi faktor keunggulan bagi atlet.
“Testosteron berkaitan dengan kekuatan otot. Oleh karena itu, untuk olahraga yang membutuhkan kekuatan otot, seorang atlet harus diperiksa untuk mengetahui apakah kondisinya diperoleh karena latihan atau karena tambahan obat-obatan yang masuk dalam kategori doping,” tuturnya.
Baca juga: Para atlet sepak bola perempuan tidak mendapat bayaran yang setara dan perlindungan hukum.
Diskriminasi terhadap perempuan
Bagi para atlet yang memiliki karakteristik seksual tertentu, aturan mengenai level testosteron tersebut dapat merugikan.
Regulasi IAAF tersebut mendapatkan tanggapan dari Human Rights Watch (HRW), sebuah lembaga non pemerintah yang melakukan penelitian dan advokasi di bidang hak asasi manusia. Dalam surat resmi kepada Sebastian Coe (Presiden IAAF), Liesl Gerntholtz, Direktur Eksekutif pada Divisi Hak-Hak Perempuan HRW mengatakan bahwa regulasi tersebut memunculkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang dilindungi secara internasional, termasuk hak atas privasi, kesehatan, keutuhan tubuh, martabat, dan hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif.
Dalam suratnya, Gerntholtz mengutip keputusan CAS dalam kasus Dutee Chand vs IAAF. CAS, dalam putusannya, mengatakan bahwa pembatasan level hormon testosteron terhadap atlet perempuan seperti yang tercantum dalam hyperandrogenism regulation adalah sebuah diskriminasi dan tidak dapat dibenarkan.
Gerntholtz juga merujuk pernyataan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak atas kesehatan, Dainius Puras. Dalam sebuah pernyataan terpisah, Puras mengatakan, “Federasi olahraga internasional dan nasional telah mengeluarkan kebijakan yang melarang perempuan dengan level testosteron melebihi batas tertentu untuk berpartisipasi dalam olahraga kompetitif.”
“Tidak ada bukti klinis yang cukup untuk menetapkan bahwa para perempuan tersebut memiliki keunggulan performa secara substansial,” tambahnya.
HRW juga mengkritik ketidakonsistenan sikap IAAF yang di satu sisi mengatakan, “Tak satu pun stigmatisasi atau diskriminasi yang tidak pantas atas dasar jenis kelamin atau identitas gender yang boleh ditoleransi” namun di sisi lain mengeluarkan peraturan yang dianggap diskriminatif.
"Memberikan stigma dan stereotip serta melakukan diskriminasi adalah hal yang menjadi basis bagi penerapan peraturan ini," kata Gerntholtz. "Mengidentifikasi atlet melalui observasi dan kecurigaan menciptakan situasi di mana tubuh atlet perempuan diperiksa dengan seksama, sementara tidak ada pemeriksaan semacam itu yang diterapkan pada atlet laki-laki," tambahnya.
Tunggal Pawestri, aktivis gender dan HAM, setuju dengan poin-poin yang dianggap diskriminatif oleh HRW, terutama karena biasanya badan itu telah melakukan penelitian dengan baik.
“Tapi kalau melihat dari pemahaman yang lebih berperspektif (gender), mungkin bisa dibilang begini, setiap tubuh manusia unik. Gender dan bahkan seksualitas sebenarnya adalah konstruksi sosial. Jadi apa yang mendefinisikan kita sebagai perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial. Selama ini di kepala kita ada pemahaman yang biner, bahwa manusia terdiri dari perempuan dan laki-laki. Hal-hal seperti kasus ini dapat dijelaskan jika kita tidak mengikuti pemahaman gender yang biner,” katanya.
Tunggal menambahkan, pemahaman gender biner membuat banyak orang yang kurang pengetahuan atau belum banyak terpapar isu keberagaman seksualitas dan gender ini menjadi bingung.
“Jika ciri-ciri fisik mereka ‘perempuan’, misalnya memiliki vagina dan ovarium, tapi level testosteronnya tinggi, apakah ia tidak layak untuk mengikuti kompetisi kategori perempuan? Memangnya semua laki-laki yang dikategorikan ‘laki-laki dalam atletik’ mengikuti tes untuk membuktikan level testosteronnya? Bagaimana apabila ada atlet laki-laki yang level testosteronnya rendah?” tanyanya.
Kurangnya Pemahaman Mengenai SOGI
IAAF beralasan bahwa dasar dibuatnya aturan itu adalah demi menjamin adanya persaingan yang adil. Alasan itu juga didukung oleh dokter Stephane Bermon dari IAAF Medical and Science Department.
Ketika ditanya mengenai hal ini, Tunggal menganggap bahwa aturan tersebut tidak adil.
“Hanya karena level testosteronnya tinggi maka seorang perempuan tidak dapat berpartisipasi di kompetisi tertentu. Seharusnya IAAF mengambil sikap yang hati-hati. Kalau memang belum ada penelitian yang cukup lengkap dan mengatakan bahwa level testosteron membuat orang lari lebih kencang, misalnya, peraturan itu dapat mendiskrimasi orang berdasarkan level testosteronnya,” ujarnya.
Tunggal menuturkan, olahraga adalah soal kompetisi dan ada orang yang memiliki keunggulan tertentu karena ciri-ciri fisiknya, dan ada hal-hal yang dapat membuat mereka berpeluang lebih tinggi untuk menang seperti kaki yang lebih panjang dan tubuh yang ingan.
“Kaki yang lebih panjang itu kan sesuatu yang ‘datang dari sononya’. Nanti lama-lama, kalau level testosteron diatur, panjang kaki juga bisa diatur,” katanya.
Ia berpendapat, kesalahpahaman di internal IAAF disebabkan karena banyak yang tidak mengerti tentang orientasi seksual dan identitas gender (SOGI).
“Banyak yang tidak memahami soal perbedaan karakteristik seksual manusia. Banyak yang menganggap bahwa ‘yang sudah ada’ (pemahaman yang biner) sudah ajeg dan baku padahal ada variasi lainnya yang seharusnya mulai sekarang diakui dan dipahami,” ujarnya.
Di sisi lain, dunia olahraga masih cenderung kolot dalam memandang gender.
”Olahraga selalu diasosiasikan sebagai sebuah hal yang maskulin. Perempuan, misalnya, untuk berpartisipasi dalam olahraga, masih mendapat banyak tantangan atau cemoohan. Di Indonesia, misalnya, sepakbola perempuan, meskipun sudah ada dan sudah mulai masif, tapi kita juga tahu bahwa masih banyak stigma terhadap perempuan yang main bola,” kata Tunggal.
“Selain itu, ada mitos-mitos seperti, ‘Jangan naik sepeda nanti keperawananmu pecah’. Jadi sejak kecil perempuan itu tidak terlalu dibangun semangatnya untuk masuk ke wilayah olahraga karena diasosiaskan sebagai wilayahnya laki laki.”
Federasi atau asosiasi olahraga sendiri pun masih mengutamakan maskulinitas. ujarnya.
“Kalau bicara soal kepemimpinan dan struktur, rata-rata petingginya terdiri dari pejabat militer dan laki-laki. Nah, itulah wajah dunia olahraga . Kita enggak bisa bilang bahwa olahraga nggak ada kaitannya dengan gender. Tapi juga enggak boleh dipungkiri bahwa banyak sekali upaya-upaya untuk memasukkan lebih banyak perempuan ke dunia olahraga,” katanya.
Comments