“Fivi” adalah tetangga saya satu kos di Bekasi. Perempuan ramah yang selalu mengenakan rok panjang bermodel span dan kerudung yang menutupi dadanya—semuanya berwarna gelap.
Ia sering bercerita tentang kampungnya di lereng gunung, sekitar tiga jam perjalanan dari pusat kota Pacitan, Jawa Timur. Sebagian besar orang di kampungnya bertani, berkebun, dan beternak. Para laki-laki biasanya mengurus ternak dan kebun sementara para perempuan menanam dan menjual sayur. Namun, lima tahun belakangan, kampungnya mulai kesulitan air.
Ketika musim penghujan, listrik di kampung Fivi sering sekali mati, sehingga mereka tidak bisa menggunakan mesin air, padahal sumber mata air di desa sudah surut. Satu-satunya cara untuk mendapatkan air adalah dengan mesin pompa yang mengambil air dari sumur. Akhirnya, musim kemarau atau penghujan, desa Fivi tetap kekurangan air.
Hal ini membuat perempuan-perempuan yang biasanya menanam dan menjual sayur kesulitan melakukan pekerjaan mereka. Ditambah lagi, ketika sayur itu dijual di pasar desa, ternyata banyak sayur sudah lebih dulu datang dari kota.
Para ibu kemudian berhenti menanam sayur. Pekerjaan penting perempuan di desa Fivi pun hilang. Mereka terpaksa mencari pekerjaan di luar desa: Menjadi buruh pabrik atau asisten rumah tangga. Dari pekerjaan-pekerjaan itu mereka setidaknya bisa membawa pulang Rp1 juta-Rp2 juta per bulan. Jika tetap di rumah, mereka tak punya uang sama sekali.
Baca juga: Tugas Mengelola Air Bebani Perempuan, Rugikan Mereka Secara Finansial
Ketika para perempuan ini pergi bekerja di kota, suami-suami tetap tinggal di kampung karena harus mengurus kebun dan ternak. Pergeseran pekerjaan ini ternyata memicu perselingkuhan. Kehidupan keluarga akhirnya terpengaruh perubahan ekologis di kampung. Air semakin menyusut, sementara perselingkuhan semakin marak.
Fivi sendiri cukup beruntung karena ayahnya seorang guru dan ibunya bidan. Ia bisa berkuliah di kota, tempat ia menemukan cara pandang keagamaan yang baru, yang ia sebut “salafi.” Fivi bertemu banyak teman, dan ia aktif mendengarkan pengajian-pengajian ustaz Salafi melalui kanal Youtube.
Fivi mengaku senang tidak lagi berada di lingkungan kampung, yang menurutnya banyak terdapat perilaku syirik (menduakan Tuhan). Mayoritas warga di kampungnya menjalankan praktik Kejawen, dan kerap menyuguhkan sesajen sehabis membangun rumah atau menggali sumur. Hampir tidak ada perempuan yang terus menerus memakai kerudung.
Saat ini, Fivi mengatakan ia ingin mengundurkan diri dari pekerjaan karena menurut ustaz di YouTube, karier terbaik perempuan adalah menjadi Ibu rumah tangga. Kata-kata ustaz tersebut menjadi pedoman Fivi sampai saat ini, dan ia sudah belajar kiat-kiat berbisnis.
Hilangnya Pekerjaan Perempuan Mengurus Tanah
Cerita Fivi itu mengingatkan saya pada penelitian saya di Cikarang, Jawa Barat, pada Februari dan Maret 2020. Sungai-sungai di daerah ini berbau menyengat—aroma comberan bercampur bahan kimia—dan warna airnya hitam kental. Menurut seorang warga, sungai-sungai itu menjadi tempat pembuangan limbah pabrik, meski ada peraturan yang melarang hal itu.
Di Pacitan, krisis air menghapus pekerjaan penting perempuan dan mendorong konflik rumah tangga. Di Cikarang, hilangnya tanah menyuburkan ajaran agama yang berbahaya bagi kemerdekaan perempuan.
Akibatnya, air sumur di daerah ini bau dan tidak sehat. Seorang pemilik kontrakan mengatakan ia sudah berhenti meminum air dari tanah Cikarang. Seorang ibu mengatakan ia memilih menjual tanahnya di Cikarang karena tanahnya menjadi tandus, akibat banyaknya bahan kimia dari pabrik yang masuk ke tanah. Karena tak ada lagi tanah garapan, perempuan itu kemudian menjadi buruh pabrik untuk membiayai kuliah anaknya.
Di Cikarang, sejak 1990-an, pertambahan penduduk memang berlangsung drastis karena ekspansi wilayah industri ke Bekasi. Ini terjadi setelah penerbitan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek. Pabrik bertambah setiap tahun.
Pada 2019, jumlah pabrik milik perusahaan-perusahaan besar mencapai sekitar 4.000, bertebaran di tujuh kawasan industri. Padahal sebelumnya, hamparan sawah memenuhi sepanjang jalan di Cikarang. Kini itu semua berubah menjadi bangunan-bangunan beton yang memproduksi berbagai jenis barang. Cikarang saat ini menjadi pusat kota industri terbesar di ASEAN.
Fenomena di Cikarang maupun Pacitan sama-sama menunjukkan hilangnya pekerjaan mengurus tanah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 menunjukkan hal ini terjadi di seluruh negeri, bagaimana lapangan kerja pertanian terus mengalami penurunan, yaitu sebesar 1,41 persen. Selain karena tanah garapan yang berkurang, ekonomi seorang petani di Indonesia juga semakin tidak menentu.
Baca juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Data BPS lagi-lagi menyebutkan bahwa rata-rata pendapatan bersih pekerja bebas di bidang pertanian pada Februari 2020 adalah Rp1,07 juta saja, sedangkan gaji buruh/karyawan/pegawai mencapai Rp2,92 juta. Wajar jika kasus seperti sang ibu di Cikarang bertambah. Mereka menjual tanah dan menjadi buruh. Tidak ada lagi yang bisa mereka harapkan dari tanah.
Hilangnya Tanah Hapuskan Tradisi Keagamaan
Pacitan dan Cikarang mungkin berjarak ratusan kilometer, namun keduanya mengalami perubahan serupa. Kegagalan pengelolaan agraria membawa deretan masalah baru bagi manusia. Di Cikarang, sebagaimana hasil penelitian lembaga Rumah KitaB pada Januari-Maret 2020, hilangnya sawah juga menghapus tradisi yang dijalankan turun temurun, termasuk tradisi keagamaan.
Orang-orang dari berbagai penjuru daerah yang bekerja di Cikarang membutuhkan alternatif cara beragama yang baru. Mereka bukan lagi orang desa dengan waktu bekerja yang bisa mereka atur sendiri. Waktu bekerja mereka diatur oleh pabrik. Tidak ada lagi waktu untuk mendengarkan ceramah yang bertele-tele, sementara kebutuhan mereka akan spiritualitas tetap tinggi. Pengajian yang tersedia kemudian lebih banyak berupa pengajian kelompok Salafi yang marak di pabrik-pabrik dan sekitarnya.
Selama tinggal di Cikarang, saya jarang sekali menemukan pengajian Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah yang terbuka untuk umum dan dilaksanakan di akhir pekan. Padahal ketika saya mendatangi tokoh kiai, ia menyatakan bahwa Cikarang adalah basis NU. Sementara pengajian Salafi pada akhir pekan begitu berlimpah, terbuka untuk umum, mudah dijangkau, dan tersedia di berbagai platform media sosial.
Di pengajian-pengajian itu, saya menemui banyak sekali buruh yang berasal dari desa. Mereka awalnya juga secara kultural mengikuti praktik-praktik keagamaan khas NU. Pengajian yang mereka hadiri ketika tinggal di Cikarang mengubah mereka. Kerudung mereka semakin lebar dan panjang. Mereka semakin ingin cepat menikah. Bahkan ada yang mengkafirkan keluarga sendiri di kampung halaman karena masih suka mempersembahkan sesajen. Tidak jarang, mereka berdebat dengan orang tua yang masih sering melaksanakan praktik keagamaan yang mereka anggap menyimpang.
Narasi Keagamaan yang Menyudutkan Perempuan
Dampak kepada perempuan tentu lebih berbahaya. Seorang subyek penelitian yang saya temui harus mau berhubungan seks dengan suaminya meskipun belum yakin sudah selesai menstruasi. Narasi agama yang ia terima mengajarkan, “Jika perempuan menolak bersetubuh dengan suami ia akan dilaknat sampai pagi oleh malaikat”.
Baca juga: Pentingnya Dorong Keterlibatan Perempuan Muda dalam Sektor Pertanian
Dalam pengajian-pengajian yang saya ikuti itu banyak narasi yang menyudutkan perempuan. Misalnya, narasi bahwa sunat perempuan itu sunah Nabi, perempuan adalah sumber fitnah, perempuan banyak yang masuk neraka, perempuan boleh dipoligami, atau perempuan harus senantiasa taat pada suami. Mayoritas penceramahnya tentu saja laki-laki, hanya sekali dalam tiga bulan saya di lapangan saya berjumpa penceramah perempuan.
Narasi-narasi itu tentu berpengaruh pada kehidupan jamaah. Beberapa perempuan yang saya temui di pengajian memilih untuk tidak lagi bekerja menjadi buruh karena takut ikhtilat atau bercampur dengan lawan jenis. Seorang teman perempuan saya yang bercadar mengatakan bahwa dia tidak pernah menggunakan ojek online, juga karena takut bercampur dengan lawan jenis. Ia memilih menggunakan angkutan umum seperti angkot, meskipun harus menunggu lama. Padahal, di Cikarang, menunggu angkot yang menuju kawasan pabrik bukan pekerjaan mudah.
Fenomena-fenomena itu menggambarkan pola yang jelas, yaitu semakin hilangnya air dan tanah menghasilkan permasalahan-permasalahan manusia yang kompleks. Di Pacitan, hilangnya air mengakibatkan hilangnya pekerjaan penting perempuan dan tingginya angka perselingkuhan. Di Cikarang, hilangnya tanah menyuburkan ajaran agama yang berbahaya bagi kemerdekaan perempuan.
Tulisan ini diolah dari catatan penelitian yang dilakukan pada tahun 2020 oleh Rumah KitaB, lembaga riset untuk kebijakan yang memperjuangkan hak-hak kaum termarginalkan seperti perempuan, orang dengan disabilitas, serta kelompok minoritas suku, ras, dan agama yang mengalami diskriminasi akibat pandangan sosial keagamaan yang bias gender. Penulis mendapatkan pelatihan penulisan kreatif dari Rumah KitaB atas dukungan We Lead.
Comments