Pada 2011, ada satu film Perancis yang menguasai pasar nasional dan menyedot perhatian umum. Diangkat dari kisah nyata, The Intouchables mengisahkan hubungan antara dua orang yang berbeda latar belakang: Philippe (François Cluzet), aristokrat pria kulit putih yang lumpuh, dan perawat sekaligus sopirnya, Driss (Omar Sy), imigran pria dari Senegal.
Film ini tidak berhenti di pasar Perancis saja, namun menjadi satu contoh kisah sukses ekspor film Perancis ke mancanegara. Ada sedikitnya tiga versi yang kemudian muncul di negara lain: Inseparables (2016) di Spanyol, The Upside (2017) di AS, dan versi Hong Kong berjudul Still Human (2018).
Di balik kisah humornya, Intouchables mengangkat sebuah sisi gambaran nyata tenaga profesional yang merawat lansia dan/atau orang dengan disabilitas–unit kerja yang sebelumnya dilakukan oleh anggota keluarga. Tenaga profesional ini muncul karena perubahan sosial, khususnya atomisasi hubungan kekerabatan, akibat individualisasi hubungan interpersonal dalam kerangka modernisasi.
Penulis ternama N.H. Dini, selepas perceraiannya, pernah melakukan pekerjaan ini guna menunjang hidup selama di Perancis pada dekade 1970-an. Istilah yang digunakan adalah dame de compagnie (perempuan pendamping). Pekerjaan ini memang kerap dilakukan oleh perempuan (umumnya muda dan lajang), dan juga masih lekatnya stereotip misoginis yang menganggap perempuan “pantas” melakukan pekerjaan tersebut. Dini memulai pekerjaan tersebut pada 1976, sebagaimana dikisahkannya dalam memoarnya Argenteuil: Hidup Memisahkan Diri (2008):
Perjanjian kerjaku juga ditentukan hari itu. Aku akan menerima gaji dan memiliki nomor resmi jaminan pelayanan kesehatan atau sécurité sociale. Sepekan satu kali mendapat libur sehari tapi bukan hari Minggu. Lalu disepakati, bahwa aku akan mendapat libur pada hari ketika Nyonya Enrico, wanita pembersih, datang untuk melakukan tugasnya. Nyonya itu juga mencuci dan menyeterika. Tugasku adalah menemani majikan, menyiapkan makanan yang dapat dibeli di berbagai toko khusus atau restoran, sesuai kehendak Tuan Willm. Kecuali jika aku mau memasak sendiri sesuai dengan permintaan sang majikan. Dame de compagnie bukan perawat. Dia digaji oleh orang-orang lanjut usia golongan atas di negeri Barat.
Baca juga: KDRT dan Buruh Perempuan: Rantai Kekerasan yang Sulit Diputus
Seiring waktu, istilah dame de compagnie sudah ditinggalkan. Pekerjaan ini juga tidak melulu dikerjakan oleh perempuan seperti digambarkan oleh tokoh Driss. Pun sejak akhir 1980-an, ada pelatihan khusus dan sertifikasi bagi mereka yang berminat menjadi tenaga profesional ini.
Dalam bahasa Perancis masa kini, tenaga profesional ini lazim disebut aide à domicile, atau juga aidant, yang membedakannya dari infirmière (perawat di rumah sakit). Dalam bahasa Inggris, dikenal sebagai caregiver (Amerika) atau carer (Inggris). Dalam bahasa Jepang, ia disebut kaigoshi, yang membedakannya dari kangoshi atau perawat di rumah sakit.
Dalam bahasa Indonesia, pekerjaan ini dengan gampang disebut sebagai perawat atau pengasuh. Hanya saja, istilah ini tidak sepenuhnya tepat, sebagaimana juga telah dikatakan oleh NH. Dini. Memang ia bertugas merawat dan juga mengasuh majikannya. Namun ada satu unsur utama di dalam pekerjaan tersebut yang tidak dapat dipisahkan, yakni unsur perhatian (care) yang melandasi praktik bagaimana ia merawat dan mengasuh majikannya.
Tanpa unsur perhatian, kerja merawat atau mengasuh majikan adalah pekerjaan teknis belaka. Pentingnya unsur perhatian ini pula yang juga diangkat dalam film Chronic (2015), yang menggambarkan dedikasi perhatian David Wilson (Tim Roth) sebagai perawat/pengasuh orang yang menderita penyakit kronis dan menjelang ajal.
Tuntutan kerja rangkap
Unsur utama lainnya adalah luas lingkup pekerjaan tersebut. Hal ini terlihat nyata dalam Intouchables versi Hong Kong, Still Human (Lun lok yan).Tokoh Cheong-Wing Leung (Anthony Wong) mempekerjakan Evelyn Santos (diperankan oleh Crisel Consunji), seorang buruh migran perempuan dari Filipina. Evelyn bertugas merawat Cheong, dan juga mengurus keperluan rumah tangga. Persis inilah yang menjadi perbedaan utama antara tokoh Driss dan tokoh Evelyn. Tokoh Evelyn tidak hanya menjadi perawat/pengasuh tapi juga sebagai pekerja rumah tangga (PRT) bagi majikannya.
Kisah Evelyn adalah gambaran jutaan buruh migran perempuan Filipina, dan juga buruh migran perempuan asal Indonesia, yang bekerja di Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Negara-negara di Asia Timur ini mengalami piramida kependudukan terbalik sehingga memerlukan tenaga muda untuk merawat atau mengasuh lansia yang jumlahnya lebih besar.
Bukan semata-mata untuk keperluan perluasan kosakata ala etimologi tapi untuk memberi kepastian istilah yang mampu melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri dan menjamin mereka tidak dieksploitasi.
Tenaga muda ini umumnya dari Filipina dan Indonesia, dan akhir-akhir ini juga dari Vietnam dan Myanmar. Mereka dikontrak bekerja selama dua atau tiga tahun untuk menjadi PRT dan merangkap menjadi perawat pengasuh majikan lansia. Kebanyakan buruh migran perempuan Indonesia bahkan tidak mengetahui kerja rangkap ini saat mereka menandatangani kontrak kerja. Banyak agen tenaga kerja di luar negeri memaksa mereka untuk menerima kerja rangkap tanpa bisa protes. Mereka terjebak dalam hubungan kerja yang tidak imbang.
Kesaksian nyata buruh migran Indonesia tidak seindah dan semanis film Intouchables dan Still Human (淪落人). Kerja rangkap sebagai PRT dan perawat/pengasuh majikan lansia dan/atau dengan disabilitas sangatlah berat, dan tidak mudah. Astina Triutami, mantan buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong, di dalam memoarnya, Aku Bukan Budak (2011), menuliskan:
Ia rewel dan menyebalkan sekali. Segala sesuatu minta dilayani, sementara pada saat yang bersamaan aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Dalam sehari, ia mandi lima kali. Lima kali pula ia mengganti baju. Ia tak mengizinkanku duduk dari pagi sampai malam. Apa pun yang aku kerjakan, di mana pun aku berada di rumah itu tak pernah luput dari pengawasannya. Karena ulahnya itu, sering kali aku pergi ke toilet, menutup toilet duduk itu, dan duduk istirahat di sana sambil menangis. Kucoba untuk bertahan dan merawat nenek itu sebaik mungkin.
Merawat majikan tidak melulu mereka yang lansia dan/atau dengan disabilitas, tapi juga mengasuh anak majikan. Film Ilo Ilo (2013) memberi gambaran beratnya kerja rangkap seorang buruh migran Filipina di Singapura yang bertugas sebagai PRT sekaligus juga sebagai pengasuh anak majikan.
Kerja rangkap menjadi ciri utama buruh migran perempuan di Asia Timur. Bagi BMI yang masih baru, mereka dipaksa menerima kondisi kerja rangkap ini. Bagi BMI veteran, mereka lebih mampu bernegosiasi: Menolak atau menuntut upah lebih. Status mereka di kontrak kerja sebagai PRT dan ini tidak memerlukan pelatihan khusus (apalagi sertifikasi!). Tapi dalam kenyataannya, tugas utama mereka merawat/mengasuh majikan lansia dan/atau anak majikan.
Baca juga: 'Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran'
Tidak seperti di negara-negara Barat dan Jepang, tidak ada perbedaan tegas antara PRT, perawat di rumah sakit, dan perawat/pengasuh tenaga profesional. Pemerintah Singapura dan Hong Kong bukannya tidak tahu persoalan ini. Mereka menutup mata karena perekonomian mereka mengandalkan buruh perempuan migran yang diupah murah untuk bekerja rangkap. Mereka enggan memikul biaya ekonomi pelatihan tenaga profesional seperti di Barat dan Jepang. Akibatnya, pasar kerja mereka bercirikan eksploitasi buruh migran, dan bukan profesionalisasi.
Mengembangkan istilah, menjamin perlindungan
Unsur perhatian dan tuntutan kerja rangkap adalah dua unsur utama yang membentuk jenis pekerjaan ini. Bahasa Indonesia memerlukan istilah baru yang lebih mumpuni untuk dapat merangkum dua unsur utama dari jenis pekerjaan ini sebagai padanan caregiver/carer/aidant/ kaigoshi. Bukan semata-mata untuk keperluan perluasan kosakata ala etimologi melainkan juga, dan terutama untuk, memberi kepastian istilah yang mampu melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri dan menjamin mereka tidak dieksploitasi.
Istilah perawat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan tentu kurang tepat. Begitu juga istilah “pendamping” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Barangkali kita bisa mempertimbangkan istilah “buruh pengasuh” untuk merangkum kerja rangkap para buruh migran Indonesia ini?
Istilah “buruh pengasuh” memperjelas dasar kerja rangkap yang dijalankan oleh banyak buruh migran Indonesia di luar negeri, khususnya di negara-negara Asia Timur. Kemampuan mereka menjalankan kerja rangkap seperti layaknya tenaga professional meski banyak dari mereka tidak memperoleh pelatihan khusus. Mereka paham akan tuntutan kerja rangkap ini, meski kerja mereka tidak diakui. Istilah ini adalah pengakuan akan kerja mereka sebagai PRT dan juga pengasuh majikan dan/atau anak majikan. Dan dengan istilah baru ini, mereka dapat menimbang dengan jelas beban kerja rangkap, tidak dipaksa atau ditipu oleh agen, dan bagi majikan atau kalangan mereka sendiri untuk lebih mengerti hak-hak mereka (termasuk upah yang layak).
Illustration by Karina Tungari
Comments