Di Indonesia, pilihan perempuan untuk mengakses aborsi sebagai bagian dari hak reproduksinya masih terjegal oleh beberapa hal, mulai dari pandangan kelompok moralis yang mendasarkan larangan aborsi pada ajaran agama, sampai hukum yang berlaku di Indonesia. Karenanya, banyak perempuan yang melakukan kucing-kucingan ketika memutuskan menghentikan kehamilan. Padahal, prosesnya sangat berisiko bagi mereka sendiri.
Tahun lalu, saya melakukan penelitian untuk mendokumentasikan narasi 16 perempuan muda Indonesia yang belum menikah dan mengalami kehamilan tidak direncanakan, lalu memutuskan untuk menghentikan kehamilannya, alias aborsi. Alasan di balik keputusan ini tentu bervariasi, tetapi saya tidak tertarik membahas lebih lanjut soal itu sebab apa pun alasannya, keputusan ini adalah hak perempuan.
Dari 16 informan di penelitian saya, mereka menyebutkan, cara mereka untuk mengakses “layanan” atas kebutuhan ini tidak mudah. “Nina”, salah satu informan saya yang berusia 19 mengatakan, “Saya tidak tahu ada layanan ini di Indonesia. Kalaupun ada, pasti hanya untuk yang sudah menikah atau karena pemerkosaan”. Untuk mereka yang belum menikah, layanan kesehatan reproduksi memang sering kali dibatasi.
Jika saja mengikuti prosedur yang benar, setiap kali perempuan mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, mereka seharusnya mendapatkan konseling dan diberikan informasi komprehensif mengenai pilihan yang tersedia. Konseling juga harus dilakukan oleh tenaga terlatih yang ramah terhadap perempuan. Ramah di sini tidak hanya dimaknai sebagai yang murah senyum, tetapi juga yang tidak memberikan tatapan menghakimi, tidak menyalahkan, dan sepenuhnya memberikan ruang untuk perempuan menyuarakan keinginannya.
Baca juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan
Dalam penelitian saya, dari para informan yang akhirnya berhasil menghentikan kehamilannya, hanya tujuh di antaranya yang benar-benar mendapatkan layanan konseling, punya kesempatan untuk berdialog, dan punya waktu untuk memutuskan dalam keadaan tenang dan tidak berjudi dengan informasi tidak pasti di dunia maya. Sisanya benar-benar urusan keberuntungan, melewati batas hidup dan mati yang kelewat tipis.
Semua informan setidaknya pernah mencoba untuk mengonsumsi nanas muda dalam jumlah besar karena ada kepercayaan bahwa nanas bisa menggugurkan kehamilan. Mitos ini telah tumbuh di masyarakat sejak dahulu kala. Tidak pernah diketahui benar bagaimana mitos ini menjadi satu informasi yang dikenal di masyarakat. Salah satu informan saya bahkan memakan nanas selama lima bulan tanpa putus setiap hari. Ia mengalami mulas, perut kram, dan rasa asam tidak menyenangkan dari buah ini karena ia memakan nanas yang belum masak.
Selain nanas, upaya menghentikan kehamilan bagi perempuan Indonesia kerap terkait dengan hal-hal mistis, kekuatan supranatural, dan praktik yang masih dipertanyakan seperti pijat, yang menimbulkan trauma fisik. Dua informan saya menyebutkan, mereka mencoba “berdialog” dengan kekuatan supranatural agar ia mau “mengambil” janin yang ada di rahim mereka. Berbekal mantra dan pijatan kecil, mereka berharap keajaiban untuk menghentikan kehamilan.
Baca juga: Jalan Panjang Mengupayakan Hak Aborsi Legal bagi Korban Pemerkosaan
Semua hal ini berisiko membahayakan nyawa perempuan. Tidak heran bila kita menemukan deretan berita kematian perempuan karena praktik aborsi yang tidak aman yang dilakukan oleh dukun bayi melalui trauma fisik.
Mengakses dukun bayi dan praktik tradisional lainnya dipilih oleh mereka yang mendapatkan sumber informasi dari teman atau lingkungan. Praktik ini biasanya tidak tersedia dalam informasi tertulis, melainkan tersebar dari mulut ke mulut. Jangankan untuk mencari tahu apakah ini aman atau tidak, sekadar untuk mendapat informasi di mana dukun bayi yang masih melakukan praktik ini saja sulit.
Jauh berbeda dengan praktik profesional, tidak ada proses konseling dalam praktik oleh dukun bayi ini. Bahkan, seorang dukun bayi yang saya wawancarai tidak tahu siapa nama perempuan yang datang. Minim dialog dan minim kontak untuk memastikan apakah aborsi benar berhasil atau terdapat keluhan setelahnya. Namun, kerahasiaan ini justru sering kali lebih dibutuhkan oleh perempuan agar ia tidak mendapatkan penghakiman dan pertanyaan menyudutkan.
Rentan penipuan
Tercatat sembilan informan yang memilih mencari informasi di internet. Ada ribuan informasi di sana mengenai bagaimana cara aborsi, di mana membeli obat, hingga berbagai narasi keberhasilannya. Biaya yang dikeluarkan tidaklah murah, tetapi masih saja ada yang mau mengaksesnya. Di tengah pasar gelap layanan aborsi, yang tidak biasa dibicarakan, informasinya tidak pernah benar-benar tervalidasi. Perempuan Indonesia yang putus asa dan hendak mengakses aborsi bisa mengambil keputusan berisiko besar setelah membaca informasi di internet.
Faktor “beruntung” menjadi sangat dominan untuk mendapatkan layanan dengan selamat. Layaknya bermain dadu, perempuan yang memutuskan ingin menghentikan kehamilan punya tujuan sama, tetapi hasilnya sulit diprediksikan.
Risiko lain yang mesti dihadapi perempuan saat hendak mengakses aborsi di sini adalah penipuan, mulai dari obat yang ternyata palsu, dosis yang salah, hingga penjual kabur setelah perempuan mentransfer sejumlah uang. Meski beberapa perempuan telah mendapatkan informasi singkat seputar bagaimana cara menggunakan obat untuk aborsi, setelah transaksi dilakukan, si penjual seperti hilang ditelan bumi. Jika terjadi komplikasi setelah menggunakan obat, si penjual tentu tidak akan bertanggung jawab.
Bahkan seorang penjual obat aborsi yang saya wawancarai mengatakan, ia pernah memanipulasi perempuan yang memerlukan obatnya untuk berhubungan intim sebelum ia memasang obat pervaginam.
Mungkinkah ada aborsi “aman”?
Seperti yang saya sebutkan di awal, tujuh informan berhasil mendapatkan layanan aborsi dengan tenaga profesional terlatih yang terkesan “aman”. Mengapa hanya terkesan “aman” meski dilakukan oleh tenaga profesional? Sebab layanan aborsi di Indonesia masih dianggap ilegal kecuali ada indikasi medis bagi janin, ibu, atau pada kondisi korban pemerkosaan.
Perwujudan keadilan bagi korban pemerkosaan yang jelas-jelas telah dijamin oleh hukum pun masih tidak optimal. Tentu masih segar di ingatan kita tentang kasus WA, korban pemerkosaan berusia 15 tahun, divonis enam bulan penjara karena melakukan aborsi beberapa tahun lalu. Anak berumur lima belas tahun, korban pemerkosaan, dipidana karena aborsi. Kurang sulit apa lagi jalan yang ia lalui?
Baca juga: Magdalene Primer: Kriminalisasi Korban Pemerkosaan
Jika terjadi komplikasi yang mengakibatkan kematian, maka penyedia layanan akan dikriminalisasi. Jikapun dilakukan dan tidak mengakibatkan komplikasi, tapi terdengar oleh aparat penegak hukum, maka ancaman kriminalisasi si perempuan dan penyedia layanan menunggu di depan mata karena dianggap melanggar undang-undang.
Dari keseluruhan cerita, faktor “beruntung” menjadi sangat dominan untuk mendapatkan layanan dengan selamat. Layaknya bermain dadu, perempuan yang memutuskan ingin menghentikan kehamilan punya tujuan sama, tetapi hasilnya sulit diprediksikan.
Bicara menyediakan layanan aman, menjadikan aborsi sebagai salah satu pilihan bagi perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncanakan memang terdengar wacana. Walau demikian, tidak berarti kita harus menyerah dalam mengadvokasi penyediaan layanan ini. Advokasi ini tentu sebuah perjalanan panjang, tetapi upaya sekecil apa pun akan berdampak. Sesederhana tidak lagi memberikan penghakiman kepada perempuan yang memilih menghentikan kehamilannya, atau juga kepada perempuan yang ingin melanjutkan kehamilannya meskipun ia jadi orang tua tunggal misalnya.
Untuk menghindari beragam risiko membahayakan nyawa perempuan ketika hendak menghentikan kehamilan, perlu ada diskusi soal aborsi sebagai salah satu pilihan ketika perempuan mengalami kehamilan tidak direncanakan. Dukungan bagi tiap perempuan untuk menentukan bagaimana ia ingin mengatur masa depannya adalah suatu hal penting dan tidak sepatutnya orang lain merasa berhak dan memaksakan hal apa yang terbaik baginya.
Comments