“Ih, dedeknya dipakein selimut pink nih, padahal kan cowok, ya.”
Suara perawat yang mengontrol saya dan bayi saya, dua hari setelah saya melahirkan, membuat saya mengernyit. Tapi ujaran dan cara pikirnya memang jamak di masyarakat, sebagaimana ketika saya hendak mencari mainan dan penjaga toko bertanya, “anaknya cewek apa cowok?” atau ketika sejumlah orang melirik putra saya yang memakai setelan pink bergambar unicorn berlarian di sekitar kompleks rumah. Kalau pakai pink, terus kenapa?
Sejak saya hamil, saya bercita-cita untuk membahas mengenai gender dan seksualitas dengan terbuka kepada putra saya. Meski kini ia baru berusia satu tahun, saya telah membayangkan beragam hal yang akan kami perbincangkan kelak ketika ia telah mampu berbicara, termasuk soal tubuhnya.
Barangkali banyak yang merasa bahwa masih butuh beberapa tahun atau bahkan sedasawarsa lebih untuk memulai obrolan ini dengan anak. Namun, sejumlah referensi yang saya baca justru mendorong saya untuk melakukannya sedini mungkin, memulainya dengan konsep-konsep sederhana yang berhubungan dengan tubuh.
Banyak informasi yang saya dapat dari artikel, talkshow dengan berbagai pakar, buku, juga unggahan-unggahan beberapa akun di media sosial. Sebutlah akun Instagram @sexpositive_families, dan dari Indonesia, ada @mamamolilo, seorang ibu yang aktif membagikan pandangan-pandangannya terkait gender, relasi, dan parenting.
Mengenal sex positivity
Apa sebetulnya sex positivity ini? Situs International Society for Sexual Medicine menyebutkan, istilah sex positivity punya beragam interpretasi, tetapi garis besarnya adalah cara pandang atau sikap yang positif terhadap seks serta kenyamanan dengan identitas serta perilaku seksual seseorang.
Kunci perspektif ini ada pada keterbukaan untuk belajar segala hal soal seks, tubuh, dan aktivitas seksual. Alih-alih menganggap topik ini tabu seperti masih banyak masyarakat Indonesia, orang yang berperspektif sex positive melihat bahasan soal seks adalah sehat, seperti halnya membahas kesehatan fisik lainnya. Tidak hanya berkisar soal badan, obrolan dalam payung sex positivity juga mencakup aspek psikologis, perkara kesepakatan (consent) dalam relasi seksual, serta intimasi. Di sini juga tidak ada rasa malu dalam membicarakan kesehatan reproduksi, aktivitas seksual, serta bermacam emosi dalam relasi.
Poin lain yang digarisbawahi dalam sex positivity ialah penerimaan keberagaman seksualitas. Dalam jurnal “Resolving Social Problems Associated with Sexuality: Can a ‘Sex Positive’ Approach Help?” (2013), William dkk. menjelaskan bahwa dalam cara pandang ini, perbedaan interpretasi serta perilaku seksual individu, ekspresi seksual, serta representasi gender diterima dan dihargai. Dalam masyarakat yang mengungkung diskusi soal seksualitas, penerimaan terhadap keberagaman seksualitas akan dibatasi sehingga bisa berujung pada marginalisasi kelompok tertentu.
Dengan membawa sex positivity dalam keluarga saya dan memperkenalkannya kepada anak, saya harap ia tidak terkejut apalagi jijik pada orang-orang atau diri sendiri punya ekspresi dan orientasi seksual, atau identitas gender yang berbeda dengan mayoritas masyarakat. Seperti halnya bentuk bunga, itu semua bervariasi dan tidak ada satu bunga pun yang absolut lebih unggul dan menarik dibanding lainnya.
Mulai sejak dini
Dari akun @mamamolilo saya belajar bahwa inisiasi untuk membicarakan soal tubuh dan seksualitas bisa dimulai bahkan sejak anak bayi. Pembicaraannya Ini juga terkait erat dengan comprehensive sexuality education (CSE), yang didefinisikan UNESCO sebagai kurikulum yang mengajarkan seputar seksualitas dari aspek kognitif, emosional, fisik, dan sosial.
Baca juga: ‘Dua Garis Biru’ dan Kenyataan Pendidikan Seks di Indonesia
Tentu saja untuk anak batita, pembelajaran awal mengenai seksualitas dimulai dengan pengenalan anggota tubuh terlebih dahulu, bukan langsung mengarah ke aktivitas seksual. @mamamolilo senantiasa mengajak para orang tua untuk menyebut anggota tubuh termasuk alat kelamin sesuai namanya untuk menggeser tabu. Pada anak laki-laki, katakan alat kelaminnya bernama penis dan skrotum, sementara untuk anak perempuan, perkenalkan genitalnya dengan nama vulva, vagina, klitoris, bukan “burung”, “anu”, “dedek kecil”, atau kata kiasan lainnya.
Soal ini, saya teringat saran rekan dosen di kampus, “Anak jangan melulu dianggap seperti makhluk kecil, tidak tahu apa-apa. Saya biasa bicara seolah-olah dia sama dewasa dengan saya, dalam artian saya tidak memakai bahasa “bayi” sewaktu dia kecil dan selalu melihat dia punya pilihan. Dia juga punya keingintahuan besar dan kita perlu memfasilitasi itu, bukan membatasi informasi kepada dia.
Sikap sex positive dalam keluarga juga bisa diterapkan dengan memberi penjelasan yang tidak mengada-ngada atau berkelit saat pertanyaan klasik dari anak mencuat, “Bu, bayi keluarnya dari mana?”, atau “Menstruasi keluarnya dari mana?”.
Saya ingat sewaktu remaja, saya tidak banyak tahu soal menstruasi dan bimbingan dari orang tua minim soal ini. Saya cuma tahu itu “darah kotor” yang keluar setiap bulan dari vagina dan teringat saya langsung dihardik Ibu sewaktu tanpa sadar, darah menstruasi saya menembus celana. Saya belajar untuk sekian lama bahwa menstruasi itu momok. Hingga belasan tahun setelah saya pertama menstruasi barulah saya terpapar kampanye-kampanye yang mencoba menormalisasi hal tersebut.
Tidak dibiasakannya saya untuk membicarakan soal seksualitas dan tubuh membuat saya banyak tidak paham soal alat kelamin laki-laki, dan ini PR besar buat saya. Bagaimana saya mengobrolkan tentang ini pada putra saya? Apa harus melulu anak laki-laki belajar kepada bapaknya saja, dan anak perempuan kepada ibunya saja? Sebuah unggahan dari @sexpositive_families pada September 2019 lantas menohok saya: “You don’t have to be the same sex or gender as a child to teach them about their body.”
Memang saya punya keterbatasan pengalaman karena tidak memiliki penis dan skrotum, serta tidak pernah mengalami mimpi basah atau ejakulasi sebagaimana laki-laki. Tetapi punya pengetahuan nol soal anatomi dan kesehatan alat kelamin mereka juga merupakan hal buruk bagi saya sebagai orang tua.
Baca juga: Apa yang Kita Bicarakan Saat Kita Bicara Soal Kondom?
Dengan membiasakan diri terbuka kepada putra saya soal seksualitas, saya berharap kejadian macam adegan serial Sex Education terhindarkan: Otis yang masih malu dan merasa awkward bicara soal masturbasi kepada ibunya. Peer pressure mungkin ada dan menyebabkan putra saya nanti membatasi obrolan soal seksualitasnya, tetapi saya ingin dia tahu bahwa saya ada untuk berdiskusi soal itu kapan pun ia butuh.
Soal kenikmatan dan consent
Jangankan berbicara dengan anak, dengan pasangan pun, topik kenikmatan boleh jadi jarang atau tidak pernah dibahas oleh banyak orang. Faktornya macam-macam. Pertama, karena menganggap hubungan seks taken for granted, apa yang biasa dilihat atau dipelajari dari video-video maupun orang-orang lantas dilakukan seseorang pasti membikin nikmat pasangannya. Padahal, seks tidak pernah A+B=C sepanjang waktu. Faktor ini berkaitan erat dengan perkara komunikasi antarpasangan yang terhambat akibat minimnya informasi atau stigma seputar seksualitas. Tidak sedikit saya rasa orang yang juga buta letak kenikmatan di dirinya karena masih awam juga terhadap tubuhnya sendiri.
Pelajaran soal hubungan seks pun tidak semata-mata berujung pada prokreasi. Saya berharap putra saya sadar betul bahwa sanggama juga tentang kenikmatan dan membangun intimasi, menelanjangi tidak hanya tubuh tetapi juga persona seseorang, mengizinkan dan memberi ruang bagi orang lain untuk masuk dalam bagian diri kita.
Lalu soal persetujuan atau consent, saya sering mendengar dari banyak pasangan bahwa mereka melakukan hubungan seks karena “begitulah seharusnya”. Ada juga orang yang takut pasangannya “jajan” kalau tidak mau memenuhi kebutuhan seksualnya, padahal dia sendiri sedang enggan bercinta. Saya tidak ingin saat dewasa kelak anak saya mengalami hal ini. Consent adalah fondasi dalam hubungan seksual dan apa pun statusnya, entah berpacaran, sudah menikah, atau hanya berteman sekalipun, hal ini penting dan harus jelas tanpa ada asumsi, “Ah, dia kan pasangan saya, pasti maulah saya ajak ngeseks”. Dan karena saya punya seorang anak laki-laki, tugas saya untuk mendidiknya benar-benar agar tidak menumbuhkan budaya memperkosa di kepalanya dengan menormalisasi ketiadaan consent.
Itu perbincangan saya beberapa belas tahun kemudian mungkin. Sekarang ini, terkait consent yang bisa saya ajarkan adalah meminta izin saat menyentuh tubuh atau melakukan sesuatu terhadap seseorang. “Boleh Mama ganti celananya?” atau “Boleh Mama pinjam sebentar mainannya?” adalah dasar pelajaran consent yang sepatutnya bermula dari teladan orang tua dahulu. Ketika ia menolak, saya tidak ingin memaksanya. Alih-alih, saya menjelaskan mengapa saya mau melakukan ini atau itu, supaya anak pun belajar sedikit demi sedikit tentang pentingnya memberi alasan atau tujuan suatu hal.
Banyak yang mengakali anak dengan memberi mainan atau hal lain untuk mengalihkan perhatiannya agar barang yang ia pegang atau kenakan boleh kita ambil. Ini trik efektif memang, tetapi yang juga tersirat dari situ adalah teknik manipulatif supaya ia memberikan consent. Akan menjadi mimpi buruk bila hal tersebut diaplikasikan dalam hubungan seksual.
Baca juga: Pendidikan Seks di Usia Dini Bisa Cegah Kekerasan Seksual pada Anak
Bagi saya, menerapkan sex positivity dalam keluarga tidak hanya seputar mentransfer informasi soal seksualitas kepada anak dan antarpasangan. Hal ini juga melatih kita untuk transparan dan mempercayai satu sama lain, sebagai modal utama pembangun relasi yang langgeng. Membicarakan soal seksualitas juga menjadi latihan bagi saya sebagai orang tua untuk menyampaikan konsep-konsep rumit dengan bahasa mudah dipahami anak, tetapi tidak mengelabui.
Dan yang tak kalah penting, sex positivity akan membantu anak juga untuk menghargai dirinya, pilihan dan kebutuhannya, seperti halnya ia menghargai orang lain dan segala pilihan mereka.
Comments