Tapi, benarkah demikian? Seberapa pentingkah kehadiran teman dalam hidup kita?
Sebagai seorang pemalu yang sering merasa gugup ketika harus berinteraksi dengan manusia lain, saya hanya memiliki sedikit sekali teman. Selama bertahun-tahun saya menganggap itu sebagai sebuah kecacatan. Telah saya habiskan banyak waktu, tenaga dan pikiran dalam usaha untuk menjadi lebih supel, lebih pandai menjalin pertemanan. Saya bahkan menulis “punya banyak teman” sebagai salah satu poin dalam daftar target pencapaian hidup.
Telah demikian lama saya terjebak dalam anggapan bahwa jumlah teman mencerminkan baik-buruknya kepribadian. Semakin banyak orang yang berada dalam daftar teman, menandakan saya asyik, menyenangkan, dan enak diajak bergaul. Sebaliknya, semakin sedikit orang mengindikasikan saya membosankan, enggak asyik diajak jalan, tidak menarik, atau bahkan kampungan.
Karena pola pikir semacam itulah saya berusaha keras untuk mendapatkan banyak teman. Berbagai cara dilakukan: gabung ke banyak komunitas, aktif di sosial media, SKSD (sok kenal sok dekat) terhadap orang yang baru dikenal, dan lain-lain. Tentunya sambil terus mempertahankan sedikit teman yang telah saya miliki. Tidak peduli meski terkadang teman-teman itu memperlakukan saya dengan tidak adil, saya tetap bertahan. Saya terus melakukan apa pun untuk membuat mereka tinggal. Semata-mata karena tidak ingin mereka pergi dan meninggalkan saya sendirian--saya takut kesepian.
Namun kemudian sebuah peristiwa menyadarkan saya tentang suatu hal yang seharusnya saya lakukan sejak dulu: berani sendiri.
Beberapa waktu yang lalu, saya mengalami masa-masa yang cukup berat. Ada kejadian-kejadian yang membuat saya merasa buruk tentang diri saya sendiri. Saya jatuh ke dalam penyesalan-penyesalan yang menyesakkan. Saya merasa dikepung oleh ujaran kebencian yang datang dari dalam pikiran saya sendiri. Saya terus berkata bahwa kesedihan-kesedihan yang saat itu menimpa saya adalah akibat dari kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Kebencian mulai tumbuh dalam diri saya. Kebencian yang paling menyeramkan: rasa benci pada diri sendiri.
Hari-hari itu merupakan salah satu titik terendah dalam hidup saya.
Yang saya butuhkan ketika itu adalah teman yang bersedia menjadi tempat bersandar. Saya tak meminta banyak, saya hanya butuh sebuah pelukan. Pelukan yang akan membuat saya merasa bahwa saya tidak sendirian. Bahwa saya bernilai.
Saya merasa amat bahagia ketika mengetahui bahwa ada orang yang mengulurkan tangan dan berjanji untuk datang. Saat itu saya akhirnya merasa telah menemukan secercah harapan. Saya menganggap ia sebagai pahlawan yang akan datang menyelamatkan saya. Betapa kecewanya saya ketika tangan yang semula terulur tiba-tiba ditarik balik. Teman itu tak jadi datang. Pelukan itu urung saya dapatkan.
Ketika itulah akhirnya saya sadar, bahwa satu-satunya orang yang bisa selalu diandalkan hanyalah diri sendiri. Punya teman itu memang baik, tapi bahkan teman terbaik pun tak akan bisa selamanya ada. Mereka juga manusia yang punya kesibukan, kebahagiaan, kesedihan dan prioritas masing-masing. Akan ada saatnya, posisi saya dalam daftar mereka berada jauh di bawah jalan-jalan, pergi ke dokter, kencan, lembur, dan lain-lain. Saya bisa keburu mati jika mesti menunggu posisi saya naik ke peringkat satu daftar prioritas itu. Maka tak ada pilihan lain kecuali bangkit dan menyelamatkan diri sendiri.
Di situlah saya merasa bahwa yang selama ini saya percayai ternyata salah. Ada yang lebih penting untuk dilatih ketimbang kemampuan untuk memiliki sebanyak mungkin teman, yaitu kemampuan untuk bertahan ketika tidak ada satu pun teman yang bisa diandalkan.
Hal pertama yang saya lakukan saat itu adalah meminta maaf pada diri sendiri. Untuk semua kata-kata jahat yang pernah saya lontarkan, untuk keraguan-keraguan yang memandulkan potensi, untuk pikiran-pikiran buruk, untuk segalanya.
Saya mencoba sedikit demi sedikit menjadikan diri saya sendiri sebagai seorang sahabat. Karena kalau dipikir-pikir, tak ada yang lebih tahu semua luka, duka, dan kesulitan yang saya hadapi kecuali diri saya sendiri. Ia akan ada untuk saya tanpa ada jarak yang mesti ditempuh atau jadwal yang harus dikosongkan terlebih dulu. Dia selalu ada. Maka yang harus dilakukan adalah menyatukan kekuatan agar cobaan apa pun yang dihadapi bisa segera terlewati.
Sejak saat itu, saya belajar untuk memeluk diri sendiri. Menjadi penyemangat ketika rasa minder menguasai. Menjadi penghibur ketika dilanda rasa kecewa. Menjadi orang pertama yang berkata “semua akan baik-baik saja” setiap kali hal buruk menimpa.
Saya tak lagi mengandalkan belas kasih teman untuk datang sebagai juru selamat. Saya beranikan diri untuk menjadi pahlawan bagi diri sendiri. Anehnya, ketika saya mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehadiran teman, saya sama sekali tidak merasakan kehilangan. Saya justru merasa terbebaskan.
Saya jadi tahu bahwa menjadi sendiri ternyata tidak seburuk itu. Saya tetap bisa bertahan tanpa perlu terlalu mengandalkan orang lain. Saya bisa bertahan sendirian. Saya berani sendiri.
Yoga Palwaguna adalah lelaki yang banyak menemukan pelajaran hidup dari drama dan variety show Korea. Murid kelas nol besar di TK virtual bernama Komunitas Supernova. Juga aktif di komunitas literasi Kawah Sastra Ciwidey.
Comments