Sejak kecil Ayu Kartika Dewi sering berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti ayahnya yang harus berdinas di daerah lain, membuatnya terbiasa berada di lingkungan masyarakat yang beragam.
Namun saat bertugas menjadi guru sekolah dasar di Desa Papaloang, Halmahera Selatan, Maluku Utara, ia tersentak dengan kenyataan soal intoleransi dan konflik dalam masyarakat di negara ini. Waktu itu 2010, dan Ayu sedang mengikuti program Indonesia Mengajar, sebuah lembaga nirlaba yang merekrut, melatih, dan mengirim anak-anak muda terpilih ke berbagai daerah di Indonesia untuk mengabdi sebagai pengajar SD.
“Suatu ketika seorang murid datang dan bilang, ‘Bu Ayu kita harus hati-hati, kerusuhan su dekat.’ Terus saya tanya, ‘Memang kerusuhannya di mana?’ ‘Di Ambon ibu, kita harus hati-hati.’,” ujar Ayu, 36, kepada Magdalene baru-baru ini.
“Padahal dengan kapal laut saja butuh waktu dua hari dari Maluku Utara untuk sampai ke Ambon,” kata perempuan berjilbab berusia 36 tahun itu.
Kepulauan Maluku memiliki sejarah kelam perpecahan dalam masyarakat. Pada 1999, kerusuhan antar umat Islam dengan umat Kristen meletus di wilayah Ambon dan menimbulkan banyak korban. Muncullah kampung Islam dan kampung khusus agama Kristen. Luka-luka bekas kejadian itu tidak hanya terlihat dari puing-puing gereja dan masjid yang terbakar, tetapi generasi muda Ambon dan Maluku Utara yang asing dengan umat beragama lain.
Pengalaman di Maluku mendorong Ayu untuk mengabdikan dirinya pada isu keberagaman setelah kembali ke Jakarta. Pada 2013, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga itu mendirikan SabangMerauke, sebuah program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia, untuk menanamkan nilai toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan.
Dalam program tersebut, para peserta yang merupakan siswa sekolah menengah pertama selama tiga minggu tinggal dengan keluarga yang berbeda dan berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda. Setelah kembali ke daerahnya, mereka akan menjadi diharapkan menjadi duta perdamaian di daerah masing-masing.
Sampai sekarang SabangMerauke telah menjangkau ribuan siswa. Ayu mengatakan interaksi dengan anak-anak tersebut selalu membuat ia geleng-geleng kepala sambil tersenyum, terutama saat mendengarkan pengalaman para peserta ketika pertama kali bertemu dengan umat agama yang berbeda dari mereka.
“Cerita mereka selalu berawal dari ketakutan dan prasangka terhadap agama atau suku yang berbeda dari mereka. Prasangka yang terus berulang ini menandakan bahwa masalah intoleransi di Indonesia belum juga membaik,” ujar Ayu, yang lulus dari program pascasarjana Administrasi Bisnis dari Duke University, Amerika Serikat.
“Ada satu adik SabangMerauke bernama Apipa, dia seorang muslim dari Kalimantan Barat. Kami sengaja menempatkan dia di keluarga Cina Kristen. Awalnya dia takut, namun setelah itu Apipa malah cerita pada kami, ‘Wah, Kak, ternyata orang Kristen enggak sejahat yang aku bayangin ya.’ Prasangka-prasangka itu selalu sama setiap tahunnya,” tambahnya.
Baca juga: Karlina Supelli Soal Kartini dan Perlawanan Perempuan Hari Ini
Pada 2017, prihatin dengan peningkatan konservatisme dan radikalisme agama, serta merebaknya narasi-narasi tersebut di kalangan anak muda, Ayu kemudian mendirikan Milenial Islami. Program ini mendorong narasi-narasi perdamaian di kalangan muslim, terutama bagi generasi Milenial berusia 18-25 tahun agar mengenal pandangan Islam yang moderat.
Jika SabangMerauke berbentuk pertukaran pelajar, Milenial Islami menggunakan jalur daring di media sosial dan offline seperti road show ke banyak universitas dan kampus, untuk membumikan pandangan Islam yang moderat.
Ayu mengatakan kurangnya rasa toleransi dalam masyarakat salah satunya disebabkan oleh ketimpangan pendidikan anak bangsa. Sebagai negara kepulauan, infrastruktur dan akses memang menjadi tantangan tersendiri yang membutuhkan waktu dan kegigihan untuk diselesaikan.
Menurut Ayu, institusi pendidikan saat ini masih belum maksimal dalam mengajarkan arti dari keberagaman dan toleransi.
“Ini merupakan kritik terbesar saya terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Saat ini pendidikan kita tidak mengajarkan anak bagaimana cara berpikir kritis dan berempati. Hal ini sangat penting sekali diajarkan agar anak dapat memilah-milah informasi yang benar di era arus informasi yang berlimpah,” ujar Ayu, yang sekarang bekerja sebagai managing director di Indika Foundation.
“Dalam pelajaran PKN (Pendidikan Kewarganegaraan), misalnya, contoh yang sering kita temui apa? Anak baik membantu nenek menyeberang jalan, tapi seumur-umur nih, saya hampir enggak pernah ketemu sama kasus itu di kehidupan nyata. Padahal dalam kehidupan sehari-hari banyak banget contoh moral dilema yang bisa diceritakan di pelajaran PKN,” ujar Ayu
Setiap di akhir program, dan melihat perubahan pola pikir para peserta, Ayu semakin yakin bahwa toleransi itu tidak cukup hanya diajarkan saja, namun juga dirasakan langsung oleh anak-anak ini.
Ia menambahkan bahwa Milenial Islami dan SabangMerauke mengajarkan bagaimana cara berpikir kritis dan berempati terhadap sesama manusia, untuk membantu generasi muda menghadapi arus konservatisme yang saat ini tengah meningkat, terutama di lingkungan pendidikan tinggi.
Ayu menekankan pentingnya bagi mahasiswa untuk memiliki kegiatan lain yang mengharuskan dirinya untuk bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda, dan hal ini yang membuat mereka tidak terombang-ambing.
“Saat ini generasi muda merasa diri mereka hanya sekadar objek. Untuk merangkul generasi muda tidak cukup dengan membuat acara-acara yang hanya menjual embel-embel Milenial, tetapi juga harus mendengarkan aspirasi mereka secara serius,” ujar Ayu.
Foto diambil dari sabangmerauke.id
Comments