Huta Sibabiat, pada suatu masa.
Ma Butet duduk dekat denganku ketika aku sibuk menyiapkan perlengkapan untuk maragat (pembuatan tuak). Tiba-tiba dia menanyakan sesuatu yang tidak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya, dan sejujurnya aku tidak pernah siap untuk menjawabnya: “Menurutmu, boru Batak yang kuat itu seperti apa?”
Mengapa pertanyaan istriku ini menjadi sulit? Karena aku tidak pernah memikirkan bahwa perempuan itu harus kuat. Akulah yang mestinya kuat. Karena kakiku biasa kugunakan untuk memanjat pohon aren yang tinggi hanya dengan sige yang kecil. Karena lenganku masih cukup kuat untuk membawa pikulan yang berat dari hasil panen kebun kami. Singkatnya, karena laki-laki harus kuat.
Namun sejujurnya aku cemas. Mungkin jauh di alam bawah sadarku, aku sebenarnya takut. Kalau-kalau dia nanti berpikir bahwa dia adalah boru Toba yang kuat, dia akan pergi meninggalkanku.
Aku tahu ini tidak masuk akal. Tapi aku lalu mulai penasaran dan menimang-nimang dalam hari. Entah dia itu kuat atau lemah, jika meninggalkanku ternyata membuatnya lebih bahagia, tentu tidak ada alasan bagiku untuk menahannya. Meskipun dia harus melewati banyak rintangan untuk melakukannya. Ia harus menyusun sejuta argumen dan fakta tentang ketidakbecusanku sebagai laki-laki yang layak mendampinginya. Dan ia harus menceritakannya ke banyak orang. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Karena Simatua Doli (mertua laki-laki)-ku, Simatua Boru (mertua perempuan)-ku, para ito (saudara)-nya, dan segenap jajaran hula-hula (kelompok marga)-ku akan merasa punya hak untuk menanyainya: “Kenapa?”
Sejenak, aku merasa, hal ini justru menguatkanku sebagai laki-laki Toba.
Tetapi, seperti apa sih perempuan Toba yang kuat itu?
Sulit menemukan nama tokoh besar perempuan dalam tradisi Batak Toba yang sangat patrilineal. Paling beberapa nama seperti Butet Manurung, yang terkenal karena kiprahnya mendidik anak-anak suku pedalaman di Jambi. Atau Rita Butar-butar yang kemudian menginspirasi artis perempuan lainnya seperti Novita Marpaung, Joy Tobing dan lain-lain. Dan, tentunya Ibu yang melahirkanku. Hanya saja beliau tidak begitu terkenal, karena saban hari aktivitasnya di rumah, ladang, dan mengurusi kami anak-anaknya tidak pernah dimuat di koran, diliput TV atau dipublikasikan oleh media mana pun. Ini bagus, karena dengan demikian aku bisa tetap mengaguminya dengan bebas dari kepentingan apa pun.
Aku mencoba mengingat kembali kira-kira siapa yang pantas aku berikan contoh untuk menjawab pertanyaan istriku tadi. Sampai sosok ini melintas di pikiranku: Abitan Nauli Boru Tamba Lumban Tonga-tonga, istri dari leluhurku, Ompu Jelak Maribur dari marga Munthe.
Boru Tamba merasa bahwa Jejak Maribur itu pemuda yang baik. Tetapi ketika bunga cinta tumbuh di hatinya terhadap pemuda itu, ia mendapat penolakan dari orang-orang sekitarnya.
Pemuda itu bukan saudaranya, bukan ito-nya kandung. Jadi, dia tidak sedang melakukan inses. Dia pun tidak pula melanggar larangan dua punggu saparihotan, karena keluarganya pun bahkan baru mengenal pemuda itu.
Dua Punggu Saparihotan artinya adalah tidak diperkenankan melangsungkan perkawinan antara saudara abang atau adik laki-laki marga A dengan saudara kakak atau adik perempuan istri dari marga A tersebut. Artinya kakak beradik laki-laki memiliki istri yang berkakak/adik kandung, atau dua orang kakak beradik kandung memiliki mertua yang sama.
Boru Tamba dan suaminya dianggap tidak marpadan atau sepadan, karena kedua marga mereka itu dilarang saling menikah dalam konteks persatuan marga Parna.
Ketika suaminya diusir dari kampung halaman karena menikahinya, Boru Tamba membutuhkan kekuatan yang sangat besar untuk bertahan di tengah stigma dan pandangan sinis orang sekampungnya.
Jika boleh, ia sebenarnya bisa menyalahkan keluarganya karena menghukum pemuda yang dia cintai, tapi mereka tidak pernah memberitahukan sebelumnya konsekuensi dari kedekatan hubungan mereka. Hukuman yang lebih terasa sakitnya. Mungkin lebih dari yang dirasakan si Jelak Maribur sendiri. Tapi, ia tidak melakukannya. Bagaimana pun, keluarganya adalah segalanya yang dia miliki. Ia tidak bisa memaksakan pemahamannya.
Ketika ia harus membesarkan anaknya sendirian, setelah suaminya diusir dari kampung halamannya, ia pasti punya alasan untuk bertahan.
Ketika keturunannya pun tidak diperbolehkan mengenakan marga yang sama dengan ayahnya, dan lalu karenanya sebagian orang menganggapnya sebagai pelaku yang turut merusak tatanan marga yang ada selama ini, dia tidak memberontak dan berbalik mengecam. Dia terima saja, walaupun barangkali dia tidak persis tahu, semua ini takdir yang harus dijalaninya, atau ada cinta yang besar yang menuntunnya sekuat itu.
Dan dia masih ada di situ. Menjadi ibu dari Haromunthe.
Dengan alasan yang dia punya, yang tidak sempat dipublikasikan dan diceritakan kepada keturunannya, ia memilih untuk menjalani dan meneruskan hidupnya. Alasan-alasan yang gaungnya akan tenggelam seketika bila dihadapkan dengan tegasnya larangan itu.
Bahkan namanya pun tidak sempat dicatat di buku silsilah besar sukunya, sama seperti marga baru yang kemudian disematkan pada keturunannya kemudian juga tidak dikenal. Karena semua alasan itu, aku tidak punya banyak informasi tentang boru Tamba Lumban Tonga-tonga ini. Tapi, lalu kupikir, namanya pantas dimasukkan dalam daftar perempuan Batak Toba yang pantas diperhitungkan.
Aku baru saja tersadar, Ma Butet ternyata sudah tidak duduk lagi di dekatku.
Dia sibuk dengan cuciannya. Setelah tadi dia harus bangun terlebih dahulu untuk menyiapkan sarapan buat si Butet dan aku. Dia memang termasuk perempuan yang kuat. Aku ingin memanggilnya, mengatakan bahwa dia termasuk jawaban dari pertanyaannya sendiri. Tapi lalu kuurungkan niatku.
Aku tidak menjawab pertanyaan itu hingga hari ini.
Donald Haromunthe adalah penulis yang fokus pada upaya mengkritik tatanan sosial-budaya dan religius yang beberapa di antaranya telat menyesuaikan diri dengan konteks masa kini. Ia adalah kurator di bataktobanews.com dan haromunthe.com. Artikel ini diubahsuaikan dari website Haromunthe.com.
Comments