Kasus kekerasan seksual yang dialami “Agni”, mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diperkosa oleh HS, sesama mahasiswa, saat program Kuliah Kerja Nyata pada Juni 2017 berujung pada upaya non-litigasi alias “damai”.
Pada 2013, kasus kekerasan di institusi pendidikan juga terjadi pada RW, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang diperkosa hingga hamil oleh sastrawan dan dosen Fakultas Pengetahuan Ilmu Budaya UI (FIB UI) Sitok Srengenge ketika RW sedang mengerjakan tugas kuliah. Hingga saat ini, proses kasus tersebut tak kunjung usai.
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan di Indonesia sering kali menemui jalan buntu karena kekosongan regulasi khusus dalam penanganannya. Beberapa institusi pendidikan tinggi sudah memiliki aturan terkait kasus pelecehan dan kekerasan seksual, namun aturan tersebut cenderung tidak dipergunakan oleh institusi untuk menindak pelaku dan dipakai untuk “menjaga nama baik kampus”, sehingga korban tidak mendapatkan keadilan.
Hingga saat ini belum ada data komprehensif terkait kekerasan seksual di institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Menurut Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2018, terdapat 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan.
Sementara dalam lingkup UI, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UI (BEM FH UI) melakukan survei daring pada 2018 dan menemukan 21 orang dari 177 responden pernah mengalami pelecehan seksual di UI. Selain itu, data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) pada 2018 mencatat empat kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan tingkat sekolah. Angka-angka ini diyakini merupakan puncak gunung es.
Saras Dewi, dosen FIB UI yang juga mendampingi RW mengatakan civitas akademika berperan sangat penting dalam menjawab kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan, namun institusi pendidikan tinggi masih melihat kasus pelecehan dan kekerasan seksual sebagai sesuatu yang tabu dan harus diselesaikan di ruang privat.
“Penting sekali institusi pendidikan punya upaya yang dalam jangka panjang dan langgeng. Bukan hanya sekadar menyikapi, tapi juga harus punya sistem yang bisa mencegah kejadian-kejadian seperti ini. Seharusnya ini sudah menjadi kewajiban kampus,” kata Saras dalam diskusi “Kekerasan Seksual di Kampus dan Gerakan #MeToo” yang diadakan oleh Jakarta Feminist Discussion Group di Jakarta, Sabtu (9/2).
Dalam kasus Agni, misalnya, UGM memiliki Pedoman Pelecehan di Lingkungan UGM melalui Keputusan Rektor UGM Nomor 1699/UN1.P/SK/HUKOR/2016 yang isinya antara lain menyebutkan bahwa jika ada insiden pelecehan yang berkaitan dengan lebih dari satu departemen, maka akan dibentuk tim investigasi untuk menyelidiki kasus. Karena Agni dan HS berbeda fakultas, maka seharusnya tim investigasi dibentuk. Namun pihak universitas mendorong Agni agar tidak melanjutkan kasus karena dianggap bukan pelanggaran berat.
Sementara itu di UI, menurut Saras, tidak ada peraturan tertulis khusus mengenai kekerasan seksual, yang ada hanya peraturan akademik berisi kewajiban-kewajiban para calon mahasiswa baru ketika akan masuk fakultas. Meskipun di Fakultas Hukum ada semacam pusat krisis yang menerima aduan kasus, mulai dari perisakan sampai kekerasan seksual, dan melakukan pendampingan.
Saras mengatakan, normalisasi atas pelecehan seksual berimbas pada penyelesaian secara kekeluargaan ketika ada kasus kekerasan seksual supaya nama kampus tidak tercemar.
“Menurut saya ada pencederaan keadilan di sana. Seharusnya yang paling utama dilakukan adalah membicarakan dan membuka percakapan, lebih baik lagi membuat sistem tertulis melalui aturan-aturan agar suasana akademik lebih ramah dan berperspektif gender,” ujarnya.
Normalisasi atas pelecehan seksual berimbas pada penyelesaian secara kekeluargaan ketika ada kasus kekerasan seksual supaya nama kampus tidak tercemar.
Koordinator LBH APIK, Ratna Batara Munti mengatakan, aturan-aturan mengenai kekerasan seksual di perguruan tinggi cenderung lemah dan tidak dilengkapi dengan mekanisme khusus.
“Biasanya tidak ada standar operasional prosedur (SOP) dalam penanganan kasus. Aturannya hanya sekedar himbauan tanpa prosedur penanganan yang jelas, terutama respons yang harus dilakukan ketika ada pengaduan. Standar minimal setidaknya membantu agar hak-hak korban terpenuhi dan pelaku dapat sanksi,” kata Ratna.
Ia menyayangkan keputusan institusi pendidikan yang biasanya memilih jalan mediasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Menurutnya, mediasi sangat merugikan korban karena tidak ada akses keadilan dan akses bantuan layanan seperti pemulihan, yang jelas merupakan hak korban.
“Pengalaman LBH APIK, korban kekerasan seksual justru yang dirugikan oleh pihak sekolah. Bukannya dibantu, tapi justru dikeluarkan dari sekolah. Mediasi juga melanggengkan impunitas terhadap pelaku dan tidak ada tindakan tegas bagi pelaku supaya tidak ulangi perbuatannya,” ujar Ratna.
Ia mengatakan, institusi pendidikan dan pemerintah wajib memiliki kebijakan untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
“Ini terus terjadi, karena Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum memiliki kebijakan terkait kewajiban institusi pendidikan untuk melindungi korban dan menanggulangi kekerasan yang terjadi di lingkup lembaga pendidikan,” tambahnya.
Saras mendesak institusi pendidikan agar memiliki kode etik tertulis yang menerjemahkan seluruh bahasa mengenai relasi kuasa. Saat ini UI sedang berusaha membahas artikulasi kode etik tersebut, ujarnya.
“Masalah kekerasan berbasis gender menurut saya perlu ada dalam kontrak penerimaan mahasiswa baru. Tidak hanya mencantumkan soal kewajiban saja, tapi juga hak mahasiswa, bahwa universitas akan menjaga mahasiswa kuliah dalam ruang yang aman. Maka dari itu, kode etik diperlukan sekarang,” ujar Saras.
“Ini seharusnya sudah harus dilakukan dari jauh hari. Harus ada upaya artikulasi hukum dalam otoritas yang lingkupnya kampus, maupun dalam pengertian Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), yang menurut saya satu nafas. Tentunya dengan disahkannya RUU PKS, ini akan memudahkan dan mewajibkan ruang-ruang untuk punya kode etik, supaya relasi kuasa bisa diidentifikasi,” tambahnya.
Citra Maudy, editor Balairung Press UGM yang juga menuliskan berita kasus Agni, mengatakan bahwa penanganan kasus Agni seharusnya berpacu pada Peraturan Rektor tentang Tata Perilaku Mahasiswa UGM dan Keputusan Rektor UGM.
“Sebenarnya aturan-aturan itu perlu banyak evaluasi, karena belum ada rubrik yang menyatakan kalau ada orang yang melakukan kekerasan seksual, sanksinya seperti apa. Jadi belum tertulis sempurna. Atas hal itu [kasus Agni], UGM mau memperbaiki,” kata Citra kepada Magdalene setelah diskusi.
“Aku berharap kalau memang hari ini UGM berjanji untuk memperbaiki kebijakan mereka dan membangun women’s crisis center, hal itu berjalan dengan baik karena mereka harusnya belajar dengan apa yang sudah terjadi. Kalau seandainya tidak, kami akan terus kawal bersama,” ujarnya.
Baca bagaimana PKBI mendorong gerakan keluarga yang toleran dan inklusif.
Comments