Saat usia menginjak kepala dua, celetukan bertopik pernikahan -- baik dengan nada bercanda maupun super serius -- menjadi hal yang begitu akrab di telinga. Beberapa mengatakan bahwa relasi antara umur 20an dengan bahan perbincangan tersebut berkaitan erat dengan “masa emas” kesuburan pasangan pengantin. Hal ini membuat saya berpikir, “Whoa, whoa, Indonesia, mengapa motif utama pernikahan adalah prokreasi semata?”
Pernikahan dianggap sebagai prosesi yang begitu sakral di negeri ini. Berdasarkan sudut pandang keagamaan, hal ini merupakan kunci legalisasi aktivitas seksual sebab pasangan pengantin diharapkan “menjaga keperawanan dan keperjakaannya” hingga hari itu datang. Hasil yang sangat diharapkan adalah hadirnya keturunan.
Sayangnya, sebagai makhluk yang dianugerahi rahim sebagai tempat tumbuhnya janin, perempuan lebih banyak berada pada posisi yang tidak menguntungkan apabila fungsi prokreasi ini tidak tercapai. Tidak sedikit tayangan di layar kaca yang berkali-kali menanamkan pemahaman “kemuliaan seorang perempuan adalah menjadi ibu bagi anak-anak suaminya”. Dapat ditarik kesimpulan bahwa setidaknya terdapat dua peran yang dianggap sebagai faktor inti “ideal” nya seorang perempuan yaitu menjadi istri dan ibu. Sementara saya tak pernah mendengar adanya ujaran semacam “kemuliaan seorang lelaki adalah menjadi ayah dari anak-anak istrinya.”
Religiofikasi institusi pernikahan di Indonesia juga mengaburkan kembali esensinya; apakah ia adalah simbol dari bersatunya pasangan yang diikat oleh cinta atau justru penyatuan kerabat dari dua keluarga?
Tentu masih segar dalam ingatan bahwa beberapa saat yang lalu berkembang sentimen anti-pernikahan sesama jenis. Padahal tentunya yang melandasi keinginan tersebut ialah afeksi, kasih sayang, sebut saja cinta. Namun, pada praktiknya, para pengantin di Indonesia tak hanya bersatu dengan pasangannya. Mereka juga dipaksa untuk “menikahi” seluruh lingkaran sosial sang kekasih. Seperti yang dialami oleh kakak dari teman saya.
Keluarganya menunjukkan sikap tak suka terhadap perempuan yang ingin ia nikahi. Dalam beberapa derajat, saya ingin sekali memahami ini sebagai hadirnya fungsi proteksi dalam unit keluarga. Tentu keluarga — terutama orangtuanya — memiliki penilaian tersendiri terhadap calon menantu. Akan tetapi, apakah hal tersebut patut dijadikan sebagai alasan dari keputusan akhir? Jadi sebenarnya siapa yang menikah; dia atau keluarganya?
Apabila Anda hidup di tengah keluarga tradisional Jawa, pastilah Anda tidak asing dengan istilah bibit, bebet, bobot yang digunakan sebagai standar “kelulusan” seseorang untuk masuk dalam keluarga via jalur pernikahan. Seseorang akan dinilai dari perilakunya, segala hal yang dianggap dapat menunjukkan kualitas dalam dirinya (semisal tingkat pendidikan, jumlah kekayaan, dan sebagainya) hingga seluk beluk keluarganya.
Barangkali peribahasa “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” diterjemahkan secara harafiah lantas digunakan secara serampangan untuk menggambarkan diri seseorang berdasarkan apa yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarganya saja.
Suatu waktu pada masa SMP, saya mendengarkan percakapan yang membuat saya terheran-heran di kemudian hari.
“Jangan main dengan si A!”
“Kenapa?”
“Kakeknya orang PKI, kamu mau dipukuli sama dia? Seram.”
Bayangkan, Anda hanya perlu membubuhkan satu label negatif saja pada salah satu anggota keluarga seseorang untuk memberikan stereotip yang sama ke SELURUH keluarganya. Bahkan hal tersebut akan memengaruhi sampai ke tahap membangun keluarga baru melalui pernikahan. Kedua mempelai menghadapi pelbagai tuntutan untuk membuat keluarga calon pasangannya merasa sesuai dengan dirinya berikut silsilah keluarganya.
Pernikahan juga tercipta untuk melahirkan prestise. Bibit, bebet, dan bobot masuk pertimbangan karena menurut saya, terdapat kecenderungan untuk menganggap si newcomer layaknya trofi sebagai bukti kemenangan atas Kompetisi Menemukan-Keluarga-Yang-Layak-Disebut-Ketika-Bertemu-Kenalan.
Dengan menantu yang begini, saudara ipar yang begitu, kebanggaan menyelip di dada, bukan? Dan prestise ini tidak dapat lepas dari peran yang diharapkan terpenuhi dalam rumah tangga. Sehingga — tolong tambahkan pada kualifikasi calon newcomer — bahwa terdapat tekanan lebih bagi perempuan untuk ahli dalam segala hal yang sifatnya pekerjaan domestik dan lelaki untuk memiliki penghasilan yang lebih besar. Meski pada perkembangannya, seperangkat nilai ini kemudian mulai terkikis di kalangan anak muda.
Namun, terlepas dari segala kerumitan pernikahan yang begitu sakral di Indonesia, saya cukup tak nyaman dengan hal yang menyertainya: berkompromi. Bahwa dalam 24/7, Anda harus mempertimbangkan — atau justru memprioritaskan — kepentingan seseorang yang lain sebelum bertindak maupun mengambil keputusan. Bagaimana jika cinta itu pergi? Tentu bukan tak mungkin, seiring berjalannya waktu, cinta yang tadinya menjadi pondasi pernikahan justru berpindah ke sosok yang lain atau memudar begitu saja.
Tetapi pernikahan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya sudah melalui tekanan yang menjadi-jadi sejak awal sehingga tidak mudah untuk mengakhirinya. Kemudian yang terjadi hanyalah sekedar pembagian tugas. Jadi, apakah pernikahan benar-benar diperlukan untuk mengukuhkan cinta?
Hening Wikan merupakan seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Mencapai kesadaran tertinggi tiap dini hari. Dapat ditemukan dengan mudah di sekre Dema FISIPOL, angkringan, atau @heningwikan.
Comments