Women Lead Pendidikan Seks
July 15, 2020

Persoalan Memotret Orang Sakit atau Berduka Tanpa Izin

Memotret orang yang sedang berduka atau terkulai sakit tanpa izin, wajar atau bermasalah?

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Lifestyle
Working Mom Worker Woman Sademotioncry Thumbnail, Magdalene
Share:

Belum lama ini, salah seorang teman saya, “Vani”, dibuat kesal oleh ulah salah satu sepupunya. Si sepupu datang menjenguk ibu Vani yang sudah sebulan terbaring di tempat tidur karena stroke. Saat itu hanya ada seorang perawat dan keponakan Vani di rumah. Ketika berada di kamar sang Ibu, sepupu Vani mengambil gambar perempuan yang tengah tergeletak sakit tersebut tanpa meminta izin yang bersangkutan atau keluarganya. Tidak hanya itu, sepupu Vani juga memublikasikan foto tersebut dan menge-tag ibu Vani di media sosial.

“Yang bikin aku kesal, orang-orang yang sebenarnya sudah tahu mamaku sakit jadi makin iba melihat foto mamaku itu. Mereka kan enggak tahu bahwa mamaku lagi berjuang untuk pulih. Dia ikut terapi terus, tetapi difoto seperti itu kan kelihatannya tidak berdaya. Padahal, mamaku itu dikenal sebagai orang yang sangat aktif. Aku gak mau orang mengenang dia hanya sebagai seorang pasien stroke,” kata Vani.

Baca juga: Bebas di Media Sosial Meski Dipantau Keluarga, Mungkinkah?

Foto yang diambil sepupunya tersebut mengundang banyak likes dan komen. Dari situ, Vani merasa bahwa sepupunya mendapat gratifikasi dari likes yang muncul di tengah kondisi memprihatinkan ibunya.

Tidak hanya Vani yang kesal mendapati kejadian tersebut rupanya. Keponakan, kakak, serta banyak kawannya yang lain turut mengekspresikan ketidaksukaan saat Vani menyinggung hal itu di media sosial. Banyak di antara mereka yang juga terganggu ketika melihat foto orang sakit atau jenazah berseliweran di media sosial. Selain kepantasan dan etika, mereka juga menggarisbawahi persoalan respek terhadap orang yang difoto dan dipublikasikan dalam kasus seperti yang Vani alami.

Dalam sebuah artikel The Spruce, pakar etiket dari Amerika Debby Mayne menulis bahwa banyak orang tak setuju dengan mengambil gambar di pemakaman karena dianggap tidak menghormati dan menyerang privasi. Menurutnya, pikiran untuk mengunggah gambar jenazah di peti ke media sosial adalah hal mengerikan yang tidak semestinya terjadi.

Selain dianggap mengganggu, kehadiran pelawat yang memotret sana-sini tanpa izin keluarga yang sedang berkabung, lalu menyebarkan foto-foto di pemakaman tersebut, bisa menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Bisa jadi sebagian orang yang masih berduka menjadi lebih terluka ketika mendapati foto keluarganya yang meninggal diunggah di media sosial.

Privasi memang termasuk hal yang sering kali disepelekan di masyarakat kita. Jarangnya kita mendapat sosialisasi mengenai privasi, mulai dari level keluarga sampai masyarakat luas, membuat kita terbiasa membiarkan orang melanggar batasan privasi kita.

Baca juga: Jangan Berbasa-basi dengan 6 Pertanyaan Ini

Ketika seorang anak selalu dituntut orang tuanya untuk selalu mengatakan hal-hal yang terjadi dalam hidupnya, dengan embel-embel “saya orang tuamu dan saya berhak tahu apa pun soal kamu”, ia akan belajar bahwa privasi adalah bualan yang tidak boleh dipertahankan seseorang. Lantas begitu dewasa ia mengamati teman-temannya rajin mengulik dan mengumbar informasi pribadi orang lain, termasuk soal foto, tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, ia akan makin yakin bahwa itu merupakan kewajaran.

Sering kali, lantaran merasa sudah berkawan dekat atau anggota keluarga sendiri, etika untuk tidak memotret orang berkabung atau sakit tanpa izin diabaikan, sementara di sisi yang dipotret juga tidak memperkarakan. Atau jangan-jangan, memang etika semacam itu tidak pernah dianggap eksis di negeri ini?

Dalam beberapa konteks, misalnya upacara adat, privasi lebih dikesampingkan. Sebagai contoh, dari seorang kawan lain, saya mengetahui bahwa pemakaman dalam tradisi Batak merupakan perayaan yang meriah karena berkaitan dengan kehormatan mendiang. Lazim dalam keluarganya untuk bernyanyi, menari tor-tor, mengundang grup musik gondang Batak, serta memotong sapi dan menghidangkan berbagai makanan kepada para pelawat ketika ada di antara mereka yang meninggal. Dalam situasi macam itu, memotret keluarga yang ditinggalkan atau jenazah dianggap sebagai suatu kewajaran.

Kendati terus menjadi kebiasaan atau tradisi, bukan berarti hal ini tak perlu direm. Persetujuan orang yang kita potret atau keluarganya juga perlu kita perhatikan sebelum bertindak. Di samping itu, kita perlu tanyakan lagi, seberapa penting kita memotret orang yang sedang sakit atau sudah meninggal dan menyebarluaskannya. Bukankah kita juga tidak rugi bila sekadar datang menunjukkan simpati kepada yang berduka atau sedang sakit?

Mungkin di negara lain, orang-orang sudah biasa marah-marah kalau difoto dan dipublikasikan tanpa izin, bahkan bisa menuntut karena literasi mereka tentang privasi dan hal pantas atau tidak pantas dibagikan lebih tinggi. Tapi di sini, jangankan menuntut, marah-marah kalau dipotret tanpa izin saja bisa dianggap aneh dan lebay.

Ada baiknya bila kita membiasakan diri menanyakan apakah sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan. Dalam beberapa konteks, mungkin saja kita malah ditertawakan atau dianggap konyol masih bertanya seperti itu. Tapi bukankah ini lebih baik daripada bertindak sesuatu dengan asumsi sendiri dan malah menyinggung pihak lain?

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop