Tia adalah anak perempuan yang lahir dan tumbuh dalam keluarga besar pemegang erat ideologi patriarki. Tia memiliki ayah yang sedari kecil telah dididik menjadi sosok yang sangat dominan dengan nilai-nilai maskulin: Lelaki jadi kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran yang diampu oleh sang ayah berakibat pada dirinya yang tidak pernah terlibat langsung dalam mengasuh, merawat, dan mendidik anak-anak. Ayah Tia bahkan enggan mengerjakan atau setidaknya membantu pekerjaan domestik, dan melimpahkan semuanya pada istri. Keenganan Ayah Tia ikut terlibat dalam ranah domestik nyatanya merupakan manifestasi didikan Nenek Tia yang selalu membebaskan anak laki-lakinya dari pekerjaan domestik. “Merawat, mendidik, dan melakukan pekerjaan rumah adalah tugas perempuan, tugas ibu,” begitulah ungkap Nenek Tia.
Tidak mengherankan bila sang Ayah menjadi sosok yang begitu asing bagi Tia, yang selalu absen dalam tumbuh kembang Tia dan adik laki-lakinya. Tidak terlintas satu memori pun di kepala Tia mengenai sosok sang ayah sewaktu kecil karena begitu minim peran ayahnya dalam mengurus urusan domestik keluarga. Layaknya para ibu pekerja pada umumnya, Ibu Tia secara terpaksa memikul beban ganda. Dirinya dituntut untuk melaksanakan pekerjaan domestik, dan pada saat bersamaan, ia juga harus bekerja.
Apa yang dialami Tia mengacu pada pola pembagian peran gender kaku perempuan dan laki-laki yang dilihat oleh feminis Amerika Dorothy Dinnersteins sebagai akibat langsung dari adanya pengaturan gender destruktif di dalam tubuh masyarakat. Dalam pengaturan gender seperti ini, ada kebutuhan laki-laki untuk menguasai perempuan dan sebuah perjanjian tidak tertulis antara laki-laki dan perempuan bahwa laki-laki pergi ke ranah publik sedangkan perempuan tinggal di ranah privat.
Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan
Ketika urusan domestik berantakan, terjadi pelimpahan kesalahan sepihak pada perempuan. Menurut Dinnersteins, orang-orang sering menyalahkan ibu atau perempuan atas keterbatasan yang mereka miliki. Hal ini didorong oleh anggapan bahwa ibu atau perempuan adalah sosok yang ‘berkuasa penuh’ dalam ranah domestiknya dan mengayomi anak-anaknya sedari kecil. Ibu menjadi sosok yang diharapkan selalu ada ketika kita sakit, merawat kita dengan penuh kasih dengan mengorbankan waktu tidurnya, dan ada di setiap momen tumbuh kembang kita.
Melalui pengaturan gender destruktif ini, perempuan dibentuk sebagai pihak tunggal yang bertanggung jawab penuh atas anak dan ranah domestiknya. Perempuan pun kemudian secara tidak sadar menginternalisasi sebuah peran yang dilekatkan masyarakat padanya dan mengembangkan sebuah perasaan bersalah jika dirinya tidak bisa menjalankan perannya seorang ibu dan istri yang baik dalam pandangan patriarki. Tidak heran banyak ibu yang menganggap dirinya gagal jika dirinya tidak bisa menjalankan peran domestiknya dengan baik.\
Baca juga:Tips Kebebasan Finansial untuk Orang Tua Tunggal
Lalu, apa solusi dari persoalan ini? Bentuk dari pelimpahan tanggung jawab sepihak kepada perempuan lewat pengaturan gender destruktif sebenarnya bisa diatasi melalui pengasuhan ganda. Pengasuhan ganda di sini berarti kedua orang tua berperan aktif dalam merawat dan mendidik anak-anaknya, juga bahu membahu menjalankan tugas domestik. Keduanya patut terlibat secara aktif dalam membangun keluarga mereka dengan membagi tugas secara seimbang dan adil tanpa harus melekatkan peran-peran gender kaku yang telah ditetapkan oleh masyarakat.
Istilah ‘parenting´pun pada akhirnya dapat disematkan dengan tepat dalam pola pengasuhan ganda karena adanya keterlibatan aktif kedua orangtua dalam pengasuhan anak dan juga dalam melaksanakan tugas domestik di dalam keluarga mereka sendiri.
Menurut Dinnersteins, pengasuhan ganda akan memungkinkan kita untuk berhenti memproyeksikan moralitas kepada satu orang tua saja, dalam hal ini adalah perempuan. Tidak akan ada lagi kata-kata seperti diungkapkan oleh eyang Tia terkait peran perempuan. Tidak ada lagi keharusan bagi laki-laki untuk hanya berperan sebatas di tempat kerja sebagai pencari nafkah utama dan terlibat seminimal mungkin dalam ranah domestik. Karena kedua orang tua akan terlibat secara aktif dalam proses pengasuhan sejak bayi, tidak akan ada lagi tindakan menyalahkan perempuan dalam proses perkembangan anak.
Baca juga: Peran Laki-laki dalam Isu Kesetaraan Gender
Dinnersteins juga berpendapat bahwa pengasuhan ganda akan membantu kita mengakui eksistensi individu secara penuh sebagai agen otonom, yang memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Kita tidak lagi perlu pengakuan dari orang lain bahwa tindakan kita adalah hal yang patut dan perlu dilakukan. Kita tidak perlu lagi memusingkan pendapat dan nyinyiran orang lain soal pola pengasuhan anak-anak kita selama pola asuh yang kita jalankan itu berdampak baik bagi mereka.
Pengasuhan ganda pada akhirnya akan membantu menghapuskan ketimpangan peran gender yang ada di dalam masyarakat. Tiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, akan tumbuh dengan sebuah pandangan bahwa setiap manusia dapat dan mesti menghabiskan waktunya di ranah domestik maupun publik dengan seimbang dan berkesinambungan, tanpa harus kekal diikat dalam peran gender kaku yang ada di dalam masyarakat.
Comments