Sejak di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), “Indira” menjalin relasi romantis dengan “Andy”, laki-laki yang dikenalnya di organisasi. Meskipun usia hubungannya menginjak enam tahun, bukan berarti perjalanan mulus tanpa terucap kata “putus”.
Sampai saat ini, perbedaan agama jadi konflik utama dalam relasi mereka. Awalnya, perempuan 23 tahun itu merasa bersalah dan mulai mempertimbangkan, untuk apa pacaran kalau akhirnya enggak bisa bersama.
“Kayak buang-buang waktu”, katanya pada Magdalene, (13/4).
Seperti berdiri di atas piringan hitam, hubungan Indira dan Andy berputar di lingkaran yang sama. Entah sudah berapa kali mereka putus nyambung karena alasan agama. Setiap merasa tidak ada jalan keluar, mereka memutuskan pisah, kemudian balikan lagi karena sama-sama tidak menemukan sosok lain yang tepat untuk menggantikan.
Baca Juga: Jeda Saat Pacaran: Bikin Mesra atau Berujung Bubar?
Dalam penelitian bertajuk On-again/ off-again dating relationships: How are they different from other dating relationships? (2009), akademisi University of California, Amerika Serikat (AS), René Dailey, dkk. mengatakan, terdapat pola dalam hubungan putus nyambung seperti yang dijalankan Indira.
“Siklusnya itu baikan, putus lagi, baikan lagi. Akhirnya saling berputar di lingkaran yang sama, mengejar satu sama lain,” jelasnya.
Pun penyebabnya beragam. Contoh, belum mengetahui keinginan masing-masing, masalah komunikasi, perbedaan tujuan—salah satunya ingin serius sedangkan yang lain ingin hubungan kasual, tantangan hidup, ketidakcocokan, dan punya masa lalu panjang.
Alhasil kedua pihak “berteman akrab” dengan stres, perasaan terluka, passion, dan kehilangan. Bahkan Indira yang awalnya sering memikirkan relasinya, kini memilih enggak ambil pusing.
“Jadinya prinsip kita sekarang jalanin dulu aja. Nantinya bakal bareng atau enggak, dipikirin nanti aja,” jelasnya.
Putus Nyambung dalam Berpacaran Menimbulkan Perilaku Tidak Sehat
Meskipun putus nyambung sering dialami, Indira mengaku hubungannya terbilang sehat, karena konflik terbesar hanya perkara agama yang sifatnya eksternal. Sementara tidak ada masalah yang muncul akibat kepribadian satu sama lain.
Menurut Dr. Martha Tara Lee, seksolog klinis di Eros Coaching, Singapura itu dikarenakan, pasangan telah mencari tahu penyebab mereka putus dan memperbaikinya, agar relasinya lebih kuat dan sehat.
“Mereka sudah mengalami rasanya bersama satu sama lain, maupun sendiri tanpa pasangannya. Jadi lebih realistis dalam menjalani dan menaruh ekspektasi dalam hubungan,” terangnya, dilansir Bustle.
Baca Juga: Aku Berhasil Memutus Rantai Kekerasan dalam Pacaran
Namun, tidak semua on-and-off relationship seperti dijalankan Indira dan Andy. Hubungan ini seperti candu, membuat satu sama lain tidak dapat melepaskan diri dari hubungan yang menyakitkan. Bahkan sebagian pasangan terjebak dalam relasi tidak sehat.
Pasalnya, sebagian pasangan tidak dapat menemukan permasalahan utama yang perlu diselesaikan. Atau tidak mampu mengatur emosinya, enggan berubah atau berkompromi.
Ujung-ujungnya, relasinya memiliki lebih banyak konflik, dibandingkan hubungan yang stabil, seperti disebutkan dalam Relationship Churning, Physical Violence, and Verbal Abuse in Young Adult Relationships (2013). Otomatis kualitas hubungannya menurun, dan mengurangi kepuasan, hasrat, maupun komitmen. Pun meningkatkan tekanan psikologis terhadap individu.
Menurut penulis dan akademisi di New York University, Sarah Halpern-Meekin, dkk., salah satu faktornya adalah tidak mampu berkomunikasi.
Akibatnya, pasangan tidak bersikap kooperatif, sabar, atau berdiskusi dengan sopan dalam mempertahankan hubungan. Malah cenderung melakukan tindakan kekerasan, karena tidak dapat mengelola dan mencegah timbulnya konflik.
Pengalaman itu pernah dirasakan “Lily”. Selama balikan dengan “Dimas” dalam kurun setahun, ia justru dikekang dan berusaha memenuhi tuntutan laki-laki, yang dikenalnya dari seorang teman.
“Gue dituntut selalu ngabarin dia. Harus selalu aktif, cari banyak temen, dan laporan terus kalau mau pergi, ke mana dan sama siapa,” ceritanya. Ia mengatakan, awalnya mereka putus karena Dimas berselingkuh.
Namun, tiga bulan kemudian ia menerima ajakan Dimas untuk balikan, akibat belum bisa move on sekaligus penasaran, apa kesalahannya sampai jadi korban perselingkuhan.
Kenyataannya, relasi itu semakin toksik, dan bertahan karena Lily selalu mengalah. Perempuan yang bekerja sebagai entrepreneur itu berusaha tidak melakukan kesalahan supaya pacarnya enggak marah, dan enggan mempermasalahkan hal-hal yang menjadi sumber konflik, agar hubungannya baik-baik saja.
“Padahal gue sendiri udah capek banget, ngerasa enggak bebas, dan enggak jadi diri sendiri,” ujarnya. “Ujung-ujungnya dia selingkuh lagi, karena kita sempat long distance relationship. Jadi gue merasa cukup sih, ternyata salahnya bukan di gue.”
Kapan Hubungan Sebaiknya Diakhiri?
Selain masih sayang dan nggak bisa move on, ada beberapa faktor lain yang mendorong seseorang balikan dengan mantan pacarnya. Misalnya percaya relasi akan membaik, sikap pasangan bisa berubah, takut terjebak dalam singlehood, dorongan dari keluarga, hingga enggan menjajaki hubungan dari awal dengan orang baru.
Namun dalam relationship churning—istilah psikologis yang digunakan untuk hubungan putus nyambung, sering kali permasalahan sebelumnya menjadi unfinished business, yang membebani atau menyebabkan berakhirnya hubungan. Alhasil, tidak ada perubahan dalam relasi.
Melansir GoodTheraphy, hal tersebut merupakan salah satu yang menandakan hubungan perlu diakhiri, karena pasangan terjebak dalam lingkaran yang sama.
“Angel”, pekerja swasta asal Bekasi mengaku itu terjadi padanya. Ketika menjalin hubungan tanpa status dengan “Aldo”, ia menghadapi permasalahan yang sama. Mulai dari laki-laki itu yang pemarah, kasar secara verbal, sampai mendekati banyak perempuan lain.
Baca Juga: Apa 'Emotional Blackmail' dan bagaimana cara mengatasinya?
Selama hampir tiga tahun “putus nyambung”, trust issues dan kecemasannya meningkat. Bahkan, Angel hafal kapan emosi Aldo akan meluap, menandakan keduanya akan berkelahi. Hingga akhirnya ia memutuskan berpisah, ketika Aldo mempublikasikan hubungannya dengan perempuan lain.
“Sebenernya serba salah dan mau nggak mau harus dilepas, kan gue juga bukan ‘pacar resminya’ gitu,” katanya.
Sering kali, red flag—tanda bahaya dalam relasi, sebenarnya sudah ada sejak awal berpacaran. Sebagaimana dialami Lily yang mantannya berselingkuh, dan Angel dengan laki-laki yang enggak mau berkomitmen.
Tapi, tanda-tanda itu kerap dikesampingkan karena meyakini hubungannya akan berhasil, seandainya diberikan kesempatan lagi.
Selain itu, hubungan sebaiknya diakhiri apabila terjadi kekerasan. Artinya, terdapat ketimpangan relasi kuasa yang memberikan power lebih besar, pada salah satu pihak. Jika hubungan dilanjutkan, justru memperkuat trauma dan berpengaruh pada kesehatan fisik maupun mental.
Begitu juga dengan permasalahan tidak didiskusikan, ataupun balikan karena merasa cemburu dan kesepian. Pasalnya, ini menunjukkan tidak adanya komitmen untuk melakukan perubahan agar hubungan berkelanjutan. Padahal, relasi yang dilanjutkan tanpa keinginan memperbaiki cara komunikasi dan meningkatkan kualitas hubungan, akan membuat perpisahan lebih menyakitkan.
Walaupun kenyataannya enggak mudah, lebih baik move on dan tinggalkan pasangan, seandainya relasinya terlalu karatan dan enggak ada tujuan untuk rekonsiliasi. Seperti diyakini Lily, “Gue udah disiapin jodoh yang lebih baik.”
Comments