Pada ajang Met Gala yang diselenggarakan 13 September lalu, Lourdes Leon, putri penyanyi Madonna menarik perhatian publik dengan penampilannya yang tidak biasa. Dilansir Yahoo!Life, mengenakan gaun dari Moschino, Leon berpose dengan mengangkat sebelah tangannya dan dengan bangga memperlihatkan rambut ketiaknya di depan publik.
Aksi Leon ini bukanlah yang pertama menjadi sorotan terkait menumbuhkan rambut di area yang menurut banyak orang tidak elok tersebut. Pada 2014, sang ibu juga pernah berpose serupa dan membagikan fotonya itu lewat akun Instagramnya.
“Long hair…. Don’t Care!!!!! #artforfreedom #rebelheart #revolutionoflove” demikian tulis pelantun “Frozen” tersebut.
Kepada Harper Bazaars pada 2011, Madonna berkata ia tumbuh di keluarga Katolik Italia yang cukup konservatif. Sementara, para saudara laki-lakinya boleh melakukan apa yang mereka ingini, ia tidak. Ada berbagai aturan tentang bagaimana semestinya perempuan berlaku yang ditanamkan keluarga Madonna kepadanya sejak kecil. Beranjak remaja, ia mulai menantang pemikiran itu.
Baca juga: Bagaimana Standar Kecantikan Menghancurkan Perempuan?
“Di SMA, saya melihat cewek-cewek populer bertingkah tertentu supaya dapat cowok. Saya tahu saya enggak akan cocok seperti itu. Jadi, saya memutuskan untuk melakukan yang sebaliknya. Saya enggak mau memakai riasan, menata rambut. Saya menolak bercukur. Saya menumbuhkan rambut di ketiak,” kata Madonna.
Tentunya reaksi Madonna ini mendatangkan reaksi buruk dari orang sekitar. Cowok-cowok di sekolahnya pun sempat menjulukinya “hairy monster” lantaran pilihannya itu. Namun, pemeran Evita ini tidak peduli.
“Cowok-cowok ‘straight’ enggak melihat saya menarik. Saya pikir mereka takut karena saya berbeda. Saya selalu bertanya, ‘Kenapa saya mesti berbuat begitu, tampil begini, memakai baju seperti ini? Kenapa saya haru berlaku demikian?’,” lanjutnya.
Standar Kecantikan yang Berubah-ubah
Awalnya, rambut-rambut yang tumbuh di tubuh perempuan tidak dianggap sebagai suatu masalah atau hal yang menjijikkan. Malah, dalam situs Healthline dijelaskan bahwa keberadaan rambut-rambut ini sejatinya bermanfaat bagi manusia.
Rambut ketiak misalnya, “menangkap” bau yang mengandung feromon--senyawa kimia yang berperan dalam ketertarikan seksual--yang diproduksi di ketiak. Selain itu, hal ini juga memperkecil gesekan antarkulit ketika kita beraktivitas. Sementara, rambut genital (pubic hair), selain berfungsi mengurangi gesekan selama aktivitas seks, hal ini juga berfungsi untuk mencegah transmisi bakteri. Memang ada yang menganggap menumbuhkan rambut genital itu tidak higienis. Namun, seperti halnya rambut di bagian tubuh lain, rambut genital hanya perlu dicuci rutin saja untuk membersihkannya dari kuman dan bau menyengat.
Kendati memiliki fungsi positif, sejak lama budaya telah banyak mengambil andil dalam persepsi kita terhadap rambut-rambut ini. Dikutip dari CR Fashion Book, pada era Mesir Kuno, rambut genitalia dianggap sebagai simbol ketidakberadaban dan kotor. Ketika Cleopatra berkuasa, praktik menghilangkan rambut di bagian tubuh mengindikasikan kelas sosial yang tinggi, sementara mereka yang punya rambut gondrong pada bagian-bagian tubuhnya dianggap setara budak. Eksistensi rambut sebagai penanda kelas juga terlihat dalam masyarakat Yunani Kuno dan kemudian berlanjut ke Kerajaan Romawi.
Dilansir The Cut, tradisi agama pun berpengaruh terhadap praktik penghilangan rambut. Dalam Islam, ada tradisi yang untuk mencabut rambut ketiak dan mencukur rambut genitalia yang mesti diikuti Muslim yang taat. Dalam kitab Imamat, ada mandat untuk mengenyahkan semua rambut tubuh dalam pengobatan kusta.
Walau demikian, pada Zaman Pertengahan, memanjangkan rambut tubuh dianggap wajar untuk perempuan, kecuali di bagian wajah. Pada 1700-an muncul pisau cukur pertama untuk laki-laki, dan sebagian perempuan juga memakainya walau saat itu belum ada standar cantik yang harus bebas rambut kecuali di kepala.
Baru pada 1915-an, dinyatakan dalam Allure, muncul tren pakaian buntung dan banyak orang menginginkan tampil bersih dari rambut ketiak. Pada periode sama, muncul pisau cukur untuk perempuan yang diperkenalkan Gillette. Sejak itu promosi gagasan perempuan cantik adalah yang tak berambut ketiak di majalah dan iklan-iklan makin gencar sampai berpuluh-puluh tahun kemudian, bahkan sampai sekarang.
Tak hanya itu, ide cantik itu bebas rambut kaki juga digencarkan tak lama dari periode tersebut, dan sejak 1950-an hal itu telah menjadi “norma”. Hal ini juga didorong oleh Perang Dunia II yang menyebabkan keterbatasan produksi nilon, sehingga para perempuan Barat setop memakai stoking dan mau tidak mau membersihkan rambut kakinya agar tampak mulus.
Seiring perkembangan zaman, metode menghilangkan rambut tubuh pun bertambah. Tidak hanya menggunakan pinset atau pisau cukur, kini banyak layanan waxing, laser, dan berbagai metode lainnya untuk membuat “perempuan cantik”. Bahkan cover album Amorica dari The Black Crowes sempat menuai kontroversi dan dilarang beredar oleh Walmart lantaran memperlihatkan bagian selangkangan perempuan yang tertutup celana dalam, tetapi di baliknya menyembul rambut genital.
Simbol Perlawanan
Sejak kemunculannya pada abad ke-19, feminisme telah menentang gagasan-gagasan yang mengekang perempuan, termasuk pada abad 20-an yang terkait dengan konsep kecantikan. Dilansir The Guardian, pada tahun 1968, sekelompok perempuan yang memprotes penyelenggaraan Miss America melepaskan bra dan sepatu haknya, dan sebagian feminis membuang pisau cukur dan pinsetnya sebagai simbol perlawanan terhadap standar kecantikan.
Sementara dalam Feminism In India, Joysheel Shrivastava menulis, rambut tubuh menjadi isu feminis seiring dengan munculnya perempuan-perempuan di materi porno yang menghilangkan rambut genitalnya. Ini dianggap sebagai upaya infantilisasi para model tersebut dan melanggengkan ide perempuan itu “rapuh” dan “lembut”.
Baca juga: Menentang Standar Kecantikan Agar Tubuh Tidak Terjajah
Sejalan dengan itu, disinggung dalam The Cut, dalam penelitiannya yang dimuat di Psychology of Women Quarterly (2013), profesor dari Arizona State University Breanne Fahs menyatakan, dalam pandangan bahwa rambut tubuh itu menjijikkan terdapat seksisme terhadap para perempuan yang melanggar praktik “memelihara tubuh perempuan”. Tindakan mencukur terus menerus dengan kata lain disimpulkan sebagai contoh bagaimana perempuan menginternalisasi gagasan ideal patriarkal tentang feminitas.
Mengutip tulisan Niloufar Haidari di I-d Vice, Shrivastava juga menyatakan bahwa tekanan menghilangkan rambut tubuh juga merupakan isu rasial. Di Iran misalnya, menjadi hairless menandakan seseorang terawat dan lebih modern atau kebarat-baratan.
Pada era 2000-an, semakin banyak perempuan yang menyokong perlawanan terhadap penghilangan rambut tubuh. Bahkan, sebagian orang membawanya ke level lebih jauh lagi dengan menumbuhkan rambut ketiak dan mewarnainya; ini diperlihatkan Lady Gaga misalnya pada Much Music Awards 2011. Beberapa pesohor selain Madonna dan anaknya pun sempat terlihat oke-oke saja tampil dengan rambut ketiak, misalnya Miley Cyrus dalam 6th Annual amfAR New York Inspiration Gala 2015, Julia Michaels dalam Grammy Awards 2021 dan dalam Instagramnya, Bella Thorne, Scout Willis, dan masih banyak lainnya.
Tak hanya pesohor Barat yang menggadang-gadang gagasan menerima tubuh termasuk rambut-rambut yang dinilai tak layak ada, aktivis perempuan di Cina pun melakukan kampanye serupa dengan membuat “Armpit Hair Competition” di Weibo. Dilansir Emirates 24/7, Xiao Meili mengadakan ajang ini dengan sejumlah hadiah termasuk kondom dan vibrator dalam rangka memprotes tekanan sosial bagi perempuan untuk mencukur rambut ketiak.
Sebagaimana pandangan tentang perempuan yang memakai kosmetik atau melakukan operasi plastik, sulit rasanya untuk menetapkan satu kebenaran saja terkait rambut-rambut di tubuh perempuan ini. Apakah serta merta orang yang mencukur habis rambut ketiak, genital, dan kakinya itu bukanlah seorang feminis? Apakah orang yang menumbuhkan rambut tubuhnya namun tetap mengusahakan #bodygoals bak gitar Spanyol adalah feminis? Apakah perempuan yang sama sekali mengabaikan standar kecantikan arus utama pasti feminis? Tentu terlalu simplistik untuk segera menyatakan ia feminis atau bukan dari tolok ukur-tolok ukur ini saja.
Pandangan my body my authority yang mencakup pilihan seseorang untuk mencukur atau tidak mencukur rambut tubuhnya terus bergesekan dengan pandangan yang menyebut mencukur rambut tubuh sama dengan tunduk pada patriarki. Ini seyogyanya dipandang sebagai penegasan kembali saja, dalam feminisme ada gagasan dan ekspresi yang berbeda-beda, sejak gelombang pertama sampai gelombang keempat, alih-alih dilihat sebagai bahan perdebatan karena tidak akan ada ujungnya.
Comments