Membaca buku hari ini bukan lagi cuma kegiatan culun si kutu buku. Perlahan, ia menjelma jadi tren terkini yang digandrungi banyak anak muda. Media sosial belakangan bahkan jadi tempat mereka membagikan target membaca dan menulis ulasan singkat ulasan singkat buku-buku yang dibaca.
Istilah seperti bookstagram, booktuber, booktwt kemudian lahir dan populer di generasi milenial dan generasi Z. Salah satunya, Gisel, penulis berusia 25 tahun yang mengikuti tren membaca buku dari melihat channel Youtube yang sering membagikan rekomendasi bacaan. Setelah menonton, Gisel jadi ikut-ikutan menargetkan jumlah buku yang ingin dibacanya selama setahun.
“Pas tahun 2020, aku nargetin 100 buku setahun. Target aku ini kepengaruh banget sama book community di youtube yang baca ratusan buku dalam setahun. Bahkan untuk tahun ini, semua gegara booktuber aku nargetin 200 buku,” katanya pada Magdalene.
Gisel nyatanya tidak sendiri. Hal yang sama juga terjadi pada Icha, freelancer yang kini berusia 29 tahun. Ia mengatakan tren ini dan fitur target membaca di aplikasi goodreads membuat dirinya masuk dalam “perlombaan” ini.
“Aku udah install goodreads dari SMA tapi bisa dibilang baru beberapa tahun belakangan ini aktif pake. Aku tuh ngeliat orang-orang kok bisa ya baca buku sebulan 20 sampai 30 buku? Sedangkan aku paling sebulan cuma 1-2 buku. Panik gitu rasanya, pengin ngejar. ‘Gue gak boleh kalah nih!’, gitu mikirnya. Makanya aku pasang target baca buku yang kurang lebih sama kaya orang-orang,” curhatnya.
Baca Juga: Setop ‘Book Shaming’, Berikut 5 Manfaat Baca Novel Fiktif
Rasa Panik dan Bersalah yang Timbul dari Tren Membaca
Mungkin untuk segelintir orang, menetapkan target membaca buku dan membuat ulasannya di media sosial membantu mereka menumbuhkan kebiasaan membaca di tengah kesibukan masing-masing. Namun, tidak sedikit pula yang justru mendapat dampak buruknya, semisal, rasa panik dan bersalah yang muncul karena kesulitan mengejar target membaca yang dibikin sendiri.
Cunong, mahasiswa 23 tahun, menceritakan bagaimana target membaca buku membuat ia serasa memiliki sebuah tanggung jawab besar tak kasat mata—sesuatu yang tidak ia duga-duga hadir saat membuat target bacaannya. Jika ia tidak bisa memenuhi tanggung jawab ini, Cunong akan diliputi rasa bersalah dan berujung tidak jadi membaca buku yang sudah masuk daftar baca.
“Rasa bersalah itu selalu ada. Sepertinya aku belum bisa berdamai meskipun berkali-kali bilang ‘Enggak apa-apa kalau enggak mencapai target' ke diri sendiri. Jadinya tuh biar enggak diliputi rasa bersalah aku jadi suka cheating. Cheating-nya tuh kayak aku harusnya baca buku yang halamannya 300 ke atas, aku jadinya baca buku-buku tipis, buku bergambar, atau buku puisi biar targetnya cepat tercapai,” curhatnya.
Icha juga punya pengalaman serupa Cunong. Demi menghapus perasaan bersalah karena tidak memenuhi target membacanya, Icha terpaksa sering menyesuaikan buku bacaannya. Namun, itu bukan dampak terburuk. Buat Icha, perasaan panic dan merasa diburu-buru menyelesaikan buku bacaan adalah yang paling celaka.
Ternyata dampaknya fatal. Membaca dengan keadaan panik dan terburu-buru membuat Icha membaca lebih cepat dari biasanya dan cenderung asal-asalan.
“Baca buku lewat aja gitu karena berasa ikut lomba. ‘Yang penting target tercapai!’ gitu mikirnya, jadi ya enggak heran aku bacanya juga asal-asalan. Baca sih baca tapi enggak tau yang aku baca isinya apa,” tambah Icha.
Dampak buruk ini juga dirasakan oleh Gisel selama mengikuti tren membaca buku. Tidak jarang ia bahkan dilanda stres karena target yang ia ciptakan sendiri. Buku yang harusnya menjadi teman dan dinikmati tiap lembarannya, hanya jadi kumpulan kertas tanpa makna.
“Parah banget sih target buku itu ngebuat gue jadi buru-buru ngebaca sesuatu. Gue jadi bikin mental notes ke diri sendiri setidaknya kek seminggu satu buku gitu terus kalo enggak kekejar jadi stres. Selain itu ya bacaan gue ada beberapa yang lewat aja. Kaya Corat-Coret di Toiletnya Eka Kurniawan, bukunya sebenernya bagus tapi gue baca just for the sake of ngelarin target,” kata Gisel.
Baca Juga: Menjajal Langkah Kreatif untuk Tingkatkan Literasi Siswa
Memaksimalkan Kebiasaan Membaca
Tren yang tadinya ingin memacu dahaga membaca kita ternyata berdampak buruk bila dilakukan dengan memaksakan diri. Kesenangan yang harusnya bisa dirasakan saat membaca terkubur dengan beban target yang malah bikin panik. Padahal, membaca bukanlah perlombaan. Membaca bukan tentang seberapa cepat kita melahap sebuah buku, tapi tentang bagaimana kita menikmati dan mengolah sari dari bahan bacaan itu sebagai bahan refleksi.
Berikut beberapa tips yang mungkin bisa memaksimalkan kebiasaan membaca tanpa terlalu menjadikannya beban.
Wes Kao, co-founder dari Maven dalam cuitannya pada 20 Maret lalu, mengatakan salah satu yang dapat kita lakukan dalam mengkaji ulang kebutuhan membaca kita adalah dengan memaksimalkan kebiasaan membaca.
Baca Juga: #NoBookShaming: 4 Alasan Novel Teenlit Tidak Perlu Diolok-olok
1. Pahami Kenapa Kamu Membaca Sesuatu
Jumlah buku yang kamu baca bukanlah tujuan akhir dari membaca. Salah satu yang paling penting dan pertama untuk dicari tahu adalah apa kebutuhanmu dan kenapa harus membaca buku itu? Ingin meningkatkan skill? Cari hiburan? Atau ingin memperluas wawasan?
Hal inilah yang berusaha saya coba terapkan mulai tahun ini. Dengan mengetahui tujuan dari bahan bacaan, saya sekarang lebih terbantu untuk fokus menyerap setiap kata dalam buku yang baca dan bisa lebih mudah mengambil intisarinya. Tidak lupa, lebih santai. Dalam prosesnya, saya pun jadi lebih mengaplikasikan saran yang terdapat dalam buku bacaanku dengan baik dibandingkan dengan membacanya tanpa tujuan yang jelas.
2. Baca Ulang Buku-Buku Bagus
Orang-orang yang sibuk mengejar target membaca buku terkadang lupa, buku itu ada untuk kita baca ulang bukan untuk dibaca sekali saja dan menjadi pajangan. Setiap kamu membaca ulang suatu buku, kamu akan mendapatkan banyak hal dan pelajaran berbeda. Mengapa? Karena walaupun bukunya tetap sama, tetapi kamu adalah manusia yang terus berubah dan berkembang.
Hal inilah yang dilakukan Icha. Ia kerap kali membaca ulang buku yang ia punya, mulai dari novel hingga buku non-fiksi. Dengan membaca ulang ia menjadi lebih banyak memahami nuansa dan sudut pandang yang berbeda dari sebelumnya.
“Seru deh baca ulang lagi, revisit lagi. Karena enggak hanya aku akan mendapatkan nuansa yang berbeda dari pertama kali aku membaca buku, tapi biasanya bisa mendapatkan atau mempelajari hal-hal atau sudut pandang baru yang sebelumnya tidak aku sadari sebelumnya. Pas baca ulang Filosofi Teras, Animal Farm, Little Prince inilah yang aku rasakan.”
- Membaca Secara Aktif, Bukan Pasif
Membaca pasif adalah membalik halaman tanpa memikirkan apa yang kamu konsumsi. Padahal, yang harus kamu lakukan adalah membaca aktif. Menetapkan target bikin kita membaca terburu-buru, dan ini yang harus dihindari, kata Gisel.
“It’s not about how much we read, it’s about the quality and the adventures and the feeling we got from reading it. Seperti buku karya Han Kang itu banyak banget yang meaningful, jadi harus aku tandain dan kasih catatan. Dari situ kita bisa ambil pelajaran dan ngehubungin ide-ide baru yang ada dengan apa yang sudah kamu tau.”
- Nikmati Setiap Lembarnya
Salah satu hal penting yang sering terlupakan ketika kita menetapkan target membaca adalah menikmati bacaan kita. Gisel yang sekarang menyadari kebiasaan membaca lamanya tidak baik dalam hal ini memberikan saran.
“Sekarang sih aku udah bodoh amat dengan target bacaan, yang terpenting itu kita baca apa yang kita inginkan dan kita butuhkan aja. Dengan begini kita tidak perlu merasa bersalah kalau tidak sampai target. Baca dibawa santai aja,” begitu katanya.
Dengan membaca seperti ini nantinya kita tidak lagi akan memiliki hasrat untuk buru-buru menyelesaikan sebuah buku. Kebalikannya, kita bisa menikmati setiap lembar dari buku yang dibaca dan berenang di lautan imajinasi.
Comments