Aku lahir dan besar di Banda Aceh sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Berbeda dengan abang dan dua kakak, aku meminta untuk disekolahkan di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN). Permintaan ini tidak saja mengharuskan orang tua mempekerjakan supir untuk antar-jemput karena jarak yang jauh, tetapi aku juga harus belajar dengan dua kurikulum sekaligus.
Selain mata pelajaran yang diajarkan di Sekolah Dasar Negeri, seperti Matematika, Bahasa Indonesia, hingga Ilmu Pengetahuan Sosial, aku pun belajar mata pelajaran agama, seperti Alquran, Hadits, Fikih, dan Bahasa Arab. Buntutnya, ujian catur wulanku jadi lebih panjang ketimbang anak-anak lain. Aku juga harus belajar lebih keras lagi.
Setelah lulus MIN, sebenarnya aku ingin melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama. Namun, Mama ingin aku sekolah di Madrasah Tsanawiah Negeri (MTsN). Menurutnya, aku cukup berprestasi di sekolah agama, sehingga sayang jika di tahap lanjut cuma belajar pelajaran umum.
Singkat cerita, di pertengahan kelas 2 MTsN, kerisauan akan sekolah agama ini mulai tumbuh. Saat itu, mahasiswa dari Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry (sekarang sudah menjadi UIN Ar-Raniry) tengah Praktik Kerja Lapangan (PKL) di sekolahku, dan mengajar Bahasa Arab. Saat perkenalan, ia memutuskan untuk memanggil 40 murid di daftar hadir. Beberapa kali ia berkomentar soal nama-nama yang dianggap tidak sesuai karena tidak berbahasa Arab.
Puncaknya adalah saat memanggil namaku. Setelah menyadari namaku tidak berbahasa Arab, ia bilang, namaku adalah nama neraka. Aku kesal bukan kepalang karena namaku mengandung unsur nama orang tuaku, Papa dan Mama. “Sejak kapan nama seseorang memiliki label neraka atau surga?”
Kerisauanku ini semakin berlipat-lipat saat guru PKL lain ceramah di kelas soal pentingnya menjaga hubungan laki-laki dan perempuan dalam batas-batas yang diatur agama. Karenanya, guru PKL tersebut mewajibkan semua siswa menuliskan alamat lengkap rumah masing-masing. Alasannya, ia akan berkunjungsewaktu-waktu untuk bertemu orang tua dan berdiskusi mengenai pergaulan murid. Aku merasa itu ide yang keterlaluan dan sangat invansif. Ia bukan petugas kesejahteraan seperti di Amerika Serikat, yang tugasnya berkunjung ke rumah.
Dua guru inilah yang membuatku tidak lagi bersemangat untuk belajar agama. Niatku melanjutkan ke sekolah umum makin bulat. Aku masuk ke SMUN 3 Banda Aceh. Celakanya, masa sekolahku berbarengan dengan turbulensi politik lokal akibat perseteruan dengan pemerintah pusat. Akibatnya, aku hanya bisa merasakan sekolah umum yang normal selama sembilan bulan sebelum disapu “gelombang Islamisasi”.
Seiring dengan pemberlakukan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Islamisasi melalui syariat mulai menarget tubuh-tubuh perempuan, termasuk berubahnya seragam sekolahku menjadi baju lengan panjang dan rok panjang, ditambah jilbab.
Selain itu, ada sekelompok vigilante yang melakukan sweeping di pasar dan tempat-tempat publik lainnya. Mereka mengincar perempuan-perempuan tidak berjilbab untuk digunting pakaian atau digunduli rambutnya. Perlahan-lahan, aku mulai merasakan tekanan dan ketidaknyamanan di Aceh.
Baca juga: Kenapa Mereka Sibuk Bicara Agama Saat Saya Cuma Mau Berduka?
Berjarak dengan Masjid dan Ceramah Agama
Pertengahan 2002, aku merantau ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional di kampus swasta. Sejak kepindahan ke Yogyakarta, aku mulai berjarak dari masjid dan ceramah-ceramah agama. Salah satu penyebabnya karena di kampus tersebut, gerakan Islamisasi kampus yang diusung oleh unit kerohanian Islam juga sedang marak-maraknya. Beberapa kali aku menjadi sasaran rekrutmen mereka. Aku selalu menolak.
Alasan lainnya yang menyebabkan aku berjarak dari masjid dan ceramah-ceramah agama di Yogyakarta lebih bersifat subjektif. Aku merasa tidak nyaman dengan perbedaan yang kasat mata, seperti bacaan imam yang berbeda langgamnya dengan di Banda Aceh. Aku kurang nyaman karena ketiadaan bacaan qunut di rakaat terakhir saat salat Witir sejak pertengahan hingga penghujung Ramadan.
Aku kembali ke Banda Aceh setelah lulus kuliah dan benar-benar berjarak dari seluruh aktivitas keagamaan kolektif. Seluruh salat, bahkan salat Tarawih dan Witir, kulakukan sendiri. Aku tidak sanggup mendengarkan ceramah-ceramah misoginis yang menghiasi masjid-masjid di Banda Aceh setelah tsunami. Ceramah-ceramah tersebut selalu menyalahkan perempuan sebagai penyebab terjadinya tsunami di Aceh. Aku juga menolak menjadi makmum dari laki-laki yang paternalistik.
Seiring dengan pendulum keagamaan di Aceh yang semakin bergerak ke arah konservatisme, aku hampir selalu mendengarkan celoteh-celoteh keagamaan yang terlalu invasif dan menyerang eksistensiku sebagai perempuan. Misalnya, ada anjuran yang memerintahkanku untuk berhenti bekerja dan menyerahkan pengelolaan kehidupanku pada suami.
Seiring waktu, secara perlahan, aku mulai menikmati kesendirian ketika beribadah. Aku sepenuhnya berjarak dari peribadatan di rumah ibadah dan atau secara kolektif. Bahkan, aku menjadi sangat jengkel dengan para laki-laki yang memutuskan menjadi imam salat, sementara mereka tidak fasih sama sekali ketika melantunkan ayat-ayat Alquran.
Aku tidak berusaha mencari oase yang damai untuk belajar dan mendalami agama sejak membangun jarak pada 1999. Sampai akhirnya aku menemukan karya-karya Feby Indirani, Kalis Mardiasih, serta beberapa penulis lain. Momen spiritual awakening padaku adalah ketika menemukan tulisan almarhum Rusdi Mathari, seperti ini:
“Manusia yang tak sekalipun pernah mengajarkan kebencian. Nabi yang mengajarkan agar manusia berbakti kepada ibu mereka. Manusia yang mengajarkan agar manusia memelihara amanat. Nabi yang memiliki kekuasaan besar, tetapi rumahnya hanya cukup untuk menampungnya tidur. Manusia yang tak pernah berhenti berdoa untuk kebaikan manusia lain.”
Aku merasa menemukan kembali Nabi yang kukenal, yang ajarannya telah memuliakan kaum perempuan dari tradisi jahiliah. Dalam keresahan yang lain, seorang teman yang merupakan pegiat di Aliansi Laki-Laki Baru menjawab keresahanku dengan menjelaskan:
“Jika orang Islam tidak jahat dan berbuat baik kepada sesama, itu sudah merupakan tujuan syariat, berdasarkan kitab suci maupun tidak. Bahkan, tradisi yang baik itu diakui sebagai sumber kebenaran ajaran.”
Kini, secara perlahan-lahan aku memulai perjalanan religiusitas yang berbeda untuk menemukan oase yang damai. Sejumlah interpretasi agama kudengarkan dan kerap berdialog dengan para tokoh, seperti Lies Marcoes, Gus Ulil Abshar Abdalla, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, dan Nyai Nur Rofiah. Aku menempuh ini agar bisa mencintai kehidupan dan kemanusiaan sebagaimana Nabi yang kukenal memperjuangkan pembebasan perempuan dari tradisi-tradisi kekerasan, kontrol, dan atau melukai perempuan, baik secara emosional maupun fisik.
Baca juga: Buku Sejarah Melenyapkan Perempuan dalam Islam
Buku Sebagai Oase
Kurasakan perjalananku terus mengalir hingga kini. Dialog batin, tanya-jawab realitas, dan perjumpaan dengan hikmah-hikmah baru, turut mengikuti proses itu.
Sejauh ini aku menemukan dua istilah mengenai religiusitas sebagai oase yang damai, yakni scientific temper, sebagaimana disebutkan oleh V. Ragunathan dan M. A. Eswaran dalam Ganesha on the Dashboard (2012) atau Islamisme Magis sebagaimana dipopulerkan oleh Feby Indirani dalam Bukan Perawan Maria (2017), dan Memburu Muhammad (2020). Beberapa buku lain yang kurekomendasikan adalah sebagai berikut:
1. Bebas dari Patriarkhisme Islam, Syafiq Hasyim, Depok: Kata Kita, 2010.
2. Berislam seperti Kanak-kanak, Kalis Mardiasih, Jakarta: Yayasan Islam Cinta Indonesia, 2018.
3. Dari Bilik Pesantren: Kumpulan Esai tentang Santri, Kiai, dan Pesantren, Ahmad Khadafi, Yogyakarta: EA Books, 2018.
4. Hal-hal yang tak terpikirkan tentang isu-isu keperempuanan dalam Islam, Syafiq Hasyim, Bandung: Mizan, 2001.
5. Hijrah Jangan Jauh-jauh, Nanti Nyasar!, Kalis Mardiasih, Yogyakarta: Buku Mojok, 2019.
Baca juga: Buku Pelajaran di 4 Negara Mayoritas Muslim Masih Bias Gender
6. Islam Kita Nggak Ke Mana-mana, Kok Disuruh Kembali, Ahmad Khadafi, Yogyakarta: Buku Mojok, 2019.
7. Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan, K.H. Husein Muhammad, Yogyakarta: IRCISOD, 2020.
8. Jangan Mati di Bali: Tingkah Polah Negeri Turis, Gde Aryantha Soetama, Jakarta: Buku Kompas, 2011.
9. Khotbah dari Bawah Mimbar, Ahmad Khadafi, Yogyakarta: Buku Mojok, 2021.
10. Laki-laki yang Tak Berhenti Menangis: Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati, Rusdi Mathari, Yogyakarta: Buku Mojok, 2019.
11. Maqashid Al-Islam: Konsep Perlindungan Manusia dalam Perspektif Islam, Lies Marcoes, Mukti Ali, Roland Gunawan, Jamaluddin Mohammad, dan Achmat Hilmi, Jakarta: Yayasan Rumah Kita Bersama, 2018.
12. Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Quran dan Hadits Nabi, Faqihuddin Abdul Kodir, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
13. Menitip Mayat di Bali, Gde Aryantha Soetama, Jakarta: Buku Kompas, 2016.
14. Menjadi Khalifah Allah yang Memperbaiki, Ibnu Muhajir, Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2018.
15. Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura, Rusdi Mathari, Yogyakarta: Buku Mojok, 2018.
16. Merebut Tafsir, Lies Marcoes, Yogyakarta: Amongkarta, 2021.
17. Muslimah Yang Diperdebatkan, Kalis Mardiasih, Yogyakarta: Buku Mojok, 2019.
18. Nalar Kritis Muslimah: Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan dan Keislaman, Nur Rofiah, Bandung: Afkaruna.id, 2020.
19. Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah: Mengaji Ulang Hadis dengan Metode Mubadalah, Faqihuddin Abdul Kodir, Bandung: Afkaruna.id, 2021.
20. Sister Fillah, You’ll Never be Alone, Kalis Mardiasih, Bandung: Qanita, 2020.
Comments