Women Lead Pendidikan Seks
September 11, 2022

Review ‘Nope’: Horor dalam Cara Kita Melihat

Yang terlihat: ‘Nope’ sedang bercerita tentang UFO piring terbang, yang ternyata monster predator. Yang tak terlihat: ia sedang mengkritik cara kita melihat dan memproduksi tontonan.

by Aulia Adam, Editor
Culture // Screen Raves
Share:

Dilihat dan melihat. Menonton dan ditonton.

Nope, film panjang ketiga Jordan Peele, banyak bicara tentang dua hal ini: Gaze and spectacle—cara melihat dan tontonan.

Ia ingin bilang, ada bahaya dalam cara kita melihat sesuatu. Apa yang kita tonton bisa saja membawa kekerasan, atau bahkan mematikan. Apalagi kalau sebenarnya mereka tak suka ditonton, tak mau dilihat. Tapi, di saat bersamaan obsesi menonton manusia juga sudah berumur panjang. Saking panjangnya, mungkin banyak yang akan berargumen bahwa cara kita melihat adalah bagian natural dari manusia—sesuatu yang kita bawa sejak lahir.

Namun, betulkah begitu?

Nope jadi upaya Peele menjawab dan mengajari kita bahwa ada yang perlu diubah dari cara kita melihat, atau menonton sesuatu. Terutama jika caramu melihat atau memproduksi tontonan dilakukan dengan mengabaikan mereka yang liyan, atau—sadar tak sadar—sampai melakukan kekerasan.

Relasi Kuasa dalam Budaya Kita Menonton Nope

Kalau ada yang bisa diambil pulang setelah menonton Nope, ya tentu saja pesan dari Peele tentang posisi kita saat melihat dan dilihat. Ada relasi kuasa di sana.

Berapa banyak kekerasan di dunia ini dimulai dari cara orang berkuasa melihat mereka yang lemah? Laki-laki pada perempuan, orang heteroseksual pada mereka yang tidak heteroseksual, mereka yang pegang senjata pada mereka yang pegang pacul, mereka yang duduk di belakang kamera pada mereka yang ada di depan layar.

Contoh terakhir ini hadir gamblang dalam Nope. Dua karakter utamanya adalah Otis Jr (Daniel Kaluuya) dan Emerald (Keke Palmer), sepasang kakak-adik pemilik Haywood Hollywood Horses, penyedia jasa peminjaman hewan untuk kebutuhan film dan TV di Hollywood. Bisnis keluarga ini adalah warisan kakek mereka, Alistair Haywood—tokoh rekaan Peele—orang pertama yang terekam dalam gambar bergerak pertama, cikal bakal film, dalam sejarah manusia.

Sumber: IMDB

Baca juga: Janji Surga Lewat Poligami dalam ‘Keep Sweet: Pray and Obey’

Meski Alistair adalah karakter rekaan, gambar bergerak pertama itu nyata. Ia direkam oleh Eadweard Muybridge pada 1878. Semua kritikus, sineas, atau pecinta film pasti kenal Muybridge dan pernah menonton rekaman joki yang mengendarai kuda hitam itu—setidaknya saat mereka belajar membaca film atau sejarah film. Semua orang mengenal Muybridge, tapi tidak laki-laki berkulit hitam di dalam gambar itu.

Sejarah bahkan mencatat nama si kuda, Annie G, tapi kehilangan jejak identitas sang joki. Praktik mengabaikan pria kulit hitam dalam sejarah pembuatan film (filmmaking) inilah yang dijadikan Peele sebagai pijakan cerita, sekaligus kritik sosial yang terasa amat jitu dan relevan.

Ternyata, sejarah pembuatan film manusia dimulai dengan pengabaian mereka yang bukan kaukasia—sebuah fakta yang masih dikritik hingga hari ini.

Tapi, Nope bukan cuma fokus pada noda di sejarah pembuatan film kita. Ia secara lebih luas ingin mengobrak-abrik obsesi kita pada budaya menonton dan memproduksi tontonan. Pesan itu hadir dalam karakter Rick “Jupe” Park (Steven Yeun), mantan aktor cilik yang sekarang buka taman hiburan dekat rumah peternakan Haywood, dan jadi tempat Otis menggadaikan kuda-kudanya demi dapat uang.

Baca juga: ‘Ngeri-ngeri Sedap’ dan Film Batak yang Berusaha Lepas dari Jakartasentris

Jupe yang tumbuh sebagai aktor—mereka yang ditonton, masih terobsesi untuk terkenal. Ia membuka taman hiburan, mengoleksi memorabilia, bikin reality show bersama keluarganya, bahkan sampai menjadikan kuda-kuda Otis umpan untuk dimakan UFO yang dia yakini bisa jadi pertunjukan dan menghasilkan uang.

Jupe pintar bercerita, ia bahkan menggunakan metafora dan referensi tontonannya saat mencoba mendeskripsikan sesuatu. Buatnya, hidup baru terasa jika ia jadi tontonan, atau membuat pertunjukan.

Obsesi Jupe menjadi terkenal, memproduksi tontonan, dan menjadikannya putaran bisnis adalah gambaran industri tontonan kita hari ini: di televisi, layar bioskop, layar laptop, atau ponselmu.

Sumber: IMDB

Tema menonton dan ditonton ada di sekujur plot Nope. Pengaruh dari budaya menonton ini juga tertanam dalam dua karakter utama kita. Obsesi mereka mengejar “the impossible shot”—atau yang mereka sebut “The Oprah Shot” di satu titik amatlah menggelikan, karena tak lagi peduli pada nyawa sendiri. Obsesi itu bisa saja sudah terasa amat wajar buat kita yang hidup dalam budaya viralitas di media sosial. Orang macam OJ dan Emerald tentu tak sedikit.

Tapi, kritik Peele yang menurut saya perlu diperhatikan bukan di situ, melainkan bagaimana ia membedah betapa bahayanya politik representasi (dipopulerkan dalam slogan “representation matters”) yang jadi jualan industri hiburan hari ini, terutama produksi Hollywood.

Dalam jualan representasi itu, kita—sebagai penonton—percaya bahwa manusia yang kompleks bisa diwakilkan oleh mereka yang telah “terseleksi” untuk tampil di layar. Tanpa sadar, bahwa keterwakilan itu adalah realitas yang diracik oleh penentu keputusan.

Baca juga: Menonton Korut dan Korsel Bersatu dalam ‘Money Heist Korea: Joint Economic Area’

Banyak hal yang kita yakini tentang dunia ini, tentang sejarah kita, berdasarkan dari tontonan yang kita konsumsi di media. Kita lebih percaya pada representasi daripada realitas. Gagasan tentang perang, laki-laki idaman, penjahat, cinta, pubertas, seperti apa film bagus, film jelek, kritik bagus, atau kritik jelek—semua gagasan itu adalah hasil memproduksi sebuah tontonan, yang di satu titik sama diyakini sebagai realitas.

Gara-gara sebuah realitas yang diproduksi lewat film, satu generasi percaya bahwa komunisme adalah setan yang harus dimusnahkan, bahkan dari kepala para generasinya. Gara-gara sebuah realitas yang diproduksi lewat film, orang-orang percaya bahwa rasnya adalah maha di atas ras lain.

Peele mengimbau kita tentang kekerasan yang ada dalam tontonan sejak awal film diputar. Ia mengutip Nahum 3:6, yang berbunyi:

I will cast abominable filth upon you, make you vile, and make you a spectacle. 

Waspadalah!

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramadhita.