Komisi III DPR RI dan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menyepakati Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di tingkat I, (24/11). Artinya, jika tak ada aral melintang, RKUHP bakal segera dibawa ke tingkat II untuk diketok palu jadi undang-undang dalam rapat paripurna.
“Apakah naskah RUU KUHP dapat dilanjutkan pada pembahasan tingkat kedua, yaitu pengambilan keputusan yang akan dijadwalkan pada rapat paripurna DPR RI terdekat?” tanya pimpinan rapat Adies Kadir, dilansir dari video Kompas TV.
Mayoritas, sebanyak 7 fraksi menjawab setuju. Mereka adalah fraksi Partai Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP. Sementara, dua fraksi lainnya, PDIP dan PKS setuju tapi dengan catatan.
Dalam tingkat 1, ada pembahasan 23 poin dari daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi kepada pemerintah. Di antaranya, pasal penghinaan terhadap pemerintah, hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, makar, penghinaan harkat dan martabat Presiden, pidana mati, kohabitasi, juga penambahan pasal rekayasa kasus.
Kesepakatan tingkat I ini disayangkan sejumlah pihak. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) memprotesnya dalam rilis resmi yang diterima Magdalene, (24/11). Menurut YLBHI dan LBH, RKUHP saat ini masih disusun berdasarkan paradigma hukum yang menindas serta diskriminatif.
“Apabila masih dipaksakan, paradigma hukum yang demikian akan memunculkan satu masalah besar, yakni ancaman over-kriminalisasi kepada rakyat. Simpulan tersebut tercermin dari muatan-muatan pasal anti demokrasi yang masih dipaksakan,” tulis mereka.
Tak hanya itu, YLBHI dan LBH juga menganggap produk hukum ini diskriminatif karena subjek pengaturan pidana hanya ditujukan kepada rakyat. Karena itu, ancaman over-kriminalisasi yang terkandung dalam RKUHP menyebabkan #SemuaBisaKena. Penjara pada akhirnya bisa semakin penuh.
Yang paling disayangkan adalah sikap anti-kritik pemerintah. Ketika ada kritik dari Aliansi Reformasi KUHP di forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) misalnya, Komisi III DPR RI sengaja merespons senyap. Terkait sikap antikritik ini, dalam liputan Majalah Tempo, (20/11) juga dijelaskan, ada lobi-lobi yang dilakukan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward O.S. Hiariej untuk menggolkan RKUHP sesuai target, yakni Desember 2022. Lobi kepada kelompok penentang dilakukan untuk mencegah gugatan dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Wacana ‘Pidana LGBT’ di RKUHP, Bagaimana Nasib Mereka Kini?
Lepas dari itu semua, dalam versi teranyar RKUHP, ada beberapa pasal yang direformulasi, ditambah, dihapus, dan direposisi. Namun, tetap saja ada pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan sipil, tapi tetap dipertahankan.
Magdalene sendiri masih kesulitan memperoleh draf terbaru RKUHP versi (24/11). Namun, beberapa catatan dari media lain dan masyarakat sipil memberikan sorotan terhadap beberapa pasal yang kontroversial berdasarkan draf versi (9/11). Berikut rangkuman pasal yang masih jadi catatan penting dalam draf RKUHP.
- Pasal Penghinaan Pemerintah
Di versi (24/11), ada tiga pasal baru terkait penghinaan pada pemerintah yang tertuang dalam Pasal 240 RKUHP. Ini agak berbeda dengan draf sebelumnya yang rilis pada (9/11). Dalam draf (9/11), Pasal 240 berbunyi: Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda kategori IV
Sementara, draf versi (24/11) menyebutkan, Pasal 240 terdiri dari empat ayat, yaitu: Ayat 1: Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Ayat 2: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan pada masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat 3: Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina. Ayat 4: Aduan sebagaimana dimaksud ada ayat (3) dapat dilakukan secara tertulis oleh pimpinan lembaga negara.
Yang dimaksud pemerintah di sini adalah Presiden, Wakil Presiden, dan para menterinya. Sementara, kerusuhan dimaknai sebagai kondisi kekerasan pada orang atau barang yang dilakukan oleh sekelompok orang, paling sedikit tiga orang.
Dalam versi terbaru, hukuman pidana untuk penghinaan pemerintah memang disunat. Namun, memidanakan orang yang disinyalir menghina pemerintah tetap saja termasuk pelanggaran demokrasi dan kebebasan sipil. Itu agak ironis, mengingat negara demokrasi lain seperti Inggris bahkan sudah menghapus aturan semacam ini.
- Pasal Soal Komunisme/ Marxisme
Dalam draf RKUHP versi (9/11), masih ada pasal yang mengatur soal Komunisme/ Marxisme-Leninisme. Dalam Pasal 188 ayat (1) disebutkan: Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal ini juga relatif problematik karena substansi “menyebarkan Komunisme/ Marxisme-Leninisme” sendiri masih tidak jelas. Apakah wartawan yang meliput kisah korban tragedi 1965 atau diskusi seputar ini termasuk menyebarkan Komunisme? Apakah dosen di ruang-ruang kelas yang mengajarkan mahasiswa soal Marxisme sama saja menyebarkan ajaran tersebut?
- Pasal Kohabitasi dan Perzinahan
Dalam versi (9/11) Pasal 414 ayat (1) menyebutkan: Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Mereka bisa dipidanakan jika ada delik aduan dari suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; pun orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan. Pengaduan itu nantinya dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai, sesuai Pasal 414 ayat (4).
RKUHP juga memperluas pasal zina yang ditafsirkan sebagai semua hubungan seks di luar pernikahan.
"Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II," bunyi Pasal 413 ayat (1).
Pasal-pasal ini terutama bakal mengkriminalisasikan pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan adat, perkawinan agama, perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan). Padahal untuk beberapa orang, mengurus pernikahan resmi negara tak semudah yang dikira.
Marieta (29) menjelaskan pengalaman dia mengurus bukti-bukti pernikahan resmi. “Selama ini saya cuma nikah dengan pemberkatan gereja. Singkatnya, resmi di depan agama. Namun, untuk meresmikan di mata negara, kami dipersulit bolak-balik mengurus ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, harus perbarui Kartu Tanda Penduduk dulu, menyamakan alamat, urus surat pindah bersama, dan lainnya. Enggak mudah,” ujarnya kepada Magdalene.
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden hingga Aborsi, yang Problematik dari RKUHP
Karena itulah, meskipun ia sudah menikah selama kurang lebih dua tahun, pernikahannya tetap tak dianggap resmi oleh negara. Orang-orang seperti Marieta pun bisa saja terancam dengan pasal ini.
- Pasal Aborsi
Di versi (9/11), Pasal 465 ayat (1) menyebutkan: Setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Lalu di ayat (2) dinyatakan: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
Di versi yang terbaru, (24/11), usia kandungan untuk korban pemerkosaan yang hendak aborsi diperpanjang hingga 14 minggu. Meski diperpanjang, tapi ini masih belum cukup ideal, mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengimbau agar usia kehamilan yang dibolehkan untuk aborsi hingga 24 minggu. Hal ini mempertimbangkan kesulitan prosedur di berbagai negara untuk membuktikan, apakah perempuan itu memang betul korban pemerkosaan atau tidak.
Di luar itu, mestinya semua perempuan yang mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD) adalah menjadi pihak yang memegang otoritas penuh atas keputusannya untuk aborsi. Sebab, dengan perspektif inilah, perlindungan pada semua perempuan yang mengalami KTD bisa dilindungi. Pun, ini bisa menjamin pemenuhan hak-hak perempuan atas tubuh dan reproduksinya.Sayangnya, perspektif pemerintah kita belum secanggih itu.
-
Pasal Terkait Living Law
Dalam rilis resmi yang diterima Magdalene dari Aliansi Reformasi KUHP, (27/11), pasal ini berbahaya karena kriminalisasi akan semakin mudah. Apa pasal? Dalam aturan ini, ada klausul untuk menuruti pemimpin masing-masing daerah. Karena itulah, perempuan dan kelompok rentan lainnya menjadi pihak yang berpotensi dirugikan dengan adanya pasal tersebut.
- Pasal Pidana mati
Lgalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Terlebih dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menegaskan, tiap warga binaan, termasuk terpidana mati sebenarnya bisa memperoleh kesempatan untuk bertobat dan menjadi manusia yang lebih baik lagi, tanpa mengurangi esensi kemanusiaannya.
Selain itu, ada beberapa alasan yang membuat pidana mati mesti ditolak. Pertama, dari sisi efektifitas hukuman mati itu sendiri. Kedua, dalam pelaksanaan hukuman mati, terbuka peluang kesalahan hukum. Ketiga, terkait dengan aspek kemanusiaan, terutama hukuman mati merupakan bentuk penghukuman kejam dan tidak manusiawi. Bahwasanya setiap orang punya hak asasi berupa hak untuk hidup yang tak bisa dicabut begitu saja. Dalam konteks ini, jika terbukti seorang terpidana sudah menjalani hukuman selama bertahun-tahun, telah bertobat dan menyesali perbuatannya, bahkan selalu berbuat baik selama menjalani masa tahanan, maka itu perlu menjadi bahan pertimbangan. People can change.
- Pasal Tentang Edukasi Kontrasepsi
Dalam rilis yang sama disebutkan pasal ini berpotensi mengkriminalisasi pihak yang mengedukasi kesehatan reproduksi. Aturan ini pun berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orang tua atau pengajar yang mengajarkan anaknya kesehatan reproduksi, juga pendidikan seks.
- Pasal Tentang Tindak Pidana Agama
Pasal ini mengekang kekebasan beragama dan kepercayaan seseorang. Persoalan agama atau hubungan antarmanusia merupakan urusan personal. Apabila RKUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik.
Artikel ini telah ditambahi pada (27/11) berdasarkan rilis yang diterima dari YLBHI, LBH Jakarta, Masyarakat, Yifos, Greenpeace, Amnesty Internasional Indonesia, dan Trend Asia.
Comments