Di dunia maya, diskusi mengenai pro-kontra kemerdekaan Papua menciptakan ruang perdebatan yang sengit.
Pemerintah Indonesia bahkan sampai memutus jaringan internet untuk membatasi arus informasi dan mengambil tindakan hukum terhadap pihak yang mengkritik pemerintah. Mereka yang kerap mengkritik pemerintahan Indonesia di Papua juga sering mengalami pelecehan online.
Dalam studi terbaru kami yang dipublikasikan di Harvard Kennedy School Misinformation Review, kami menyoroti konten disinformasi pro-pemerintah dalam Bahasa Indonesia yang membanjiri Twitter sejak Februari 2021, yang cenderung mempromosikan narasi pemerintah tentang otonomi khusus (otsus) Papua.
Baca juga: Dokumenter ‘Semesta’ Soroti Para Perempuan Penjaga Alam
Seiring dengan terjadinya represi terhadap gerakan-gerakan yang menyuarakan kemerdekaan Papua, kebijakan otsus di sana telah menjadi pegangan kunci bagi pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan di provinsi tersebut. Padahal faktanya, ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap otsus telah bertambah dari waktu ke waktu. Banyak aktivis Papua yang menolak kebijakan tersebut.
Menjelang pengambilan keputusan oleh Indonesia pada Juli 2021 untuk memperpanjang masa implementasi otsus selama 20 tahun ke depan, ribuan pengguna Twitter terjun dalam kampanye besar-besaran di platform tersebut guna menyuarakan dukungan.
Berdasarkan hasil pengamatan kami, terlihat bahwa meskipun para pengguna Twitter ini seolah-olah tidak terhubung, unggahan dan profil akun mereka sangat menunjukkan bahwa ada satu entitas yang mengarahkan semua akun ini.
Cuitan Pro-pemerintah yang Tidak Autentik di Twitter
Ada tiga indikator utama yang mendukung pengamatan kami:
Pertama, akun-akun ini sebagian besar mengunggah cuitan pada waktu yang sama. Awalnya, unggahan mereka dipusatkan pada menit mulai pukul 06:55 WIB. Kemudian, saat masuk bulan puasa pada 13 April 2021, akun-akun tersebut tiba-tiba beralih waktu unggahannya secara bersamaan ke jam 8 pagi (Gambar 1).
Unggahan-unggahan yang terkonsentrasi hanya dalam dua menit tersebut sangat anomali. Jika kita memplot waktu di saat akun-akun tersebut mengunggah 1,25 juta cuitan selama 2,5 tahun – yang kami kumpulkan dalam data kami – muncul garis-garis vertikal yang samar (Gambar 2).
Kedua, terlepas dari sinkronisitasnya, unggahan tersebut juga memiliki karakteristik yang mirip, yakni berisi teks yang hampir sama. Berdasarkan jumlahnya, 22.479 dari 23.853 cuitan yang diunggah dalam kurun waktu dua menit itu adalah cuitan “asli” (bukan retweet) tentang otonomi khusus yang diposting oleh 2.668 akun berbeda.
Hanya 760 dari total cuitan asli yang terbilang ‘unik’ – kami mengukurnya dengan memeriksa kemiripan antara dua teks, metode ini disebut tes kesamaan Jaccard (Jaccard similarity test). Sisanya adalah duplikat atau hampir menyerupai duplikat dari 1.329 cuitan berbeda, dengan duplikat terbanyak diulang dalam 286 versi.
Gambar 3 menampilkan contoh satu set 10 duplikat. Isi dari 1.329 set duplikat ini sejalan erat dengan pesan pemerintah pada saat itu tentang Papua.
Dua pertiganya memuji kebijakan pemerintah, termasuk mengungkit keberhasilan jalannya Pekan Olahraga Nasional (PON) yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di Papua pada tahun 2021. Sebagian besar — sekitar 17% — mengutip pernyataan orang asli Papua bahwa mereka mendukung otonomi khusus atau menyatakan bahwa orang asli Papua mendukungnya.
Ketiga, akun yang mengunggah cuitan asli tentang otonomi khusus dalam dua menit, berbeda secara sistematis dari akun lain dalam kumpulan data kami.
Setengah (50,9 persen) dari total akun dengan cuitan asli tentang otsus Papua tidak mencantumkan deskripsi profil mereka. Dalam sisa data yang kami kumpulkan, cuma 18,7 persen dari total akun mengosongkan deskripsi profil.
Berdasarkan sampel 100 akun yang dipilih secara acak dari semua akun yang mengunggah cuitan asli tentang otonomi khusus dalam dua menit, hanya 32 persen yang menggunakan foto profil yang menampilkan orang yang dapat diidentifikasi. Analisis kami terhadap foto yang mereka cantumkan menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang bukan pemilik asli akun tersebut.
Akun-akun itu juga relatif baru dibandingkan dengan akun lain. Pada angka tengah kisaran waktu pembuatan akun tersebut, yakni pada 28 Maret 2021, 99,1 persen akun yang ada di data kami telah lebih dulu dibuat. Per Oktober 2022, Twitter telah menangguhkan 64 persen akun ini sejak kami mengumpulkan data pada Juni 2021, dibandingkan dengan 2,2 persen akun di sisa kumpulan data kami.
Baca juga: Diskusi SARA dihindari, Rasialisme terhadap Warga Papua Menguat
Secara bersamaan, data-data di atas menunjukkan bahwa kumpulan cuitan dan akun itu tidak asli – biasa disebut inauthentic account atau akun palsu. Anggapan bahwa akun-akun tersebut berasal dari pemilik yang berbeda, dan mengunggah cuitan tentang otsus Papua secara spontan, sangat mudah terbantahkan. Berdasarkan data dan argumentasi inilah kami menyebutkan sebagai kampanye disinformasi, bukan hanya perihal konten yang salah.
Sebagian cuitan duplikat memang mengandung pernyataan yang terbukti salah, sebagian yang lain mengandung pernyataan yang meragukan tetapi tidak dapat diverifikasi.
Tetapi banyak cuitan duplikat lainnya mengandung pernyataan faktual terkait detail kebijakan pemerintah di Papua, namun bersama dengan pernyataan penuh tanda tanya yang menekankan bahwa detail ini menunjukkan otonomi khusus harus tetap dilanjutkan.
Apa pengaruh Fenomena Ini pada Pengguna Lain?
Riset kami menemukan banyakanya cuitan di Twitter tentang otsus Papua yang tidak autentik. Tapi, apa pengaruhnya terhadap pandangan pengguna Twitter lainnya terkait Papua?
Pertanyaan seperti itu memang cocok diarahkan pada kasus kampanye disinformasi yang kurang canggih, yaitu ketika cuitan yang diunggah hanya berupa duplikat dan tidak cukup diparafrasekan sehingga mudah terdeteksi bahkan melalui uji kemiripan yang sederhana. Sebagian besar cuitan itu pun hampir tidak menerima interaksi dari pengguna Twitter lainnya. Jika tujuannya adalah mempengaruhi pemikiran pengguna media sosial, kampanye semacam itu bisa dibilang kurang memiliki mekanisme yang jelas.
Namun demikian, skala kampanye ini juga tidak dapat dianggap remeh: 1.329 kumpulan cuitan duplikat yang diunggah hanya dalam dua menit dalam sehari merupakan 14,0 persen dari total cuitan asli yang menyebutkan otsus Papua selama kurun 2,5 tahun. Cuitan duplikat ini juga merepresentasikan 7,9 persen dari semua cuitan tentang otsus, termasuk cuitan retweet.
Jumlah cuitan tersebut sangat banyak sehingga hampir mustahil bagi semua pengguna Twitter, kecuali yang paling rajin membaca cuitan, untuk memahami garis besar permasalahan perihal otonomi khusus Papua – situasi ini disebut zone-flooding, yakni upaya untuk membingungkan audiens dengan longsoran cerita yang saling bertolak belakang.
Baca juga: Serangan terhadap Diskusi Rasialisme Papua, Ancaman Nyata Demokrasi
Ditambah lagi dengan pembatasan terhadap pemberitaan independen dan kebebasan berekspresi di Papua, skala kampanye ini menunjukkan bagaimana kemampuan aktor pro-pemerintah untuk menggunakan penyebaran disinformasi di media sosial untuk mempersempit ruang demokrasi.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments