Media di Indonesia umumnya mendukung pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), namun pemberitaan seputar isu ini masih minim dan normatif, hanya mengulang narasumber tanpa pendalaman kritis dan rekomendasi. Ini adalah hasil utama riset mengenai pemberitaan 10 media oleh Konde.co terkait RUU PPRT.
Riset tersebut mengamati pemberitaan RUU PPRT selama Januari hingga Maret 2021 di media-media daring Okezone, Tribunnews, Kompas.com, detik.com, Kumparan, Grid.id, Suara.com, Liputan6.com, Sindonews.com, dan Merdeka.com.
Peneliti Konde, Marina Nasution mengatakan, esensi dari pemberitaan RUU PPRT di media juga seragam, terutama jika media pada perusahaan yang sama. Ia mencontohkan Okezone dan Sindonews yang menerbitkan pemberitaan RUU PPRT yang sama persis karena kepemilikan media yang sama.
“Padahal kita berharap ide, angle, dan pendalaman isu dari dua media ini bisa berbeda. Asumsi kami, semakin banyak (ragam) isu yang diangkat semakin banyak pemberitaan,” ujarnya dalam diskusi dan peluncuran riset tersebut (8/4), yang diselenggarakan Konde dan Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Baca juga: Magdalene Primer: RUU Perlindungan PRT yang Sudah 16 Tahun Mangkrak
Tika Adriana, juga peneliti dari Konde, mengatakan, narasumber yang ditampilkan dalam berita mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disebut sebagai penyebab belum disahkannya RUU PPRT selama 17 tahun. Di saat bersamaan, media belum memberikan medium bersuara yang banyak untuk PRT sebagai narasumber penting untuk isu ini.
“Isu RUU PPRT di media masih sangat minim, agenda tentang PRT juga belum dianggap penting. Media masih enggan untuk menuliskannya dan belum memberikan peluang pembentukan opini publik terkait agensi pengesahan RUU ini,” jelasnya.
Isu PRT Belum Menarik untuk Media
Jurnalis Kompas, Sonya Hellen mengatakan media kurang tertarik dengan isu PRT karena dinilai kurang menarik dan bukan isu prioritas. Jika media melakukan pemberitaan, maka akan membahas kasus kekerasan dan pelecehan yang dialami PRT atau menjadi pelaku tindakan kriminal yang dianggap salah oleh publik, ujarnya.
Pemimpin Redaksi Liputan6.com, Irna Gustiawati mengakui ada pengaruh tuntutan untuk mengejar traffic ke media. Akibatnya, satu orang jurnalis mengalami kesulitan dalam meliput keseluruhan atau menaruh perhatian atas satu isu karena harus menyelesaikan satu hingga tujuh berita berbeda per hari, ujarnya.
Baca juga: Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran
Penyebab lainnya karena mayoritas masyarakat awam dan jurnalis sendiri tidak tahu tentang isi RUU PRT sehingga mereka abai terhadap isu ini, kata Irna. Meski demikian, kesadaran dan kepedulian atas isu kelompok minoritas yang semakin gencar lewat media sosial mulai mendorong kantor berita untuk memberikan ruang untuk satu isu secara utuh, ia menambahkan.
“Ini tidak bisa menjadi alasan kami belum fokus pada isu ini. Akan menjadi masukan yang baik juga untuk media online. Karena sepuluh media itu harusnya menjadi motor utama. Tapi ternyata tidak memberikan apa-apa. Kami akan melakukan koreksi atas kekecewaan (pada media) ini,” jelasnya.
Media Perlu Angkat Sisi Humanis Isu PRT
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, untuk mengangkat isu PRT memang perlu memahami konteks sosial dan sejarah tentang diskriminasi PRT yang membutuhkan waktu lama. Media juga harus memahami bahwa isu PRT dan RUU PPRT berakar pada ranah domestik yang menjadi asal mula terjadinya diskriminasi dan kerentanan PRT mengalami kekerasan, ujarnya.
“Perlu ada tinjauan ulang tentang kekerasan dalam pola sama yang dialami banyak PRT. Dan RUU PPRT akhirnya menjadi payung hukum yang sangat dibutuhkan mereka untuk melindungi sebagai pekerja,” ujar Mariana.
Baca juga: Perempuan Pekerja Rumahan: Terabaikan dan Tidak Diakui Haknya
Irna mengatakan bahwa agar publik semakin paham tentang i RUU PPRT, pendekatan dan edukasi tidak hanya dilakukan lewat pemberitaan secara tekstual karena masyarakat semakin malas membaca. Hal ini bisa dilakukan menggunakan medium media sosial seperti TikTok dan YouTube yang digemari orang muda, ujarnya.
“Juga membuat infografik, video pendek atau konten multimedia sebagai kampanye agar orang semakin paham dengan isu ini,” ujarnya.
Tika dari Konde mengatakan, upaya pemberitaan isu PRT harus dibarengi dengan kerja DPR yang transparan saat membahas RUU PPRT sebagai pertanggungjawaban publik dan bisa dipublikasikan media.
“Setiap proses (pembahasannya) melibatkan sebanyak mungkin masyarakat untuk mendorong arus isu PRT,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments