Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah resmi masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (12/2). Sebelumnya, RUU PKS sempat dikeluarkan dari Prolegnas pada Juli 2020 dengan alasan pembahasannya yang dianggap “sulit”. Setelah mengalami berbagai pembaruan substansi, kini RUU PKS masuk kembali ke dalam Prolegnas untuk selanjutnya dibahas di DPR.
Pendiri Institut Perempuan dan penasihat hukum, R. Valentina Sagala, yang juga merupakan bagian dari Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk Advokasi RUU PKS, menyambut positif hal ini. Ia mengatakan, masyarakat sipil perlu mengawal agar RUU PKS ini dapat disahkan segera tahun ini.
“Kita harus memastikan materi-materi muatannya, benar-benar mencegah sekaligus memberi keadilan bagi korban kekerasan seksual,” ujar Valentina kepada Magdalene.
Valentina menambahkan, masuknya kembali RUU PKS di tengah kisruhnya pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Ia mengatakan ini merupakan waktu yang tepat untuk melihat kembali, bagaimana materi-materi muatan RUU PKS lebih relevan dan mementingkan pemulihan korban dalam menangani kasus kekerasan seksual.
“RUU PKS mempertegas materi-materi muatan apa yang akan diatur untuk menangani persoalan kekerasan seksual yang korbannya adalah anak, demikian juga yang pelakunya adalah anak,” ujar Valentina.
Hati-hati Hoaks dan Mitos Soal RUU PKS
Valentina memperingatkan agar masyarakat luas tidak mudah terkecoh dengan narasi-narasi tidak bertanggung jawab terkait dengan RUU PKS. Menurutnya, hoaks-hoaks yang beredar tentang RUU PKS tersebut bisa menghambat jalannya pembahasan RUU PKS ke depannya. Saat ini, masyarakat harus bersama-sama melawan narasi tidak benar itu agar RUU PKS segera disahkan dan para penyintas kekerasan seksual bisa mendapatkan keadilan, ujar Valentina.
Apa saja hoaks-hoaks yang beredar terkait dengan RUU PKS? Berikut lima hoaks dan fakta tentang RUU PKS yang harus kamu tahu dan kawal.
Baca juga: Pembaruan Draf RUU PKS: Jangan Ada Lagi Alasan Pembahasan ‘Sulit’
-
RUU PKS Mendukung Seks Bebas dan Melegalkan Zina
Asumsi bahwa RUU PKS mendukung seks bebas dan melegalkan zina muncul dari anggapan bahwa dalam muatan materi RUU PKS, kekerasan seksual digarisbawahi sebagai kekerasan yang terjadi karena relasi kuasa yang tidak konsensual. Sedangkan mereka yang melakukan hubungan badan konsensual tidak diatur pasal pidananya.
Padahal, RUU PKS ini tidak membahas masalah hubungan di luar nikah. Sebaliknya, ia berfokus untuk mencegah, menghentikan, dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual yang belum ada payung hukumnya.
Selama ini, pasal yang biasanya dipakai untuk menjerat pelaku kekerasan seksual adalah pasal pencabulan dan pemerkosaan, atau UU Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Namun, cakupan kekerasan seksual di semua UU tersebut sangat terbatas.
Dalam kasus pemerkosaan misalnya, definisi pemerkosaan terbatas pada tindakan penetrasi pada laki-laki dan perempuan, sedangkan kekerasan seksual sekarang ini tidak terbatas pada penetrasi saja. Begitu pula pasal pencabulan, yang hanya terbatas pada kekerasan fisik, sedangkan kekerasan gender berbasis online (KBGO) belum punya payung hukumnya di Indonesia.
“Tidak ada satu pasal pun yang ngomongin pro zina dan seks bebas. Kita ngomongin kekerasan seksual di sini, yang memang betul-betul ada korbannya, dia merasa dirugikan, perlu perlindungan dan keadilan,” ujar Valentina.
“RUU PKS itu victim-based-approach, siapa pun korbannya terlepas dari status perkawinannya menikah atau tidak kalau dia mengalami kekerasan seksual ya dia tetap korban dan berhak mendapatkan keadilan,” ia menambahkan.
Baca juga: Kawal RUU PKS: Kekerasan Seksual Bukan Hanya Urusan Perempuan
-
RUU PKS Berpotensi Melegalkan Kelompok LGBT
Adanya anggapan bahwa RUU PKS bisa berpotensi melegalkan kelompok LGBT berakar dari hoaks soal RUU PKS akan melegalkan seks bebas tadi. Menurut Valentina, selain tidak benar dan didasarkan pada interpretasi sepihak, hoaks yang beredar tentang RUU PKS ini berpotensi menyebarkan kebencian dan mispersepsi di masyarakat yang dapat menghambat proses pembahasan RUU PKS, ujarnya.
“Jadinya seolah-olah kalau RUU PKS ini mendukung seks bebas maka nanti juga mendukung hubungan sesama jenis. Itu enggak benar banget kan. Padahal, kekerasan seksual itu bisa menimpa siapa saja, begitu pun pelakunya. Itu bisa siapa saja, bahkan orang terdekat dan keluarga sendiri, RUU PKS mengatur itu,” tambah Valentina.
-
Istri Berpotensi Memenjarakan Suaminya Sendiri
Istilah pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape) masih belum banyak dipahami di Indonesia. Pemahaman di masyarakat umum adalah bahwa istri harus selalu melayani suami, sehingga tidak ada istilah pemerkosaan dalam pernikahan. Kenyataannya, pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan itu ada dan sering terjadi, dengan para istri yang tidak berdaya menolak suaminya yang meminta berhubungan seksual, termasuk dengan cara-cara yang tak lazim.
RUU PKS mencakup sembilan jenis kekerasan seksual dan tidak terbatas pada mereka yang ada dalam ikatan pernikahan saja. Semua kalangan, tanpa terkecuali, berpotensi menjadi korban dan pelaku, kata Valentina.
“Fokus utama RUU PKS ini pemulihan korban, pencegahan, dan hukum yang berkeadilan bagi korban. Korbannya siapa? Ya semua pihak rentan jadi korban. Pelakunya? Semua pihak juga berpotensi jadi pelaku, termasuk keluarga terdekat,” ujar Valentina.
Baca juga: RUU PKS Tidak Menyalahi Ajaran Islam
-
RUU PKS Agenda Feminis Liberal
Kelompok anti-RUU PKS sering menyebut rancangan regulasi ini sebagai agenda terselubung feminis liberal yang tidak sesuai dengan Indonesia dan Pancasila. Menurut Valentina, tuduhan itu tidak berdasar karena tidak mungkin sebuah RUU bertentangan dengan Konstitusi. Sebaliknya, justru hak untuk merasakan hidup aman tanpa kekerasan sebagaimana cita-cita RUU PKS, sudah sangat jelas termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945. Valentina mengatakan, sudah menjadi keharusan negara untuk melindungi warga negaranya dari kekerasan seksual.
“Materi muatan RUU PKS yang sudah diuji dan dikaji saya pastikan itu sesuai dengan konstitusi, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dan hak asasi manusia (HAM). Kalau memang enggak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia mungkin sudah dari awal enggak akan masuk di DPR,” tambahnya.
-
RUU PKS Bertentangan dengan Agama
Hoaks RUU PKS bertentangan dengan agama merupakan turunan dari narasi melegalkan zina, mendukung kelompok LGBT, dan agenda feminis liberal. Menurut Valentina, RUU PKS yang punya tujuan mulia untuk memberantas kekerasan seksual yang mencederai martabat manusia itu jelas sangat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila apalagi agama.
“Sila ke satu itu kan Ketuhanan yang Maha Esa. Sekarang saya tanya, agama mana di Indonesia yang memperbolehkan manusia merisak dan menzalimi manusia lain? Enggak ada kayaknya. Semua agama mengajarkan untuk melindungi manusia lain. Sehingga jelas, RUU PKS ini sesuai dengan ajaran agama,” kata Valentina.
Dalam proses pembahasannya, RUU PKS juga telah beberapa kali didiskusikan dengan perwakilan dari berbagai organisasi lintas agama. Draf yang ada sekarang pun merupakan hasil masukan dari perwakilan lembaga-lembaga agama tersebut. Sudah banyak kelompok-kelompok Islam yang mendukung pengesahan RUU PKS, seperti Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.
Kelompok Perempuan Katolik dari berbagai wilayah di Indonesia juga mendesak disahkannya RUU PKS menyusul maraknya kasus kekerasan seksual di tubuh gereja Katolik.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.
Comments