Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih menuai pro dan kontra, dengan beberapa kubu penolak menggunakan legitimasi agama untuk menggagalkan pengesahan RUU yang sudah masuk Program Legislasi Nasional (prolegnas) sejak 2016 lalu itu.
Pihak-pihak yang mencoba mengusahakan pembatalan pengesahan RUU PKS menganggap RUU tersebut membolehkan hubungan seksual secara liberal di luar nikah seperti perzinahan dan membebaskan eksistensi LGBTQ+ (lesbian, gay, biseksual, transeksual, queer+). Anggapan itu jelas membabi buta karena tak ada satu pasal pun dalam RUU PKS yang berbicara tentang dua hal tersebut.
Dalam diskusi publik Meneguhkan Nilai Keislaman dan Kemanusiaan dalam Penghapusan Kekerasan Seksual yang diselenggarakan di Ruang Teatrikal Gedung Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 28 Februari lalu, akademisi/aktivis Maria Ulfah Anshor dari Alimat Jakarta mengatakan, RUU PKS mengatur tentang upaya pencegahan kasus kekerasan seksual sampai pendampingan kepada pelaku maupun korban.
Mantan Ketua Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tersebut berkata RUU PKS tak ada hubungannya dengan perzinahan karena berada dalam koridor yang berbeda.
“RUU PKS sama sekali tidak melegitimasi seks di luar nikah karena sudah jelas dalam Islam bahwa seks di luar nikah adalah haram, apalagi dilakukan dengan kekerasan. Itu sudah kami kunci,” ujar Maria.
Ia menambahkan, RUU PKS tidak bermaksud membolehkan tindakan yang dilarang agama hanya karena tidak mencantumkannya dalam draft undang-undang. “Ketika sebuah larangan agama tidak diatur dalam RUU ini, tidak berarti pembolehan atas apa yang dilarang agama. Tindakan tersebut tetap dilarang, namun tidak termasuk domain RUU PKS karena tidak mengandung unsur kekerasan seksual,” tegasnya.
Justru, menurut Maria, RUU PKS menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman seperti kontra-kekerasan dan menganggap semua manusia sebagai makhluk yang mulia. Pada hakikatnya, kekerasan seksual menyalahi kemanusiaan, melanggar Hifdhuddin dan martabat kemanusiaan korban (Hifdhul Irdl), ujarnya.
Selain itu, kekerasan seksual turut melanggar pendidikan korban (Hifdhul Aql), melanggar akses ekonomi (Hifdhul Mal), rusaknya organ dan fungsi reproduksi (melanggar Hifdhun Nasl), dan melanggar prinsip Hifdhun Nafs (memicu bunuh diri korban kekerasan seksual).
“Allah memuliakan manusia dan kekerasan seksual menciderai kemuliaan manusia, baik kemanusiaan pelaku karena hanya bersikap seperti pejantan atau betina, maupun kemanusiaan korban karena diperlakukan sebatas pejantan atau betina,” ujar Maria.
Islam mengajarkan bahwa posisi perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah setara. Kekerasan yang seringkali terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang menyalahi kesetaraan tersebut. Baik perempuan maupun laki-laki haruslah terbebas dari berbagai bentuk kekerasan seksual. Semua orang harus merasa aman dalam berkehidupan.
RUU PKS sebenarnya merupakan jawaban dari kekosongan hukum di Indonesia yang belum mengatur secara detil ihwal kekerasan seksual, pencegahan, dan pendampingan penyintas kekerasan seksual. Maka dari itu, hukum pidana yang berperspektif korban memiliki urgensi besar yang tidak bisa ditemukan dalam KUHP, UU PKDRT, dan UU Perlindungan Anak.
Menurut Sri Wiyanti Eddyono, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang juga menjadi narasumber diskusi publik tersebut, hukum di Indonesia masih banyak mengatur ihwal hak-hak pelaku kekerasan seksual dan alpa memperhatikan korban sebagai pihak yang terpapar secara langsung.
“Kekerasan seksual masih dianggap sebagai kejahatan seksual biasa. Dari 500 pasal, hanya tiga pasal yang berbicara tentang hak-hak korban. Padahal, korban kekerasan seksual mengalami dampak besar secara fisik maupun psikis,” ujar Sri.
Sri mengatakan kekerasan seksual adalah kasus bersama sehingga semua elemen masyarakat harus bahu-membahu untuk mewujudkan kehidupan tanpa kekerasan seksual. Meski begitu, negara sebagai ulil amri punya tanggung jawab untuk segera mensahkan RUU PKS, ujarnya.
Negara wajib hadir memberikan perlindungan secara sistemik kepada rakyatnya meliputi pencegahan, proses hukum yang menjadi keadilan bagi korban maupun pelaku, hingga rehabilitasi dan pemulihan korban dan pelaku. RUU PKS telah mencakup semua itu karena merupakan hukum yang lebih berperspektif korban.
Sering kali, korban kekerasan seksual menginternalisasi masalah kekerasan seksual yang dialami sampai depresi dan trauma berkepanjangan karena perkosaan seringkali dianggap sebagai zina. Akibatnya, korban sulit mendapat perlindungan hukum dan malah mendapat sanksi sosial karena dianggap orang tidak baik.
Korban mengalami victim blaming dan dianggap turut memiliki andil dalam kekerasan seksual yang dialami. Alih-alih memberikan perlindungan dan dukungan kepada korban, banyak masyarakat bahkan penegak hukum yang berlaku seksis dan melakukan reviktimisasi kepada korban yang umumnya perempuan.
Padahal Islam sangat memuliakan perempuan. KH. M. Ikhsanuddin, dekan Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Quran An Nur, mengatakan Islam sejak zaman Nabi Muhammad sudah melarang kekerasan seksual dalam bentuk perbudakan seksual dan perkosaan.
Dalam hubungan suami-istri sekalipun, laki-laki tidak boleh memukul perempuan dengan niat menyakiti. Bahkan, ada tafsir bahwa ada bagian tubuh tertentu yang boleh dipukul. Pun, pukulan tersebut hanya boleh dilakukan menggunakan siwak (sikat gigi).
“Syech Nawawi berkata bahwa hanya ada beberapa bagian tertentu yang boleh dipukul. Tidak boleh memukul kepala, tidak boleh melukai, tidak boleh memukul wajah, dada, perut, tidak boleh memukul kemaluan. Itu kaidahnya,” ujar tokoh Pesantren Krapyak tersebut.
RUU PKS memiliki urgensi besar untuk segera disahkan untuk menambal kekosongan hukum yang mengatur kekerasan seksual. Penting untuk terus mengawal proses pengesahan RUU PKS sembari terus melakukan advokasi ihwal betapa pentingnya RUU PKS untuk kehidupan yang lebih aman tanpa kekerasan seksual karena ada produk hukum pidana yang jelas dan berperspektif korban.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa
Comments