“Apakah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) ini bisa kita setujui, untuk diteruskan dalam sidang paripurna untuk pembicaraan tingkat II?” ujar Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Supratman Andi Agtas di akhir rapat pleno tingkat I, Rabu (6/4).
Pertanyaan tersebut disambut kesepakatan oleh para peserta rapat, sebelum Supratman mengetuk palu sidang.
Belakangan, proses pengesahan RUU yang telah diusulkan sejak 2016 itu, tergolong signifikan. Mulai dari Presiden Jokowi yang mendukung pada Januari lalu, DPR yang mengesahkannya sebagai RUU inisiatif, hingga pengesahannya yang ditargetkan paling lambat 14 April mendatang.
Selain itu, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS DPR RI Willy Aditya menyatakan RUU TPKS juga mengatur bantuan restitusi kepada pelaku kekerasan seksual. Apabila pelaku tidak dapat mencukupinya, negara dapat memberikan kompensasi.
“Itu juga sebuah proses luar biasa, merupakan lompatan signifikan,” katanya, Rabu (6/4) pada Kompas TV.
Ia menambahkan, saat ini terdapat 19 jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 4, dan dibagi ke dua kelompok. Dalam Pasal 4 ayat 1, tercatat ada sembilan jenis kekerasan seksual, dengan pengaturan sanksi pidana yang diatur dalam RUU TPKS.
Seperti pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Sementara di Pasal 4 ayat 2, adalah jenis kekerasan seksual dengan sanksi pidana yang merujuk pada aturan perundang-undangan lain.
Misalnya, pemerkosaan, perbuatan cabul—termasuk persetubuhan dan eksploitasi seksual terhadap anak, perilaku melanggar kesusilaan yang tidak dikehendaki korban, serta pornofrafi yang melibatkan anak, atau memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.
Serta kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, pencucian uang yang berasal dari kekerasan seksual, pemaksaan pelacuran, dan perdagangan orang untuk eksploitasi seksual.
Kendati demikian, berdasarkan draf terakhir, masih ditemukan beberapa hal problematik dalam RUU TPKS. Magdalene telah merangkum beberapa aspek yang perlu digarisbawahi, berdasarkan proses pembahasan dalam rapat tersebut.
Baca Juga: RUU TPKS Sah Jadi Inisiatif DPR, Apa Selanjutnya?
1. Pasal Aborsi dan Pemerkosaan Dihapus
Jika sebelumnya pemaksaan aborsi dan pemerkosaan tertera dalam RUU TPKS Pasal 15 dan 16, serta termasuk dalam sembilan bentuk kekerasan seksual, pasal-pasal tersebut justru dihapuskan.
Willy menyatakan, pasal tersebut dihilangkan karena sudah tertera dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). “Kita tidak ingin satu norma hukum diatur dalam dua undang-undang, akan terjadi overlapping,” jelas Willy.
Sementara terkait pasal pemaksaan aborsi, menurut politikus dari Partai Nasdem tersebut telah terdapat dalam UU Kesehatan, sehingga sudah cukup terwakilkan.
Penghapusan itu menghilangkan prinsip RUU TPKS, lantaran tidak memvalidasi pengalaman korban dan mengabaikan haknya untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.
Pun undang-undang yang sudah ada belum cukup menjamin korban, karena tingginya tekanan psikologis dan sosial, serta kesehatan yang berpotensi berakhir pada kematian. Berkaca pada sejumlah peristiwa yang terjadi, korban pemerkosaan yang melakukan aborsi justru memutuskan bunuh diri. Atau dipenjara, seperti yang dialami WA, remaja perempuan berusia 15 tahun yang diperkosa kakak laki-lakinya, pada 2018 silam. Meski ditemani sang ibu untuk menggugurkan kandungan, ia malah divonis enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi.
Kejadian tersebut menunjukkan minimnya perlindungan hukum dan dukungan konseling, yang sebetulnya adalah hak korban.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Adalah Masalah Negara
2. Hak Disabilitas Dikesampingkan
Hingga saat ini, sejumlah pasal dalam RUU TPKS masih tak berpihak pada penyandang disabilitas.
Hal ini tertulis dalam beberapa pasal, seperti Pasal 25 ayat 5 tentang hasil pemeriksaan kesehatan jiwa yang dilihat sebagai penilaian personal. Kemudian Pasal 25 ayat 4 yang melemahkan pembuktian saksi korban difabel. Serta Pasal 25 ayat 6 yang keliru memahami fungsi penilaian personal, bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR RI telah mencantumkan keterangan penyandang disabilitas, “Memiliki kesamaan nilai dengan non-disabilitas,” kata Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti yang mengutip Pasal 19 draf RUU TPKS.
Namun dalam draf terbaru, ketentuan pasal mengenai keterangan saksi dan/atau korban difabel justru berubah. "Ini adalah perkembangan yang sangat mengkhawatirkan karena semakin memperkuat stigma dan sangat menyulitkan penyandang disabilitas untuk melaporkan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya atau orang lain," kata Yeni pada Tempo.co.
Koalisi penyandang disabilitas juga telah mengusulkan keberatan pada 30 Agustus 2021, melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Akibat perubahan tersebut, penyandang disabilitas yang merupakan korban kekerasan seksual, akan semakin terhambat dalam memberikan laporan dan memberikan keterangan. Sehingga penanganannya justru membahayakan mereka.
Baca Juga: Tolak RUU PKS, Mereka Berlindung di Balik Kedok Feminisme
3. Penambahan 5 Ayat KSBE
Berdasarkan pernyataan Willy, Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik merupakan satu dari sembilan jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 14. “Ini tentu progres yang progresif untuk kemudian bisa kita tampung,” katanya.
Adapun pasal tersebut mencakup beberapa hal. Pertama, merekam, mengambil gambar atau tangkapan layar, dengan unsur seksual tanpa persetujuan orang yang bersangkutan.
Kedua, menyebarkan informasi maupun dokumen elektronik bermuatan seksual, yang ditujukan terhadap keinginan seksual tanpa kehendak penerima. Ketiga, menguntit atau menggunakan sistem elektronik terhadap objek informasi, dengan tujuan seksual.
Akibatnya, pelaku akan menerima hukuman penjara empat tahun, dan denda maksimal Rp200-300 juta apabila pelaku melakukan pemerasan. Melansir CNN Indonesia, penentuan nominal tersebut disesuaikan atas denda kejahatan lainnya, agar tidak terjadi perbedaan.
4. Fraksi PKS Masih Menolak
PKS masih bersikeras menolak pengesahan RUU TPKS sebagai undang-undang. Dalam rapat pleno tersebut, Al Muzzammil Yusuf selaku Badan Legislatif (Baleg) fraksi itu menyebutkan, mereka enggan menyepakatinya sebelum RKUHP disahkan.
“Kami menolak Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi undang-undang, dan dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai peraturan perundang-undangan, sebelum didahului pengesahan RUU KUHP,” jelasnya.
Pun pasal-pasal dalam RUU TPKS hanya mengatur perkara kekerasan. Sementara mereka ingin mengusulkan ketentuan larangan hubungan seksual LGBT, dan mengatur hubungan seksual di luar pernikahan yang didasarkan pada consent—karena dianggap zina.
“Terutama perzinaan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan sah, karena masih merujuk Pasal 284 KUHP lama yang belum diubah,” ujar Al Muzzammil. “Serta perbuatan seksual sesama jenis yang dilakukan orang dewasa, karena masih merujuk pasal 292 KUHP yang belum direvisi.”
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments