Women Lead Pendidikan Seks
July 15, 2022

Saatnya Berhenti Menghina Perempuan Lajang

Mengolok-olok perempuan lajang sudah tercatat lama dalam sejarah manusia. Kartini bahkan pernah meng-‘call out’ mereka yang nyinyir pada perempuan lajang.

by Theresia Amadea, Reporter
Issues // Politics and Society
4 New Year’s Resolutions for a Healthier Environment in 2022
Share:

“Aduh! Betapa hina orang yang sering kali membicarakan perempuan membujang!”

Begitu tulis R.A. Kartini 120 tahun lalu, pada orang yang sering menggunjing perempuan lajang. Kritik itu ia torehkan di suratnya kepada Ny R.M. Abendanon-Mandri. Kartini memang populer dikenang karena perjuangan menyuarakan pentingnya pendidikan untuk perempuan Indonesia, tetapi yang jarang dibahas, ia juga vokal mengkritisi keharusan perempuan menikah muda karena tuntutan adat.

Konsep pernikahan monogami sudah dikenal sejak 1.000 tahun lalu. Mengutip dari Christopher Opie dalam Male Infanticide Leads to Social Monogamy in Primates (2013), ikatan manusia yang akhirnya dikenal dengan pernikahan ditujukan awalnya untuk bertahan hidup. Pria mengikat hubungan dengan seorang perempuan, agar bisa melindungi dari laki-laki lain yang mengancam keselamatan hidupnya.

Sejak tahun 1250-1300, pernikahan lalu berubah jadi alat menjaga tradisi, kekuasaan, dan harta karena keterlibatan agama dan negara. Konsep pernikahan versi agama ini lalu kawin dengan budaya patriarki yang melihat laki-laki heteroseksual sebagai gender paling penting sekaligus pemimpin. Sehingga, aturan-aturan yang lahir dalam konsep pernikahan yang hadir saat itu dan dipelihara hingga kini masih sering hanya menguntungkan gender tersebut—yang tentu saja merugikan perempuan dan gender minoritas lainnya.

Meski di era modern nilai tradisional tidak sekuat dulu, tetapi diskriminasi kepada perempuan lajang tetap masih ada. Tidak hanya sudah mendarah daging, tetapi sudah dianggap hal lumrah di masyarakat.

Contohnya kata jomlo yang berasal dari Bahasa Sunda, yang artinya gadis tua. Meski saat ini kata tersebut juga bisa diterapkan kepada pria bujang, tetapi awal mula ia tercipta adalah untuk menjuluki perempuan yang tidak menikah sekaligus memasang stigma pada mereka.

Seperti kata Kartini dalam surat yang sama, masyarakat menggiring opini bahwa tidak menikah adalah sebuah aib, bahkan dosa.

“Orang mencoba mau membohongi kami, bahwa tidak kawin itu bukan hanya aib, melainkan dosa besar pula. Telah berulang kali hal itu dikatakan kepada kami.”

Namun, benarkah sehina itu perempuan lajang? Dari mana asalnya tuntutan tersebut?

Baca juga: Panggil Kartini Manusia Biasa Saja

Mengapa Perempuan Harus Menikah?

Jika melihat latar belakang Kartini, adat yang ia rasa mengengkang berasal dari budaya Jawa. Dari nilai sebagai perempuan Jawa hingga peran dan ungkapan yang memperlihatkan posisi perempuan lebih rendah ketimbang pria.

Kartini menganggap bahwa nilai kearifan dari budaya Jawa mengenai perempuan sudah tidak relevan. Pada era modern nilai kearifan itu juga dianggap tidak relevan, hal ini ditunjukan dalam artikel ilmiah Nilai-Nilai Perempuan Jawa (2015) yang ditulis dosen Universitas Gadjah Mada, Hastanti Widy.

“Melihat sekilas nilai-nilai kearifan Jawa seperti kerukunan, penghormatan, pengendalian diri, nrima, sabar dan sumarah, tampak bahwa nilai-nilai tersebut tidak relevan untuk diterapkan pada kondisi saat ini. Kehidupan yang demikian materialis penuh kompetisi sangat berlawanan dengan nilai-nilai tersebut,” tulis Hastanti dalam jurnalnya.

Dalam penelitian yang sama disebutkan ada beberapa ungkapan dan peran perempuan Jawa. Istilah tersebut menunjukkan bahwa derajat perempuan tidak sama dengan pria dan tugasnya hanya untuk melayani suami.

Tuntutan peran itu bahkan bisa dilacak dari kata wanita yang berasal dari ”wani ditata”--yang dalam budaya Jawa memiliki makna berani ditata. Pandangan ini memperlihatkan perempuan hanya sebuah objek yang ditata, atau harus diatur.

Masih ada istilah dalam budaya Jawa lainnya yang juga memberi batasan peran perempuan.  Kanca wingking—teman di belakang—juga memperlihatkan peran perempuan hanya boleh di sektor domestik dan tidak berhak berperan di sektor publik. Peran dalam sektor domestik ini pun memiliki ungkapan sendiri, masak, macak, manakyang artinya, perempuan hanya memiliki tugas di dapur untuk memasak, mempercantik diri, dan menghasilkan keturunan.

Urusan surga dan neraka pun juga dipengaruhi pria. Ada sebuah ungkapan suwarga nunut, neraka katut, yang berarti jika suami masuk surga istri akan ikut, dan sebaliknya jika suami masuk neraka istri mau tak mau harus ikut.

Pemberian julukan ini masih terjadi hingga saat ini. Terlebih untuk perempuan yang memilih tidak menikah. Julukan dengan konotasi negatif yang malah dianggap lumrah untuk masyarakat biasa.

Baca juga: Distigma dan Direndahkan: Sulitnya Jadi Perempuan Jomblo di Jepang

Normalisasi Julukan Jelek Perempuan Lajang Lewat Bahasa dan Media

Film pendek Tilik, yang sempat viral 2020 bersama konteks feminisme yang dibawanya, juga menunjukan fenomena perempuan lajang di mata masyarakat patriarki. Bu Tedjo, salah satu karakter utama, memberi banyak olokan kepada Dian salah satu perempuan yang fokus mengejar karier dan menunda pernikahan, sementara anak laki-laki Bu Lurah yang sama lajangnya tidak mendapat perlakuan serupa.

“Diannya aja tuh yang aneh-aneh. Orang udah seumurannya kok belum menikah. Temen-temennya aja udah nikah semua,” ucap Bu Tedjo mengomentari kelajangan Dian.

Tidak hanya di Indonesia, julukan serupa juga muncul di Abad Pertengahan. Perempuan lajang yang sudah berumur sering dipanggil spinster. Menurut kamus Merriam-Webster spinster adalah julukan kepada perempuan lajang dengan konotasi negatif.

Kata spinster ditulis dalam data legal untuk administrasi pekerjaan seseorang. Dan ternyata, bahasa ini lahir dari kekagetan masyarakat melihat perempuan yang lebih berdaya atas dirinya sendiri.

“Selama akhir Abad Pertengahan, pedagang perempuan yang menikah lebih mudah mendapatkan pekerjaan berstatus lebih tinggi dan berpenghasilan lebih tinggi daripada perempuan yang belum menikah. Perempuan yang belum menikah berakhir dengan status rendah, pekerjaan berpenghasilan rendah seperti memintal wol, maka mereka disebut spinster,” ungkap kamus Merriam-Webster di laman resmi mereka.

Adanya stereotip yang merendahkan posisi perempuan lajang juga berpengaruh pada psikologis. Penelitian Identitas “Lajang” (Single Identity) dan Stigma: Studi Fenomenologi Perempuan Lajang di Surabaya yang dilakukan Septiana dan Syafiq (2013) mengidentifikasi tiga hal mengenai psikologis partisipan.

Pengalaman terkait stigma terhadap identitas lajang, kondisi psikologis akibat stigma terhadap lajang, dan cara menghadapi tekanan dan stigma.

Bentuk stigma yang sering didapatkan partisipan penelitian tersebut antara lain, perawan tua, perempuan tidak laku, dan dianggap tertutup yang tidak mendukung terjalinnya hubungan intim.

Stigma-stigma itu membuat adanya perasaan tertekan dan kesepian. Namun, dalam penelitian juga disebutkan partisipan menemukan cara untuk menghadapi gunjingan tersebut. Mereka mempunyai cara melihat sisi positif sebagai lajang. Memaknai kembali status lajang lebih positif, menghindari situasi yang menimbulkan stigma, dan menyerahkan diri pada takdir.

Baca juga: Perempuan Bukan Barang Dagangan, Tak Punya Masa Kedaluwarsa

Menjadi Lajang Bukan Berarti Tidak Bahagia

Anggapan bahwa perempuan lajang tidak bahagia karena tidak menikah pun belum tentu benar. Banyak penelitian menunjukan perempuan yang menikah belum tentu bahagia, dan sebaliknya tingkat kebahagian perempuan yang melajang lebih baik.

Jurnal Fenomena Sosial Pilihan Hidup Tidak Menikah Wanita Karier yang ditulis Indri Wulandari (2015), mencatat ada perubahan anggapan tentang pernikahan yang terjadi selama dua dekade sebelum penelitian itu rilis. Di antaranya, anggapan bahwa menikah bukan gaya hidup yang cocok untuk semua orang, pernikahan sering kali ditunda, pasangan hidup bersama tanpa hubungan yang sah, dan semakin banyak wanita bekerja dan bekerja bersama untuk mencari nafkah.

Melansir dari Business Insider, Lisa Wade, pengajar di Occidental College dan penulis buku American Hookup, perempuan hari ini memiliki lebih banyak hak dan kesempatan dalam pernikahan dibanding beberapa dekade terakhir. Namun, mereka ternyata tetap kurang bahagia dari sebelum-sebelumnya. Hal ini diukur dari relasi mereka dengan hal-hal yang bikin mereka bahagia, ataupun yang berkaitan dengan laki-laki.

Lisa juga menulis, perkawinan heteroseksual merupakan lembaga yang tidak setara, terlebih jika dilihat dari peran yang dibagi dalam rumah tangga. Rata-rata perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan sosial dan bernilai rendah dalam rumah tangga, dibandingkan suaminya. Bahkan, perempuan juga menyadari ketimpangan dalam urusan rumah tangga tersebut.

Hal yang memperparah rendahnya kebahagian perempuan yang menikah yaitu, perempuan demi menikah cenderung merelakan kesenangan dan karier. Perempuan mengorbankan diri hanya untuk hubungannya dengan anak-anak dan suami. Karena itu, banyak perempuan kurang berminat untuk menikah, dan banyak yang mengajukan perceraian dan lebih memilih untuk tidak menikah lagi.

Mengutip dari The Guardian, Profesor Paul Dolan, seorang profesor perilaku di London School of Economics menulis dalam bukunya, Happiness by Design, perempuan lajang tanpa anak lebih bahagia daripada yang sudah menikah. Banyak perempuan lajang yang membaca tulisannya merasa berterimakasih telah menyuarakan kebahagian mereka melajang.

“Saya mendapat banyak email dari perempuan lajang yang mengucapkan terima kasih karena sekarang orang mungkin mulai mempercayai mereka ketika mereka mengatakan bahwa mereka benar-benar baik-baik saja,” ungkap Dolan.

Ia menambahkan bahwa perempuan lajang akan mendapatkan tantangan secara internal sebagai perempuan lajang, karena pengalaman mereka berbeda dengan apa yang diharapkan dari masyarakat.

Sehingga tidak benar menganggap seorang perempuan lajang otomatis tidak bahagia karena status relasinya. Mereka memiliki kebahagiaan sendiri dalam keputusannya melajang. Tidak menikah bukan artinya tidak bahagia, karena standar kebahagiaan tiap orang berbeda.

Sekira 120 tahun lalu, Kartini sudah mengingatkan hal itu pada orang di sekelilingnya. Entah perlu berapa lama lagi agar anggapan kolot pada status lajang seorang perempuan bisa hilang. Setidaknya, jika sekelilingmu masih dipenuhi orang-orang demikian, kamu bisa mengikuti cara Kartini dan bilang ke mereka: Saatnya berhenti menghina perempuan lajang!

Theresia Amadea, reporter yang bermimpi hidup dengan tulisannya dan hidup sederhana dengan circle pilihannya. Menyukai budaya Korea dan Jepang dan bermimpi kuliah lanjut ke Eropa.