Seorang kenalan saya suatu kali menulis dalam blognya soal mengapa dia tidak pernah ingin bunuh diri selama melalui periode terburuk dalam hidupnya. Dia bukanlah seorang penganut taat agama apa pun atau percaya Tuhan, ia menulis. Pada dasarnya, dia melandasi pilihannya itu dengan akal sehat.
Dia berpikir bahwa bunuh diri sama sekali tidak masuk akal. Dengan tetap hidup, dia akan bisa mengalami hal-hal yang lebih baik, lebih indah, dan menyenangkan. Sementara, dia pikir, bunuh diri hanya akan membawa akhir yang tidak pasti untuk segalanya. Baginya, orang yang ingin bunuh diri adalah orang bodoh yang tidak tahu bagaimana menikmati hidup mereka.
Saya pernah mencoba bunuh diri, dan tentu saja percobaan itu gagal. Saya meminum obat yang dijual bebas tanpa resep yang tidak akan bisa membunuhmu, kecuali kamu menelan ratusan butir. Saya bangun keesokan harinya dengan diare yang berdarah dan perasaan tidak berguna, tetapi saya masih hidup. Andai saja dulu saya sudah menjadi seorang dokter seperti sekarang ini, saya pasti akan melakukannya dengan lebih efektif.
Alasan saya melakukan hal itu sebenarnya cukup klasik: Pacar saya mengancam akan meninggalkan saya. Dia dua tahun lebih tua dari saya dan sudah kuliah. Kami bertemu melalui percakapan daring. Dia posesif, jadi kami sering bertengkar tentang hal-hal seperti larangan untuk saya bergabung dengan sebuah band, mengapa saya harus bergabung dengan gerejanya ketika kami menikah, ketidaksukaannya dengan cara saya berpakaian, dan sebagainya. Tapi saya mencintainya. Tepatnya saya terikat sekali padanya, seperti orang gila.
Kamu mungkin berpikir saya bodoh dan saya bisa memahami pemikiranmu itu. Tapi pengalaman saya pada periode itu bukanlah yang terindah dalam hidup saya. Sepanjang yang saya ingat, saya punya kemampuan yang kurang dalam bersosialisasi. Selalu sulit bagi saya untuk berteman. Saat itu saya duduk di bangku kelas 11, menjadi seorang remaja yang berkacamata dengan kepercayaan diri yang sangat rendah, yang selalu berkeringat terlalu banyak, selain menjadi siswa yang cerdas.
Saya bersekolah di sekolah swasta terbaik di kota yang isinya kebanyakan murid borjuis. Sejak kelas 7, saya punya satu teman. Dia adalah seorang tomboi yang benar-benar terlihat seperti laki-laki. Kami sering mengobrol dan nongkrong bareng karena itulah yang “orang aneh” lakukan bersama.
Baru pada beberapa bulan menjelang kelulusan SMA, saya akhirnya mengerti kenapa teman-teman sekolah selalu menggoda, mengganggu, dan secara umum membenci kami berdua. Selama bertahun-tahun, mereka menyebar gosip bahwa kami lesbian. Saya yakin itulah juga sebabnya kebanyakan anak laki-laki canggung atau enggan ketika mereka harus berdansa dengan saya di retret tahunan kami.
Di tengah kekacauan ini, saya jadi menempel terus pada pacar saya seakan dialah pelindung saya. Ia berasal dari latar belakang dan etnis yang berbeda. Dia lebih rendah hati daripada siapa pun di sekolah saya. Saya merasa seperti dia satu-satunya, di samping keluarga saya yang tidak begitu harmonis, yang benar-benar menerima saya. Mencintai saya. Peduli pada saya.
Dia tidak canggung atau ragu saat menyentuh saya. Saya melakukan hubungan seksual pertama saya dengannya. Dia meminta saya untuk melakukan hal-hal seksual yang sebenarnya tidak saya sukai, tetapi pada akhirnya saya tetap melakukannya. Demi dia. Maka, ketika dia berkata akan meninggalkan saya, tidak heran dunia saya serasa runtuh.
Baca juga: Pandemi, Kesehatan Mental, dan Papa yang Memilih Pergi
Keinginan untuk Bunuh Diri Karena Putus Asa
Saat kamu menelusuri "bunuh diri" di mesin pencarian internet, kamu akan menemukan sudut pandang baru. Tidak semua orang berpikir bahwa bunuh diri adalah tindakan egois dan bodoh lagi. Beberapa penyintas telah angkat bicara. Mereka berbicara tentang bagaimana perasaan, rasa sakitnya, juga tentang rasa sakit yang lebih buruk ketika upaya bunuh diri mereka gagal, lantas orang-orang tahu dan mulai menghakimi.
Ini adalah pertama kalinya saya membuka tentang episode hidup saya ini. Saya tidak pernah memberi tahu siapa pun kecuali pacar saya, yang kemudian menertawakan saya. Tapi terhadap orang-orang itu, para penyintas upaya bunuh diri, saya bisa merasakan apa yang mereka lalui. Apa yang terjadi pada saya bahkan tidak seburuk mereka, tetapi kami berada dalam situasi dan keadaan pikiran yang serupa.
Orang-orang mengatakan kepada para penyintas itu betapa egoisnya mereka, betapa bodoh dan tidak berterima kasihnya mereka. Faktanya adalah, pada saat itu mereka sangat menderita sehingga akal sehat mereka berhenti bekerja. Bukannya mereka tidak memikirkan orang yang mereka cintai atau masa depan, mereka hanya tidak bisa pada saat itu. Semua logika gagal masuk ke kepala mereka. Semua akal sehat telah hilang. Semuanya menyakitkan dan satu-satunya pikiran yang tersisa adalah bagaimana membuatnya berhenti.
Keinginan bunuh diri yang tinggi bukan soal kebodohan atau keegoisan. Ini adalah tentang keputusasaan, menjadi tuli dan dibutakan oleh rasa sakit, dan menjadi begitu tercekik oleh kesepian yang membuatmu mulai mendengarkan bisikan-bisikan gelap di telinga kamu sendiri.
Rasa sakit yang kita rasakan adalah hal yang subjektif. Bagi orang yang mengidap depresi klinis, cuaca buruk atau bunga yang layu mungkin cukup untuk memicu yang perasaan terburuknya. Bagi penderita gangguan stres pascatrauma (PTSD), suara kembang api di malam tahun baru bisa memicu rasa takut, yang kemudian bisa mendorong munculnya rasa sakit. Bagi seorang siswa yang dirundung, mendapati teman sekolah yang populer berulang kali menertawakan penampilannya sudah cukup menjadi beban berat.
Baca juga: Bunuh Diri pada Anak Muda dan Bagaimana Menghadapinya
Menjadi orang yang punya keinginan bunuh diri yang tinggi, betapa pun sepele alasannya bagi kita, bukanlah tentang kebodohan atau keegoisan. Ini adalah tentang keputusasaan, perasaan bahwa diri kita dibuang dan tidak diinginkan. Menjadi bukan siapa-siapa. Ini adalah tentang menjadi tuli dan dibutakan oleh rasa sakit yang entah bagaimana tidak dapat dibagikan ke orang lain. Ini adalah tentang menjadi begitu tercekik oleh kesepian sehingga kondisi ini membuatmu mulai mendengarkan bisikan-bisikan gelap di telinga kamu sendiri. Atau kalaupun kamu selamatkan dari kesepian, kamu akan berpikir di masa depan kamu hanya akan ditinggalkan dan sendirian lagi.
Hari ini, hidup saya lebih baik. Masa sekolah saya di SMP dan SMA adalah periode paling kacau dalam hidup saya, tetapi saya merasakan jauh lebih baik saat memasuki dunia kuliah. Dan sekarang, setelah saya lulus, bepergian ke berbagai tempat, bekerja jauh dari rumah selama hampir tiga tahun, dan akhirnya memiliki pacar yang bijaksana, semuanya tampak jauh lebih jelas.
Saya berharap kenalan saya yang saya sebut di awal tulisan akan membaca ini. Bukan karena dia sepenuhnya salah. Kami hanya memiliki sudut pandang yang berbeda dan kami tidak pernah berada di posisi satu sama lain. Saya senang dia tidak pernah mengalami semua hal buruk yang saya alami, dan saya harap dia tidak akan melaluinya.
Saya hanya ingin mengatakan kepadanya bahwa menurut saya, alasan mengapa saya tidak ingin mencoba bunuh diri lagi bukanlah karena saya telah tumbuh menjadi individu yang lebih pintar, atau saya jadi tidak terlalu egois sekarang. Saya baru saja melihat lebih banyak sisi dunia dan beruntungnya, hal tersebut membuat saya lebih bahagia.
Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments