Sejak Desember 2017 hingga Februari 2018, penyerangan terhadap pemuka agama terjadi 21 kali di berbagai tempat, 15 kali (71 persen) di antaranya dilakukan oleh orang yang diduga mengalami gangguan jiwa.
Dalam pemberitaan mengenai penyerangan beruntun pemuka agama, banyak tokoh masyarakat maupun media melabeli terduga pelaku dengan sebutan “orang gila”.
Tepatkah penggunaan kata “gila” dalam konteks tersebut?
Apa Arti Kata ‘Gila’ dan ‘Sakit Jiwa’?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ada lima pengertian kata “gila”, yaitu:
- sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal);
- tidak biasa; tidak sebagaimana mestinya; berbuat yang bukan-bukan (tidak masuk akal);
- terlalu; kurang ajar (dipakai sebagai kata seru, kata afektif); ungkapan kagum (hebat);
- terlanda perasaan sangat suka(gemar, asyik, cinta, kasih sayang);
- tidak masuk akal.
Dari lima pengertian kata “gila”, ada satu yang merujuk pada “sakit jiwa” dan inilah yang akan saya bahas dalam artikel ini. Bila kita menggunakan kata gila dalam konteks gangguan jiwa, maka kita perlu paling tidak memahami sedikit mengenai klasifikasi gangguan jiwa.
Klasifikasi gangguan jiwa ditentukan berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman praktik yang dituangkan dalam buku panduan klasifikasi gangguan jiwa.
Negara-negara di dunia dapat memiliki buku panduan yang berbeda, walau isi buku panduan antarnegara cenderung sama. Misalnya, di Amerika Serikat, dokter dan psikolog menggunakan buku panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) yang diterbitkan pada 2013 oleh American Psychiatric Association.
Baca juga: Kutukan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Itu Bernama Stigma
Di Jerman dan banyak negara Eropa lainnya, dokter dan psikolog menggunakan buku panduan International Classification of Disease-10 (ICD-10) yang diterbitkan oleh World Health Organisation (WHO) pada 2016, khususnya Bab V bagian Mental and Behavioral Disorders (Gangguan Mental dan Perilaku). Buku panduan tersebut dibuat sesuai dengan sistem medis di negara-negara tersebut.
Di Indonesia terdapat buku panduan berjudul Pedoman dan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ-3) yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada 1993. Diagnosis gangguan jiwa oleh dokter jiwa (psikiater) di Indonesia harus mengikuti buku panduan PPDGJ-3 dan ICD-10 atas dasar Keputusan Menteri Kesehatan pada 2015.
Psikolog juga bisa mendiagnosis gangguan jiwa, tapi di Indonesia belum ada produk hukum yang melindungi baik psikolog maupun konsumennya. Pada 2018, saya bersama dengan tim operasional dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) sedang menyusun naskah akademik untuk membuat Rancangan Undang-Undang Praktik Psikologi (yang pada tahun ini sudah masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021).
Beragam Jenis Gangguan Jiwa
Kalau kita mengintip ICD-10, kategori gangguan jiwa sangat beragam. Di ICD-10 ada kategori mengenai sindrom ketergantungan dari kategori gangguan jiwa dan perilaku karena penggunaan tembakau (merokok). Seseorang dapat mendapatkan diagnosis ini kalau ia adalah seorang perokok dan tidak bisa berhenti merokok, walau ingin berhenti. Ia sakit jiwa, tapi apakah dia “gila”?
Ada kategori lain mengenai kesulitan tidur yang non-organik, yaitu saat seseorang sulit untuk tidur atau sering bangun saat tidur malam untuk waktu yang cukup lama dan sudah agak mengganggu kegiatan sehari-hari. Kalau seseorang menderita insomnia seperti ini, maka ia sakit jiwa, tapi apakah itu bisa disebut “gila”?
Baca juga: Mengapa Media Perlu Samarkan Foto Orang Gangguan Jiwa
Ada juga kategori mengenai ejakulasi dini. Orang yang mengalami ejakulasi dini masuk dalam kategori gangguan jiwa ini, tapi apakah dia “gila”?
Terakhir, ada kategori untuk skizofrenia hebefrenik. Seseorang yang menderita masalah ini mungkin tidak bisa bicara dengan teratur dan dapat jalan-jalan di tempat umum tanpa mengenakan pakaian. Apakah penderita yang disebut “gila”?
Kategori gangguan jiwa, serupa dengan kategori sakit fisik, memiliki tingkatan dari ringan hingga berat, dari “sekadar” tidak bisa berhenti merokok hingga tidak bisa bicara dengan teratur. Oleh karena itu, kalau menyebut seseorang “gila”, apakah maksudnya seseorang tersebut susah tidur (menderita insomnia)?
Stigma dan Kapan Bisa Menggunakan Kata “Gila”
Selain masalah kerancuan kata gila, kata gila juga tidak baik untuk digunakan sebagai kata sifat dalam mendeskripsikan seseorang. Ada banyak stigma yang mengelilingi kata orang gila, dan semuanya negatif seperti mengamuk, melakukan kekerasan, dan tidak dapat dipahami.
Stigma yang melekat pada kata orang gila sudah sebegitu kuatnya, hingga kita merasa aneh kalau menyebut orang yang susah tidur sebagai “orang gila” atau orang yang tidak bisa berhenti merokok sebagai “orang gila”, padahal penggunaan itu tepat secara definisi KBBI.
Kalau menggunakan kata “gila” untuk gangguan jiwa itu rancu dan jahat, kapan kata “orang gila” itu tepat untuk digunakan? Ini sulit untuk dijawab. Tapi, yang mudah dan tepat adalah, berhenti menggunakan kata “gila” untuk menyebut orang yang menderita gangguan jiwa.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments