Ini baru tahun pertama saya kembali bekerja. Tiga tahun pertama menikah, saya adalah ibu rumah tangga, mengurus anak dan rumah. Awalnya ada perasaan bangga saya bisa mendidik dan mengasuh anak dengan tangan sendiri. Tapi di tahun ketiga, saya merasa kehilangan diri sendiri.
Saya mantan jurnalis. Saya terbiasa berkelana sana sini, berdiskusi banyak isu dengan banyak orang, dan melakukan hal-hal yang membuat saya merasa "terisi". Tapi saya tak punya pilihan.
Sebelum menikah, saya mengundurkan diri dari pekerjaan karena peraturan perusahaan melarang suami istri bekerja satu kantor. Setelah menikah saya langsung hamil dan tak ada perusahaan yang mau menerima perempuan hamil di tahun pertama ia bekerja. Padahal, saat itu saya lulus uji kompetensi dan tinggal negosiasi kontrak kerja.
Saya memutuskan, baiklah, saya bisa di rumah sambil bekerja lepas waktu. Tapi seperti yang awal saya bilang, lama kelamaan saya merasa kosong.
Baca juga: Ketika Perempuan yang Lebih Berdaya Sudutkan Sesama Perempuan
Orang bilang, mengurus anak pun seharusnya jadi hal yang membahagiakan. Mereka mengatakan, mengurus suami dan rumah semestinya jadi hal yang menyibukkan. Katanya, menjadi ibu rumah tangga adalah sesuatu yang mulia, bahwa anak memang lebih baik diasuh oleh ibunya. Orang bilang, kekosongan di hati saya adalah akibat kurang iman. Orang bilang dan orang bilang..
Kekosongan yang saya rasakan juga diperparah dengan banyaknya seruan bahwa perempuan yang sukses adalah perempuan yang berkarier dan mandiri. Sebagai seorang perempuan yang tak berdaya karena kondisi dan situasi, saya akhirnya semakin berkecil hati.
Di tahun keempat pernikahan, setelah banyak pertimbangan saya memutuskan bekerja kembali sebagai copywriter. Banyak pertimbangan dan diskusi dengan suami yang saya lakukan sebelumnya. Saya sepakat, menjadi ibu adalah profesi yang mulia. Tapi dengan saya bekerja, saya tetap seorang ibu juga, kan?
Namun di sini, saya ingin membahas tentang kondisi di mana saya masih berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Percayalah, pekerjaan itu tidak mudah. Kamu harus berjuang menahan diri, merasa tak bisa punya cita-cita lagi. Saya yakin, semua perempuan ingin punya kesempatan untuk mengaktualisasi diri di samping hanya mengurus anak, suami dan rumah. Tapi ketika situasi membuat mereka tak berdaya, mereka bisa apa?
Baca juga: Sulitnya Gapai Impian Setelah Jadi Ibu
Rasanya, perempuan terlalu banyak dipaksa. Sebagian bilang menjadi ibu rumah tangga katanya mulia, tapi mereka yang sukses juga dibilang luar biasa. Akhirnya, sejumlah perempuan menjalankan itu semua karena desakan, bukan pilihan mereka sendiri.
Sebagai perempuan yang menyuarakan kesetaraan, rasanya kurang adil jika kita malah hanya bergegas menyerukan perempuan berkarya tanpa memberi dukungan emosional pada perempuan yang tidak berdaya seperti kondisi saya di awal tadi. Karena sering kali, perempuan bukan tidak mau, tapi tidak mampu.
Sudah saatnya juga yang kita desak terus menerus bukan si perempuannya, tapi kondisi dan infrastruktur di sekitar mereka yang bisa membuat mereka punya ruang untuk mengaktualisasi diri mereka. Dan tentu, lingkungan yang mendukung mereka secara emosional.
Dukungan kita terhadap karya perempuan memang perlu, tapi jangan sampai malah mengecilkan hati para perempuan yang tidak berdaya. Dukungan kita terhadap perempuan memang harus, tapi jangan sampai malah berujung menjadi desakan dan paksaan.
Karena membesarkan hati perempuan juga artinya memberi dukungan, bahwa mereka berharga dalam kondisi apa pun.
Comments