Teman saya, seorang peneliti muda, sukses membuat saya merenung belakangan ini. Ini bermula dari pertanyaan ia lewat telepon tempo hari, “Boleh enggak, sih aku ngomongin tentang LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks. Red)?”
Buat dia yang rajin meneliti dan membicarakan wacana LGBT, pertanyaannya kelewat aneh buat saya. Namun, saya paham posisinya yang tampaknya ingin menghormati saya yang merupakan bagian dari komunitas ini.
Ia bercerita, sebelumnya sempat mengikuti diskusi tentang transpuan-transmen, tapi acara ini dikritik karena tidak sepenuhnya direpresentasikan oleh orang LGBTI langsung. Dalam hemat pengkritik, acara semacam itu dinilai tidak simpatik terhadap minoritas seksual yang selama ini rentan mengalami penindasan di sana-sini. Seharusnya orang-orang yang dianggapnya non-LGBTI itu legowo memberikan panggung kepada LGBTI untuk berbicara mewakili dirinya sendiri. Sebab, ruang diskusi semacam itu akan sepenuhnya inklusif jika ada representasi LGBTI. Konon, karena kritik yang deras, salah satu pemateri kemudian mundur dari diskusi tersebut dan meminta maaf karena tak cukup representatif untuk berbicara.
Cerita itulah yang membuat saya merenung. Memangnya isu LGBTI hanya boleh dibicarakan oleh komunitasnya sendiri ya?
Menurut saya, LGBTI sebagai sebuah isu bisa dibahas oleh siapa saja, meskipun kita tahu komunitas ini biasanya paling mengerti dirinya sendiri. Pembicaraan itu pun jangan disekat-sekat hanya boleh di segmen masyarakat tertentu atau medium spesifik misalnya. Ya kita tahu, beberapa media, seperti Tirto, Vice, Magdalene cukup menunjukkan keberpihakan pada kelompok minoritas ini. Mereka terbilang vokal membicarakan LGBTI, memperluas pengetahuan, dan memutus stigma yang kerap melekat pada kelompok LGBTI.
Baca juga: Kepanikan Moral dan Persekusi atas Minoritas Seksual di Indonesia
Selain di media massa, ada ruang-ruang alternatif lain yang bisa digunakan untuk berbicara buat LGBTI atau mereka yang bersolidaritas. Tentu saja bukan ruang alternatif, seperti mural, yang sebentar-sebentar dihapus Satpol PP yang parnoan terhadap kritik. Diskusi adalah salah satu ruang untuk berbicara. Diskusi yang sehat, seperti yang saya singgung di awal, harus mampu menghadirkan perspektif komplit soal LGBTI. Kembali pada pertanyaan utama, siapa yang paling punya wawasan lengkap soal ini?
Mengingat individu LGBTI memiliki latar belakang yang berbeda-beda, ada yang miskin, menengah, ada yang dari kelas borjuis. Pun, ada juga yang beragama atau tidak beragama. Ada LGBTI dengan disabilitas. Ada yang menganut ideologi Indonesia harga mati, sosialisme, anarkisme, maka harus ada satu jembatan yang bisa memetakan pemikiran dan pengalaman mereka.
Baca juga: Kalibata City: Antara Mutilasi dan ‘Sanctuary’
Penelitian, pengajian, diskusi adalah cara serius yang dilakukan untuk menggambarkan situasi objektif komunitas LGBTI. Buat saya, siapa saja bisa menjadi bagian dari aktivitas penelitian hingga diskusi ini. Pasalnya, jika isu LGBTI hanya dibicarakan secara terbatas oleh kelompok mereka, bisa jadi ini bakal memicu terpecahnya komunitas tersebut secara keseluruhan.
Iya saya tahu, LGBTI sebagai sebuah komunitas akan eksklusif jika yang bicara adalah mereka yang bersangkutan. Sementara, para allies (Saya tak terlalu menyukai sebutan ini. Pen), bisa membantu untuk bersolidaritas. Wujud solidaritas ini banyak langgamnya. Ikut menyuarakan pentingnya penghargaan hak asasi manusia, membantu ketika terjadi persekusi, mengadvokasi hukum yang ramah LGBTI juga bagian dari solidaritas itu sendiri.
Baca juga: Laki-laki Gay Jadi Bunglon Sosial Lewat Pernikahan Heteroseksual
Kenapa solidaritas ini penting? Sebab kita semua paham, berbicara adalah hak istimewa. Tidak semua orang memiliki akses yang sama. Mendorong LGBTI untuk menyuarakan pendapatnya tentu penting dilakukan. Saya berharap semua orang bersedia membuka ruang seluas-luasnya kepada LGBT untuk berbicara. Pun, buka juga ruang untuk mereka yang bersolidaritas untuk ikut membantu.
Bisa jadi banyak suara ini bakal lebih didengarkan oleh publik. Ibarat dengung lebah, kamu mungkin akan acuh dengan dengung seekor lebah saja. Paling cuma lirik kanan-kiri mencari siapa yang berdengung. Namun, kamu mungkin akan terbirit-birit kabur jika dihadapkan dengan dengung jutaan lebah. Kita butuh semua orang berdengung. Kita membutuhkan semua orang berbicara tentang LGBTI hari ini.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments