Persoalan kebutuhan rumah bagi generasi milenial–orang yang lahir antara tahun 1980 sampai 2000–terus menjadi perdebatan seru. Dalam kondisi ekonomi sekarang, milenial diperkirakan tidak akan pernah mampu membeli rumah sendiri. Padahal, memiliki tempat tinggal serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, tak terkecuali para milenial yang tidak semua memiliki kemampuan ekonomi untuk membeli rumah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah generasi milenial mencapai 64 juta orang dan hampir setengahnya bekerja di sektor informal. Laporan lain menyebutkan 43 persen dari mereka hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA) dengan gaji rata-rata Rp 2,1 juta per bulan. Sementara, untuk harga rumah Rp300 juta, pendapatan yang harus dimiliki untuk bisa mencicil rumah adalah Rp 8,7 juta per bulan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah membuat kebijakan pembangunan rumah dengan harga terjangkau sehingga masyarakat kurang mampu, termasuk milenial yang ekonominya lemah, bisa memiliki rumah.
Kebijakan berpihak pada masyarakat tidak mampu
Selama ini, pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam mendukung program rumah murah bagi masyarakat tidak mampu. Beberapa di antaranya adalah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan FLPP yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), tabungan perumahan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat atau BP Tapera, dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Melalui program-program tersebut, konsumen bisa mendapatkan beberapa kemudahan dalam hal pembiayaan seperti suku bunga rendah, uang muka ringan, angsuran terjangkau, dan jangka waktu kredit yang panjang. Namun, kemudahan dan keringanan dalam pembiayaan rumah belum cukup untuk bisa menyediakan rumah yang terjangkau.
Baca juga: Infrastruktur Kurang Memadai Dorong Tingginya Kekerasan terhadap Perempuan
Intervensi kebijakan pemerintah dalam penyediaan rumah rumah juga mutlak diperlukan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk kaum milenial. Setidaknya ada dua bentuk intervensi kebijakan yang bisa dilakukan:
- Tekan harga tanah
Pemerintah perlu menciptakan program bank tanah untuk menjamin penyediaan tanah dengan harga terjangkau untuk pembangunan rumah murah. Program bank tanah ini pernah sukses dilakukan oleh pemerintah kota Eugene, Oregon, Amerika Serikat.
Laporan Harvard Kennedy School di Amerika Serikat menjelaskan bahwa pemerintah kota Eugene telah menciptakan bank tanah sejak 1970-an yang kemudian mereka gunakan untuk membangun kawasan perumahan murah yang terjangkau bagi warganya.
Untuk kasus Indonesia, pemerintah dapat mengelola bank tanah bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN).
Belajar dari kota Eugene, pemerintah juga dapat menggunakan tanah negara untuk membangun perumahan terjangkau seperti yang telah dilakukan Perumnas pada 1970 hingga 1980-an di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Dengan penyediaan tanah yang cukup, harga tanah yang tinggi dapat ditekan sehingga harga rumah pun dapat menjadi lebih terjangkau.
- Inovasi hunian dan penyesuaian aturan
Rumah murah dapat diwujudkan dengan menekan biaya konstruksi. Salah satu strategi yang bisa dilakukan untuk mengurangi biaya pembangunan adalah dengan melakukan bentuk inovasi hunian.
Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perumnas) mencoba menawarkan konsep “Kampung Urban”, yakni sebuah desain setiap bangunan tempat tinggalnya terdiri dari dua lantai beda kepemilikan. Ini artinya, dalam satu bangunan rumah, terdapat dua pemilik. Dengan bentuk bangunan seperti ini, harapannya harganya bisa lebih murah karena akan ditanggung oleh dua orang.
Sayangnya, aturan kepemilikan rumah di Indonesia masih kaku. Selama ini, pengakuan kepemilikan tanah dan bangunan hanya diberikan kepada pemilik rumah tapak saja. Sedangkan untuk warga yang tinggal di rumah susun atau apartemen, sertifikat kepemilikan hanya berupa Hak Guna Bangunan (HGB) dan hanya dalam waktu tertentu. Hal ini yang menyebabkan orang Indonesia lebih memilih membeli rumah tapak.
Kakunya aturan kepemilikan rumah di Indonesia bisa menjadi penghalang bagi banyak pengembang properti untuk berinovasi dalam menciptakan beragam hunian terjangkau seperti yang dicoba oleh Perumnas.
Baca juga: Politikus Indonesia Dianggap Salah Kaprah dalam Pahami Milenial
Mengapa perlu intervensi?
Data terakhir dari Kementerian PUPR menunjukkan backlog atau indikator jumlah kebutuhan rumah pada 2019 mencapai 7,6 juta unit. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan tanah dan melambungnya harga rumah khususnya di kota besar.
Sementara itu, permintaan rumah dari penduduk cukup tinggi. Statistik Perumahan dan Permukiman 2016 menunjukkan sebesar 63,73 persen dari 300.000 rumah tangga sampel di seluruh Indonesia menempati rumah bukan milik sendiri.
Selain kebutuhan rumah yang masih tinggi, masalah lain yang semakin membuat harga rumah semakin tidak terjangkau adalah harga tanah yang tidak terkontrol. Laporan terbaru tahun 2019 menunjukkan bahwa harga tanah rata-rata untuk permukiman di wilayah Jakarta mencapai Rp 14,5 juta per meter diikuti dengan wilayah Tangerang yang mencapai Rp 13,5 juta per meter. Semakin tinggi harga tanah otomatis membuat harga rumah di kawasan tersebut meroket.
Seorang ekonom mengatakan kisaran harga rumah yang cocok untuk generasi milenial adalah harga ratusan juta hingga Rp 1 miliar. Perumahan seperti Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang; Bintaro, Tangerang Selatan; dan Kelapa Gading, Jakarta Utara dianggap menjadi salah satu pilihan milenial dalam memenuhi kebutuhan rumah. Namun, hanya generasi milenial yang bergaji tinggi yang mampu membeli rumah di kawasan-kawasan tersebut.
Riset yang dilakukan oleh Perumnas menunjukkan kemampuan rata-rata daya angsur masyarakat untuk membeli rumah hanya Rp500.000–800.000 per bulan. Dengan kata lain, harga rumah yang terjangkau bagi mereka adalah berkisar Rp90 juta-144 juta.
Maka dari itu, intervensi pemerintah dalam penyediaan tanah, inovasi hunian, serta penyesuaian regulasi sangat diperlukan agar warga kurang mampu, termasuk para milenial, bisa memiliki rumah sesuai dengan daya angsurnya.
Ahdi Ahmad Fajri yang bekerja sebagai peneliti di Departemen Riset Perusahaan Umum Perumahan Nasional (Perumnas) berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments