Seperti “Sarah”, yang telah menjalin hubungan selama bertahun-tahun dengan Mirza, dan mereka berdua amat sangat saling mencintai. Namun Sarah selalu merasa lelah dan terluka berulang kali dengan problem yang sama: ia merasa Mirza adalah sosok yang dingin.
Mirza sendiri tidak mencintai Sarah dengan utuh. Mirza membenci sebagian diri Sarah yang baginya terlalu reaktif dan penuh drama. Perilaku Sarah sering kali membuat Mirza merasa pusing dan kesal. Tanpa sadar, mereka melalui tiga tahun hubungan sebagai racun bagi satu sama lain.
Mengapa ini terjadi? Apakah karena Mirza dan Sarah telah asal-asalan memilih pasangan dan menjalin komitmen, tanpa memperhatikan kecocokan satu sama lain?
Tentu saja tidak, karena Sarah memilih Mirza berdasarkan perilakunya. Di awal hubungan, Mirza berkata bahwa sebagai laki-laki dia memahami Sarah sebagai seorang perempuan yang membutuhkan pasangan dan tempat berkeluh kesah. Sarah merasa, Mirza adalah laki-laki yang ia butuhkan. Dan Mirza pun memilih Sarah karena kestabilan emosinya dan bagaimana Sarah begitu tenang dan dewasa dalam menghadapi berbagai persoalan.
Namun awal hubungan memang selalu manis. Bulan kedua komitmen berjalan, Mirza tak benar-benar meluangkan waktunya untuk mendengarkan hal-hal terdalam yang dilalui Sarah. Sarah melihat ada yang berbeda dari Mirza, ia menjadi dingin dan tidak sehangat sebelumnya. Sarah merasa sepi dan panik, dia mulai mengeluh atas perubahan sikap Mirza.
Mirza, sebagaimana laki-laki lainnya, memahami bahwa ada hal-hal yang harus diubah menjadi lebih positif ketika mendekati seorang perempuan. Namun mereka kemudian tidak melakukannya terus menerus. Mereka kembali menjadi diri sendiri setelah dirasa sang gadis telah aman di sisi mereka.
Mirza melihat keluhan Sarah sebagai rengekan semata. Sarah berubah, ia tak lagi sebijaksana dan sedewasa dulu. Sarah berubah menjadi perempuan yang doyan merengek dan tidak mandiri, sedangkan Sarah merasa dia hanya harus menagih komitmen hubungan mereka di awal yang hilang karena sikap dingin Mirza. Pada akhirnya, Mirza dan Sarah merasa mereka terjebak di hubungan yang salah. Dan merasa tertipu oleh satu sama lain.
Sesungguhnya kasus ini tidak hanya terjadi pada Mirza dan Sarah, tapi pada jutaan pasangan di seluruh dunia, apa pun orientasi seksualnya. Sering kali kita merasa tertipu oleh pasangan kita sendiri, merasa terjebak dan dibohongi. Namun kita tidak bisa beralih karena kita telah terlanjur mencintai pasangan kita.
Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pertama, pahami bahwa cinta itu memang menyakitkan, namun dia tidak memberi ruang untuk kebencian. Jika kamu dan pasanganmu saling mencintai, kalian akan sangat sering menyakiti satu sama lain. Tapi seharusnya itu tidak akan membuat kalian saling membenci. Jika ada satu titik di mana kalian merasa jengah dan benar-benar “membenci” pasangan kalian, maka kalian perlu mengevaluasi ulang perihal relasi yang terjadi.
Memahami sejauh apa hubungan yang toxic terjadi. Jika kebencian telah hadir maka sudah pasti relasi kalian adalah relasi yang beracun. Namun kalian harus menelaah dulu sejauh mana racun itu telah melukai kalian, dan apakah kalian bisa mengenyahkannya segera. Salah satu jenis kekerasan psikis yang dialami Sarah adalah gaslighting, yakni setiap terjadi pertengkaran, Mirza akan selalu lihai bertutur kata sehingga membuat Sarah selalu merasa menjadi penyebab pertengkaran. Alhasil, Sarah kemudian akan selalu meminta maaf kepada Mirza dan diliputi rasa bersalah setiap harinya. Meski terkadang ia juga merasa jengah dan lelah, namun Sarah menjadi tidak paham letak masalahnya dan ia selalu melihat dirinya sebagai sumber masalah. Jika kalian berada hingga tahap yang Sarah alami, maka kalian telah berada dalam lingkaran kekerasan psikis yang berulang.
Berhenti mencintai orang-orang yang toxic. Terkadang kamu harus pelan-pelan melepaskan orang-orang toxic dari hidupmu bahkan jika kamu sangat mencintai mereka. Meskipun kamu tidak bisa berhenti karena pikiran-pikiran semacam, “enggak ada yang lebih baik dari dia... enggak ada yang mau sama gue selain dia.. enggak ada yg akan sayang sama gue selain dia.” Oh, come on, girls. You don’t need to live with another shit. Kamu harus tahu bahwa berkomitmen dengan seseorang adalah agar kamu bahagia.
Toxic tetaplah toxic. Terkadang kita menjadi enggan berpisah dengan berbagai alasan, salah satunya, “tapi dia sayang kok sama gue.. dia do everything kok buat gue.” Itu hanya perasaan sesaat karena kalian akan selalu kembali pada siklus yang sama, pada masalah yang berulang, tanpa ada niatan untuk merekonsiliasi. Inilah titik toxic dalam sebuah hubungan, yakni tidak adanya upaya dari kedua belah pihak untuk melakukan rekonsiliasi sehingga masalah berulang dan hubungan berputar pada kekerasan psikis yang sama.
Bertahan atau mengakhiri. Ya, betul. Hanya ada dua pilihan. Jika kamu ingin bertahan, maka kamu harus siap menanggung masalah-masalah ini dalam komitmenmu. Dan kamu harus melihat itu sebagai sebuah konsekuensi dalam hubungan. Namun jika kamu merasa tak sanggup menanggung masalah yang sama berulang, carilah siklus baru. Temukan individu baru dan lepaskan diri dari siklus yang lama. Lakukan perlahan hingga kamu mampu dan memahami, bahwa sesungguhnya kamu bisa berdiri di atas kaki sendiri. Kamu hidup untuk bahagia
Semoga kamu bukan Sarah ataupun Mirza.
Maryam Jameela aktif belajar bersama Resister Indonesia, sambil bekerja sebagai konselor di Women Crisis Center Dian Mutiara Malang.
Comments