Ada satu kenangan yang selalu muncul tiap Imlek, yang terus menyentuh saya dan saya ingat sampai sekarang.
Kenangan itu diawali pertengahan 1980an, saat saya berada di bangku kelas IV sebuah SD Katolik di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Mayoritas muridnya adalah keturunan Tionghoa; sisanya cukup beragam, termasuk saya yang orang Manado.
Ada seorang ibu guru keturunan Tionghoa, “Suster Ester”, yang lahir di Semarang, Jawa Tengah. Suster Ester adalah seorang biarawati dan mengajar mata pelajaran Agama Katolik. Ia lembut, tapi tegas dan lugas. Dia juga menguasai materi pelajaran, sehingga dapat melakukan transformasi pelajaran dengan baik.
Suatu hari, Suster Ester meminta saya untuk menemuinya di ruang guru seusai pulang sekolah. Saya deg-degan takut dimarahi, tapi saya tidak ingat apa kesalahan saya saat itu. Di ruang guru, Suster Ester bertanya-tanya tentang ayah saya, seperti memastikan bahwa memang betul dia seorang perwira polisi. Sesudahnya, dia memberikan surat dalam amplop tertutup untuk diberikan pada ayah saya.
“Titip pesan pada ayahmu, kalau memang diperlukan, saya bersedia bertemu untuk menjelaskan lebih dalam,” ujarnya.
Sorenya di rumah, saya memberikan surat tersebut kepada ayah saya. Dia membukanya, membacanya, dan tidak berkomentar sama sekali. Ada sedikit rasa penasaran dalam diri saya, tapi Ayah suka marah kalau saya banyak tanya, plus dorongan untuk main lebih besar, jadi saya pun menghilang dari depannya.
Baca juga: Seorang Bapak Gen-X Kenang Masa Jadi Minoritas Zaman Orba
Beberapa hari kemudian, setelah makan malam, Ayah mengangsurkan surat dalam amplop tertutup kepada saya.
“Otniel, kasih surat ini buat gurumu yang kemarin memberikan surat. Bilang bahwa Papi tunggu kedatangannya di kantor. Kalau dia tanya posisi gedung kantor Papi, kamu bisa jelasin?” tanyanya.
“Bisa, Pi.”
Besoknya, saya berikan surat tersebut kepada Suster Ester disertai pesan ayah saya. Setelah dia membaca surat tersebut, air mukanya berubah tegang. Saya ulangi lagi pesan Ayah, tapi dia tidak meresponsnya, hanya memandang saya. Sampai kemudian dia berkata dengan perlahan, “Saya takut datang ke kantornya.” Saya yang masih bocah itu bingung.
Suster Ester kemudian meminta saya menunggunya sementara dia menulis surat. “Tolong berikan lagi surat ini pada bapakmu.” Saya mengiyakan.
Dua hari kemudian, saat pulang sekolah, saya dikejutkan oleh sosok Ayah yang telah berdiri di gerbang sekolah. Ia berpakaian sipil dan didampingi anak buahnya.
“Loh, kok Papi yang jemput?” tanya saya.
“Antar Papi ke gurumu yang mengirim surat.”
Ayah dan Suster Ester berbicara cukup lama di ruang kelas, sementara saya bermain di luar.
Esok harinya, anak buah ayah saya kembali menjemput di sekolah. Dia mengatakan bahwa Ayah menyuruhnya untuk menjemput saya dan mengantar Suster ke kantor.
Urusan bolak-balik antara Ayah dan Suster Ester ini akhirnya membuat keingintahuan saya memuncak. Saya akhirnya bertanya padanya, “Pi, kenapa datang ke sekolah dan ketemu Suster Ester?”
“Ada yang diurus,” ujarnya tegas, mengisyaratkan agar saya tidak bertanya apa-apa lagi.
Baru setelah saya berkuliah, 10 tahun kemudian, ayah saya baru bercerita tentang Suster Ester. Saat itu ternyata Suster sedang mengurus KTP dan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), yang disyaratkan untuk dimiliki warga keturunan Tionghoa. Di masa Orde Baru, SBKRI adalah dokumen maha penting untuk mereka.
Baca juga: Menjadi Cina Antara Mei 1998 dan 2019
Suster Ester tidak terlalu paham mengenai pengurusan SBKRI, karena semasa sosialisasi, dia tinggal di biara. Ketika mencoba mengurusnya setelah tidak lagi tinggal di biara, dia kesulitan mendapatkannya. Demikian juga dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Suster Ester kemudian terus berusaha mendapatkan dokumen-dokumen tersebut untuk seluruh keluarganya.
Ayah menjelaskan pada saya bahwa pengurusan tersebut harus diajukan oleh perorangan dan tidak dapat diwakilkan. Prosesnya juga cukup panjang, dan ia agak trauma akibat tekanan dan pemerasan waktu mengurus dokumen-dokumen tersebut. Dia kemudian takut untuk bertemu dan berkomunikasi dengan instansi terkait.
“Papi bilang, bagaimana bisa dibantu kalau Suster Ester takut. Jadi Papi ketemu Suster dan minta dia punya keberanian,” ujarnya.
Baru setahun kemudian Suster Ester memiliki SKBRI dan KTP. Itu pun baru untuk dia seorang. Meski begitu, Suster Ester sangat terharu karena akhirnya memiliki dokumen-dokumen penting itu di usia 40 tahunan.
Saya terkesima mendengar cerita Ayah. Masih jelas di ingatan saya wajah Suster Ester yang begitu takutnya untuk datang ke kantor Ayah. Kita tidak boleh lupa bahwa ada periode di negara ini, di mana hak atas dokumen kewarganegaraan dan kependudukan bagi sebagian masyarakat begitu sulit didapatkan. Walaupun lahir, sekolah, bekerja, dan menjadi tua di Indonesia, tetap saja dipersulit.
Saya berharap, periode tersebut tidak pernah ada lagi di Indonesia untuk seterusnya.
Comments