“Bahkan, terlahir sebagai laki-laki merupakan sebuah privilese di dunia yang suram ini.”
Itulah yang dikatakan Liz Norton, anggota Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kepadaku ketika kami berada di coffee shop. Kami duduk berhadapan. Sesekali ia membaca esai yang baru saja ia tulis. Sepotong cahaya laptop memantul di wajahnya. Aku menyadari betapa ramai sekali di sekitar: Musik, gelas pecah, tumpahan kopi, dan gebrakan meja. Ini membuat kami harus mengulang percakapan yang terdengar asing malam itu. Datang dari tempat paling jauh.
Ia menjelaskan mengapa kalimat itu menyembur dari mulutnya, seperti runtuhan batu bata. Semua berkaitan dengan apa yang ia tulis, katanya. Ada raut letih di wajahnya, saat ia menopang dagu dengan hati-hati. Mungkin karena belakangan ini waktu terasa begitu pendek karena ia habiskan untuk menulis esai pelecehan seksual yang harus terbit esok hari.
Liz pernah bercerita padaku, sebulan terakhir, sejak ia mulai menulis esai, ia sering merasakan hal-hal aneh. Ia jadi sering lupa makan dan tiba-tiba terbangun di malam hari. Ada malam-malam panjang dan berat di mana ia merasa kepalanya berisi satu kubik pasir. Sekujur tubuhnya merasakan nyeri sampai tak mampu bangun dari tempat tidurnya sendiri. Seperti seluruh tubuhnya baru saja dibenamkan di kubangan lumpur hitam dan pekat.
Hal-hal macam itu terus berulang bahkan sampai saat ini, katanya. Namun, yang paling mengerikan adalah ketika aku turun dari GoCar bersama temanku menuju apartemen. Aku tinggal bersamanya. Ketika kubuka pintu mobil, aku merasa seseorang menampar dan meludah tepat di wajahku. Padahal tak ada siapapun kecuali kami berdua.
Baca juga: Perempuan dan Ketergantungannya pada Privilese Pria
Malam itu, tak biasanya aku melihat anjing menggonggong di halaman apartemen. Darah melumuri mulut dan giginya yang tajam. Terdapat borok dan luka menganga di tubuhnya. Aku benar-benar takut dan langsung masuk ke apartemen.
Ketika membuka pintu lift, aku melihat 3 anak gembel di dalamnya. Dua laki-laki dan satu perempuan. Temanku sudah di kamar, menelepon pacarnya, ia memberitahu ketika aku membayar GoCar. Tiga anak gembel itu diam saja saat kutawari roti yang kuambil dari tas. Senyap yang panjang dan nyaring meliputi kami berempat. Dadaku sesak.
Sesampainya di kamar, aku tak melihat temanku. Mungkin ia sedang mencari angin dan sebagainya. Hari yang melelahkan, kataku sambil memercikkan air ke wajah di kamar mandi dan bercermin. Namun, cermin itu jadi pudar, lalu menghitam. Aku melihat dua golok terbang saling serang. Pekiknya menggores telinga dan membuat kepalaku sakit. Ini ilusi. Kukedipkan mata dan seketika dua golok terbang itu menghilang.
Tiba-tiba terdengar ketukan mengancam di pintu kamar. Sebentar, teriakku. Ketika kubuka pintu, tak ada siapapun. Yang ada hanya lorong panjang sepi, serakan puntung rokok dari tempat sampah, dan lampu sesekali berkedip. Aku harus segera menyelesaikan bacaan esaiku. Kubuka laptop yang kutinggal di meja ketika pergi, menyusun beberapa data, dan menyadari sebagiannya menghilang.
“Bagaimana mungkin terlahir sebagai seorang laki-laki merupakan sebuah privilese?”
“Sangat mungkin,” katanya. Seolah ia bisa membaca apa yang kupikirkan dan mengetahui ke mana kereta pikiranku melesat.
Ia menyodorkan laptop dan memintaku membaca esai yang ia tulis. Kemudian tersenyum. Sebuah senyum yang tertahan.
Aku membaca esai Liz. Sekilas terlihat semacam esai-sekali-duduk seperti esai-esai yang ditulis Ayn Rand (Liz hampir membaca semua buku Ayn Rand). Butuh waktu lama untuk menulisnya, katanya. Ia mengawali esai itu dengan kutipan Alejandro Zambra: “To read is to cover one’s face. And to write is to show it.”
Baca juga: Bagaimana Kelompok Berprivilese Menyamankan Diri di Tengah Ketimpangan
Pada titik tertentu, esai Liz benar-benar nyaring dan tajam. Dengan bahasa seperti speaker rusak dan gergaji mesin, Liz meyakini tak ada tempat aman bagi perempuan di dunia ini, kecuali dalam kuburnya sendiri. Tidak juga dalam ruangnya sendiri seperti yang dikatakan Wolf.
Tentu saja, semua itu sangat beralasan. Menurut Liz, perempuan yang tinggal di tempat seperti ini, di mana tingkah laki-laki lebih menyerupai anjing di musim kawin daripada manusia, merupakan sebuah kutukan, jika tidak mau dibilang kesialan seumur hidup.
Liz ada benarnya. Bagaimana tidak, faktanya, mulai dari esainya dibuat, diterbitkan, bahkan kelak ketika hanya dibaca teman-temannya sendiri, segala bentuk pelecehan seksual selalu berupa seekor kerbau sinting yang siap menyeruduk siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Dan untuk hal ini, kau tidak boleh tidak setuju.
Dalam esainya, mengikuti Roberto Bolano di 2666, Liz menceritakan kasus-kasus pelecehan seksual dengan narasi jurnalistik. Misalnya:
Minggu, 4 Agustus, seorang turis Belanda menjadi korban begal payudara di jalan Prawirotaman I, Mergangsan, Yogyakarta. Pelaku merupakan seorang oknum guru honorer SD swasta di kota tersebut.
Liz meminum kopi yang kian dingin layaknya air es. Rasanya seperti aku meminum jarum, katanya. Tanpa sesuatu yang jelas, ia beranjak menuju kamar mandi.
Tiba-tiba dua orang lelaki duduk di meja belakang kami. Salah satu dari mereka mengintip tulisan yang sedang kubaca. Musik terdengar semakin keras.
Masih di bulan Agustus, seorang dosen diduga melakukan pelecehan seksual dengan modus bimbingan skripsi pada mahasiswinya. Sebelum itu, menurut kabar, dosen seringkali mengirim pesan cabul kepada korban, “Mau bercinta? Andai saya belum punya istri, saya mau nikahin kamu.” Dengan modus bimbingan skripsi, pelaku meminta korban datang ke rumahnya tanpa membawa teman. Di rumah, dosen justru memegang pipi dan berusaha mencium korban. Korban menolak dan berontak. Pelaku kemudian menarik rok korban dan membuatnya terjatuh.
Di kamar mandi, Liz memercikkan air ke wajahnya dan bercermin. Ia mendesau. Kemudian meminum dua butir pil penenang yang didapatnya dua hari lalu.
Tiba-tiba dua orang lelaki duduk di meja belakang kami. Sesekali ia mengintip tulisan yang sedang kubaca. Musik terdengar semakin keras. Dan seorang lelaki menampar wajah pacarnya tanpa alasan.
Di November, Hannah dan adiknya (keduanya duduk di bangku SMP) diculik dan diperkosa seorang pemuda 23 tahun di sebuah gubuk belakang rumah makan, Kadipaten, Tasikmalaya. Terjadi sekitar pukul 20.00 malam. Keduanya disekap selama dua hari dan mengalami kekerasan fisik, dipukul dan ditendang. Selain diperkosa dan disiksa, cincin dan anting emas milik korban diambil oleh pelaku.
Setelah menenggak dua butir pil tersebut, Kepala Liz mulai berat. Sekujur tubuhnya nyeri. Ia melihat dua golok terbang di cermin itu. Kemudian seekor anjing borok menggonggong dengan darah di mulut dan giginya yang tajam. Tiga anak gembel. Ketukan pintu mengancam. Sebagian data yang hilang.
Tiba-tiba dua orang lelaki duduk di meja belakang kami. Salah satu dari mereka mengintip tulisan yang sedang kubaca. Dan musik terdengar semakin keras. Seorang lelaki menampar wajah pacarnya tanpa alasan. Liz Norton berkeringat, memandang kosong ke sana ke mari.
Di bulan September, sebuah mayat anak perempuan ditemukan di Sungai Cimandiri Nyalindung, Sukabumi. Mengenaskan. Terdapat luka disekitar leher dan wajahnya. Menurut laporan, pelaku tidak lain adalah ibu angkat sendiri beserta dua anak kandungnya. Korban diperkosa secara bergilir kemudian jasadnya dibuang ke sungai.
“Bisa kita pulang sekarang?”
Tiba-tiba dua orang lelaki duduk di meja belakang kami. Salah satu dari mereka mengintip tulisan yang sedang kubaca. Dan musik terdengar semakin keras. Dan seorang lelaki menampar wajah pacarnya tanpa alasan. Dan Liz Norton berkeringat, memandang kosong ke sana ke mari. Dan kedua lelaki itu mendekati meja kami.
Pukul 12.47. Aku terbaring di apartemenku. Pelipisku tergores, mulut terasa getir, dan benar-benar tak bisa mengingat kejadian semalam. Ketika berusaha mengingatnya, yang muncul di kepalaku hanya semacam potret buram di tengah badai. Seingatku, malam itu aku membaca sebagian esai Liz dan kemudian dua orang lelaki mendekati meja kami.
Dengan tergesa aku menelepon Liz. Satu kali, tak ada jawab. Dua kali, masih tak ada jawab. Tiga kali, tetap tak ada jawab. Kuputuskan untuk menelpon teman seapartemennya. Entahlah, Liz belum pulang dari semalam, katanya. Aku memejamkan mata. Kepalaku longsor. Dan sampai kapanpun, esai Liz tak akan pernah diterbitkan.
Cerita yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments