Sebagai generasi 90-an yang belum familier dengan teknologi, saya terbiasa curhat di diari sejak bangku Sekolah Dasar (SD). Saya ingat betul, diari tempat saya menulis kesedihan, kemarahan, hingga kebahagiaan itu dilengkapi gembok kecil. Kunci gembok itu sengaja saya simpan secara sembunyi-sembunyi agar tak ditemukan mama. Tanpa perlu ada keterampilan khusus, biasanya saya menulis dengan begitu mengalir.
Setelah saya dewasa, saya baru tahu efek dahsyat dari kebiasaan menulis diari. Mengamini professor Psikologi James Pennebaker dalam Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions (1990), menulis terbukti jadi cara instan untuk “sembuh”. Kesimpulan itu didapat setelah ia meminta mahasiswanya untuk menghabiskan 15 menit menulis tentang trauma terbesar dan atau waktu tersulit mereka sepanjang hidup.
Mahasiswanya dibagi menjadi dua kelompok, mereka yang diminta untuk menulis dan tidak. Selama enam bulan, ia menemukan kelompok mahasiswa yang diminta menuliskan pengalaman serta emosinya, secara signifikan menghabiskan waktu lebih sedikit pergi ke dokter atau melakukan sesi konseling. Tak hanya itu, menulis bisa membantu kita mengendalikan emosi dan sejauh apa peristiwa tertentu memengaruhi hidup kita.
Baca Juga: Perjalanan ‘Self Healing’ Saya dalam Lima Babak
Regulasi Emosi
Dalam sebuah penelitian Positive expressive writing as a tool for alleviating burnout and enhancing wellbeing in teachers and other full-time workers (2020), Emily Round dkk. menjelaskan, menulis secara ekspresif tidak hanya mengurangi kecemasan terhadap situasi yang mereka alami. Namun, itu juga meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan kerja empat minggu kemudian. Untuk mendukung data ini, para peneliti meminta penelitian lanjutan tentang efek penulisan ekspresif pada organisasi. Hasilnya, menulis bahkan dapat meningkatkan kualitas kerja dan kreativitas di tempat kerja.
Hal inilah yang dirasakan oleh baik oleh “Wina” dan “Lia”. Terbiasa menulis sejak SD seperti saya, mereka mengaku lebih dapat meregulasi emosi-emosi negatif.
“Menulis selalu membuatku merasa lebih baik. Banyak hal yang kupikirkan dan tidak terkatakan secara verbal, jadi aku lebih suka menulis di jurnal. Karena itu pula, aku suka membaca kembali apa yang sudah kutulis. Bahasa cintaku yang kedua adalah words of affirmation jadi aku senang membaca ulang pengalaman jatuh bangun, (sehingga) aku dapat kekuatan dari situ,” ungkap Wina.
“Dengan menulis aku bisa mengekspresikan semua hal, terutama emosi negatif. Aku bisa jujur dan apa adanya saat menulis. Aku enggak perlu berpura-pura, hanya menjadi aku yang sepenuhnya. Ini benar-benar membebaskan dan melegakan. Kalau aku sedih, ya aku akan menuliskan kesedihanku. Kalau aku marah, aku akan menuliskan kemarahanku. Setelah tanganku capek dan semua emosi negatif diekspresikan dalam tulisan, semua jadi lebih baik,” curhat Wina lagi.
Senada, Lia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, aktif menulis demi membantunya meregulasi emosi. Perempuan yang lebih banyak menulis puisi itu bilang, menulis memberikan ia waktu untuk berpikir masak-masak sebelum bertindak.
“Sebelum menulis, perasaan saya cukup menggebu-gebu seperti ingin melepaskan seluruh isi kepala dan melepas ketidaknyamanan yang saya rasakan. Setelah menulis, (saya justru) mampu menahan diri dari luapan kemarahan yang mungkin keluar jika saya tidak menulis.”
Baca Juga: Jangan Tekan Kecemasan: Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Krisis Corona
Menulis sebagai Self-Healing
Tidak hanya membantu meregulasi emosi dengan lebih baik, menulis dapat menjadi metode individu untuk membantu menyembuhkan diri mereka sendiri. Pun, itu membantu mereka untuk tumbuh menjadi individu yang lebih baik. Dalam penelitian Healing Through the Written Word (2002), Karen Cangialosi, profesor Biologi di Keene State College menemukan, dengan menulis, kita dapat menggunakan rasa sakit dalam hidup untuk lebih mengembangkan diri.
Melalui tulisan, kita mencoba menemukan keteraturan dalam hal-hal yang telah terjadi pada kita. Selain itu, menulis juga bisa jadi alat menganalisis diri, atau untuk memberi bentuk dan pengertian pada apa yang telah memengaruhi kita. Apapun bentuk tulisan kita, itu memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dan tumbuh.
Seringkali kita membentuk keterikatan yang merusak dengan memasukkan energi ke dalam aktivitas tertentu. Karena itulah dalam konteks ini, menulis membantu kita memahami siapa diri kita dan di mana serta mengapa kita membentuk keterikatan seperti itu. Menulis kemudian dapat membantu kita mengarahkan kembali energi kita dan memungkinkan kita untuk berhubungan dengan apa yang sering tersembunyi dari kita yang dalam prosesnya secara perlahan “menyembuhkan” diri kita sendiri.
Senada dengan apa yang ditulis Cangialosi, dalam penelitian Expressive writing to improve resilience to trauma: A clinical feasibility trial (2019) disebutkan, menulis dalam enam minggu dapat meningkatkan ketahanan, dan mengurangi gejala depresi, stres yang dirasakan, dan perenungan di antara mereka yang melaporkan trauma pada tahun lalu. Sebanyak 35 persen peserta yang memulai program dengan indikator kemungkinan depresi klinis mengakhiri program penyembuhan dengan menulis saja.
Baca Juga: Pulihkan Diri dari Depresi, Agar Bisa Pulihkan Generasi Mendatang
Terkait ini, Lia menuturkan, menulis jadi media ampuh untuk self-healing. “Jujur saja, saya lebih banyak menulis saat suasana hati saya justru sedang tidak baik-baik saja. Awalnya, saya tidak bermaksud menjadikan menulis sebagai media self-healing. Namun, saya mendapatkan kenikmatan dan kepuasan setelah menulis, terutama puisi.”
“Perasaan yang tidak dapat saya ungkapkan saat saya ternyata mampu mengungkapkan isi hati saya melalui puisi. Sehingga, saat saya merasakan perasaan marah, kesal, kecewa, atau sakit hati, saya hanya butuh waktu untuk duduk di depan layar sembari merenung dan mendalami kesedihan, kepedihan, kekecewaan atau sakit hati.”
Menulis tidak butuh keterampilan khusus. Tidak peduli tulisan kamu secara tata bahasa kurang baik atau aneh, hal yang terpenting adalah kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Tulisanmu akan menjadi sebuah gerbang bagi dirimu sendiri untuk menyembuhkan diri dan berkembang menjadi individu yang lebih baik lagi.
Comments