Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan lagi-lagi mengusulkan untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tujuannya tak lain supaya perwira aktif TNI dapat menduduki jabatan-jabatan struktural di kementerian maupun lembaga negara.
Tak tanggung-tanggung, jabatan yang diinginkan Luhut untuk dapat diisi TNI aktif di antaranya adalah Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), yang terdiri dari jabatan pimpinan tinggi utama (setingkat kepala lembaga pemerintah non kementerian), jabatan pimpinan tinggi madya (setingkat sekretaris jenderal di kementerian), dan jabatan pimpinan tinggi pratama (setingkat direktur, kepala biro, dan kepala dinas di pemerintahan daerah).
Padahal menurut UU TNI, saat ini prajurit militer hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Memang, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menegaskan, tidak ada urgensi menempatkan perwira aktif TNI ke posisi struktural kementerian dan lembaga negara.
Namun, suara-suara yang menyerukan ide tersebut tidak hanya dapat menghidupkan arwah otoritarianisme Orde Baru, tapi juga menunjukkan, ada yang salah tentang fungsi organisasi dan manajemen prajurit TNI.
Baca juga: Mau Jadi PNS atau Pasangan Tentara/Polisi? Pikir Lagi Baik-baik
Gejala Tak Efektifnya Manajemen Prajurit TNI
Alasan atas usulan Luhut tersebut adalah agar tidak ada lagi perwira tinggi TNI yang mengisi jabatan-jabatan tak perlu di institusi militer. Sehingga, kinerja TNI AD semakin efisien dan mereka tidak lagi perlu berebut jabatan karena mereka bisa berkarier di luar institusi militer.
Poin pertama, jika benar terjadi selama ini banyak perwira yang menduduki jabatan yang tidak diperlukan, ini menunjukkan tidak efektifnya manajemen keprajuritan TNI. Dampak buruk lebih jauhnya adalah, tentu saja, pemborosan anggaran.
Poin kedua, bila benar terjadi rebutan jabatan di tubuh TNI, artinya unit pengelola sumber daya manusia dalam institusi militer masih lemah. Ini menunjukkan bahwa transformasi yang terwujud mulai dari rancang bangun dan pengembangan organisasi hingga administrasi kepegawaian di tubuh TNI tampak belum seirama dengan tuntutan reformasi.
Gejala-gejala tersebut menunjukkan lemahnya hubungan antara manajemen strategis TNI dengan perencanaan strategis pengelolaan prajurit TNI. Hasilnya, timbul mismatch antara pengadaan pangkat perwira tinggi dengan karier yang tersedia.
Jika memang tujuannya adalah untuk efisiensi kinerja TNI seperti yang disebutkan Luhut di atas, maka yang harus dilakukan adalah menghubungkan manajemen strategis institusi TNI dengan perencanaan strategis prajurit TNI sehingga tidak perlu melintasi keluar organisasi hanya untuk jabatan sipil. Bila memaksakannya, artinya pemerintah telah gagal mengidentifikasi masalah di tubuh TNI sendiri.
Indonesia mungkin bisa belajar dari strategi yang digunakan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) dalam pengelolaan pengelolaan tentara militer AS. Mereka menerapkan sistem manajemen tentara berbasis talenta sesuai dengan tuntutan abad 21, sehingga para prajuritnya tidak perlu mencari jabatan di luar institusi militer.
Mengkhianati Agenda Reformasi
Wacana penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil bukan hanya tidak sesuai dengan keniscayaan supremasi sipil, tetapi juga mengkhianati agenda reformasi.
Usulan untuk mengembalikan TNI aktif ke posisi sipil sama saja dengan membangunkan pola pikir Orde Baru. Kala itu, TNI – dahulu ABRI – tidak hanya terlibat dalam urusan pertahanan tetapi juga ikut campur dalam urusan sosial politik. Militerisme tersebut menjadi penopang utama rezim politik otoriter.
Wacana menempatkan TNI aktif dalam jabatan sipil, dengan kata lain, bertolak belakang dengan upaya menghilangkan dwifungsi ABRI, salah satu tuntutan utama dari reformasi 1998. Artinya, jika pemerintah terus memaksakan agenda tersebut, maka sama saja pemerintah gagal dalam mewujudkan amanat reformasi.
Prajurit TNI sebaiknya fokus pada tugas utama dalam menjaga kedaulatan dan pertahanan Indonesia ketimbang melaksanakan tugas tambahan, apalagi mengisi jabatan sipil.
Baca juga: Pencabutan Tes Keperawanan TNI AD Saja Tak Cukup
Pangkat Militer Bukan Penentu Kompetensi di Struktur Sipil
Presiden Jokowi pernah mengangkat Doni Monardo, Letnan Jenderal (Purn) TNI yang saat itu masih perwira aktif, sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Ini saja sudah tidak sesuai dengan pasal 47 UU 34 Tahun 2004 yang mengatur bahwa perwira aktif hanya bisa menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) nasional, Narkotika nasional, dan Mahkamah Agung. BNPB tak masuk dalam daftar lembaga-lembaga yang disebutkan.
Namun, pengangkatan tersebut “dibuat legal” dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2019 tentang BNPB, hanya beberapa hari sebelum pelantikan Doni.
Kinerjanya selama dua tahun pun tak pelak mendapat kritik luas, mulai dari terkait penanganan pandemi COVID-19, soal kebijakan mudik di tengah wabah yang dinilai belum tegas, hingga perlakuan terhadap para dokter dan tim medis yang ikut menjadi korban wabah.
Artinya, pangkat seorang tentara tidak serta merta menjadi jaminan bahwa perwira tinggi dapat menjadi kekuatan penggerak apabila ditempatkan menjadi pejabat tinggi di organisasi sipil. Sebab, belum tentu mereka memenuhi tiga kompetensi yakni teknis, manajerial, dan sosial kultural.
Seharusnya hanya orang yang memenuhi persyaratan kompetensi tersebut yang dapat menjabat pimpinan tinggi di kementerian dan lembaga negara, bukan hanya ditentukan oleh pangkat keperwiraan maupun penugasan dari presiden semata.
Kementerian dan lembaga negara didirikan dengan visi dan misi yang berbeda dengan institusi militer, sehingga standar kompetensi teknis untuk pimpinan tingginya juga pasti berbeda.
Pada dasarnya, penempatan prajurit TNI dalam pemerintahan sipil bukan merupakan solusi yang tepat dalam menyelesaikan persoalan internal di lembaga militer, terutama jika menyangkut jabatan. Masalah tersebut sebaiknya diselesaikan dengan perbaikan menyeluruh melalui proses reorganisasi dan restrukturisasi TNI, bukan dengan membuka ruang bagi para tentara untuk memasuki ranah sipil.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments